Minggu, 13 November 2011

Power Ekonomi Kaum Dhu'afa

Konon, suatu ketika Allah Swt berfirman; “Jika kamu mencariku, carilah di tempat orang-orang papa” (Hadits Qudsi). Pun, Imam Khomeini pernah bersabda: “Duhai Tuhan janganlah engkau cabut rohku dari orang-orang awam”. Firman dan pernyataan Imam Khomeini di atas secara eksplisit hendak menjelaskan bahwa betapa agungnya posisi orang-orang papa dalam pandangan Islam. Kaum papa, dhu’afa, miskin atau apapun term yang digunakan, menggambarkan suatu realitas kelas sosial—meminjam istilah kaum Marxian—yang berada pada posisi marginal baik secara ekonomi, politik, budaya, hukum, dan sebagainya.

Dalam konteks ekonomi, kaum dhu’afa biasanya dicirikan dengan kepemilikan terhadap alat-alat produksi (kapital) yang sangat sedikit, baik itu disebabkan oleh marginalisasi struktural maupun terjadi secara alamiah. Sederhananya, biasa disebut sebagai kemiskinan. Kemiskinan yang disebabkan oleh marginalisasi struktural yang dimaksud adalah suatu realitas ekonomi masyarakat yang diakibatkan oleh adanya kebijakan (negara) yang timpang, dimana terdapat segelintir orang yang memiliki akses dan penguasaan terhadap alat-alat produksi yang lebih dibandingkan mayoritas masyarakat. Sementara, kemiskinan alamiah dimaksudkan untuk menggambarkan suatu realitas ekonomi masyarakat yang muncul sebagai sesuatu yang bersifat alamiah, dimana kemiskinan atau kekayaan benar-benar diperoleh berkat usaha masing-masing individu dalam masyarakat.

Dalam kerangka analisis sosial Jalaluddin Rakhmat, dapat diidentifikasi mana kemiskinan ekonomi masyarakat yaang terjadi akibat marginalisasi struktural dan mana yang bersifat alamiah. Jalaluddin Rakhmat (1999) menyebut, jika kemiskinan menimpa satu atau dua (sedikit) orang penduduk, maka itu adalah problem individual, yang boleh jadi diakibatkan oleh kurangnya kreativitas dan spirit dalam mencari sumber-sumber mata pencarian. Sebaliknya, jika kemiskinan menimpa sebagian besar masyarakat, maka itu adalah prolem sosial. Dan penyebabnya adalah kebijakan (regulasi) ekonomi negara yang timpang.

Realitas kemiskinan ekonomi masyarakat Indonesia dewasa ini tampaknya tidak lagi bersifat individual, melainkan telah meluas menjadi segepok problem sosial yang bersifat massif. Fenomena kemiskinan hampir terjadi seacraa telanjang dimana-mana, mulai dari masyarakat perkotaan sampai pedesaan. Apalagi, pasca terjadinya krisis moneter pada penghujung tahun 1997. Angka pengangguran tiba-tiba melambung tinggi, banyak karyawan yang di-PHK secara paksa oleh perusahaan, pengemis, pengamen, kuli bangunan dan buruh tani, menjadi fenomena keseharian yang tiada kunjung terkikis.

Konglomerasi : Awal Kejahatan Ekonomi Negara

Struktur ekonomi yang timpang biasnaya bermula dari kebijakan ekonomi (negara) yang tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat-kebanyakan. Tetapi lebih ditujukan kepada kaum elite ekonomi yang memiliki modal yang besar. Di zaman Orde Baru, keberpihakan negara terhadap kaum elite ekonomi terjadi secara terang benderang. Sebutlah, bagaimana para pengusaha yang mendapatkan perlakuan khusus dari negara—yang ditandai dengan kemudahan dalam akses ekonomi yang begitu besar—hingga membentuk lingkaran setan konglomerasi. Liem Soe Liong, Bob Hasan, Nurdin Khalid, Edy Tansil adalah sedikit dari deretan panjang nama-nama pengusaha yang mendapatkan perlakukan khusus tersebut dari negara.

Begitu pula di era pasca Orde Baru, ternyata belum ada tanda-tanda perubahan yang cukup signifikan. Konglomerasi bahkaan terkesan semakin menjadi-jadi dan dipelihara oleh negara secara sistemik. Negara tidak lagi menjadi regulator yang baik dan terhormat dalam menata kehidupan ekonomi masyarakat, hingga tegak dalam bingkai suci keadilan dan keadaban. Pada akhirnya, jurang (gap) ekonomi kian menganga lebar. Masyarakat miskin kian terpinggirkan (marginal) semetara di sisi lain, yang kaya kian mendapatkan kesempatan untuk menumpuk kekayaannya. Tanpa sedikit pun merasa bertanggung jawab untuk turut mendinamisasi kehidupan ekonomi masyarakat ke arah kesejahteraan. Di sinilah teori “impossible hand” a la Adam Smith menjadi lumpuh dan tidak memiliki arti apa-apa (cacat secara konseptual) dalam mengatasi problem-problem kemiskinan yang muncul.

Secara teoritik, konglomerasi ekonomi merupakan konsekwensi logis dari dianutnya sistem ekonomi liberal oleh negara. Sistem ekonomi neo-liberal meniscayakan adanya keberpihakan yang jelas dari negara terhadap para pemilik modal. Bahkan dalam takaran tertentu, negara hanya menjadi sebatas epelayan atau “alat stempel” an sich bagi kepentingan-kepentingan ekonomi kaum pemodal. Negara tidak memiliki fungsi yang lebih, selain fungsi-fungsi yang bersifat administratif. Semenatara secara otoritatif, dikuasai oleh kaum pemodal baik secara nasional maupun internasional melalui kekuatan-kekuatan TNCs dan MNCs.

Wajah Ekonomi Kaum Dhu’afa

Konglomerasi tentunya tidak sejalan dengan asas-asas keadilan sosial dan ekonomi bangsa. Dan lebih ekstrim lagi, menikam nurani dan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Negara, jika berada dalam posisi seperti itu, bisa disebut sebgai alat kejahatan ekonomi yang nyata. Negara tidak menjalankan fungsi-fungsi dasarnya sebagai kekuatan proteksionis terhadap rakyatnya dari segenap ancaman-ancaman ekonomi kaum pemdal domestik dan global yang meendehumanisasi dan memporak-porandakan basis religiusitas.

Sementara, pada dasarnya—sebagaimana terbukti pada krisis yang dialami oleh Indonesia, baik di zaman Orde Lama (Soekarno) maupun yang memicu turunnya Soeharto dari singgasana kekusaannya—kehidupan ekonomi di level elite sungguh teramat rentan terhadap krisis. Ketika krisis ekonomi datang menyapu yang pertama kali terpental adalah alah para pengusaha dilevel elite dan segelintir di level menengah (middle class) yang tengah beranjak naik. Sebaliknya, kehidupan ekonomi kaum dhu’afa tidak terpengaruh sama sekali. Kalaupun ada, relatif begitu kecil dan tidak sampaai mengganggu normalitas yang telah eterbangun sebagaimana biasanya.

Ahmad Syafii Ma’arif dalam “Membangun Kembali Indonesia”, menyebut bahwa ; sektor yang menjadikan ekonomi Indonesia bernafas bukan karena konglomerat tetapi justru ekonomi rakyat. Sebab, demikian katanya, para konglomerat kita—yang menggunakan sistem kapitalis—keberadaannya semu belaka, sama sekali tidak otentik. Di masa lalu mereka bekerja erat dengan penguasa dan perbankan degan diiringi berbagai penyimpangan.

Untuk itu, penting untuk di catat, terutama dalam konteks pembangunan ekonomi ke depan, kaum dhu’afa mesti menjadi perhatian prioritas dari negara. Apakah itu dalam bentuk UKM—sebagaimana ditawarkan oleh sebagian ekonom Indonesia, termasuk A. Syafii Ma’arif di atas—sehingga terjadi pemerataan ekonomi secara berkesinambungan (sustenaible economic). Kehidupan ekonomi kaum dhu’afa sebagaimana sederhananya, sesungguhnya menjadi basis pertahanan yang strategis bagi negara dalam menghadapi kemungkinan krisis. Di samping itu, dinamika kehidupan ekonomi di tingkat kaum dhu’afa relatif lebih sehat, humanis, kompelemntatif, dan jauh dari mdel-model kompetisi yang saling menegasi.

Lebih dari itu semua, dalam skala yang lebih besar lagi, pla kehidupan ekonomi kaum dhua’fa bisa memotong ketergantungan negara terhadap aktor-aktor maupun lembaga-lembaga neo-liberal semacam IMF, WTO, CGI, ADB dan lain sebagainya. Sebab, sedikitnya hanya kehidupan ekonomi kaum dhu’afa-lah yang tidak terkontaminasi (keluar) dari hingar-bingar pertarungan ekonomi kaum pemodal yang berada dalam bingkai kejahatan ekonomi neo-liberaal. Nah, sadarlah kita dengan apa yang disebut Imam Khomeini “Duhai Tuhan janganlah engkau cabut rohku dari orang-orang awam”.

Palu, 2005

Telaah Komparatif Khittah Perjuangan dan Nilai Dasar Perjuangan

Setiap sistem keyakinan (ideologi), tidak terkecuali Islam, pasti memiliki seperangkat pandangan-dunia yang berfungsi untuk menjelaskan (konseptualisasi) tentang berbagai aspek yang bersifat universal dan prinsipil dalam sistem keyakinan tersebut. Pandangan-dunia (world view) menjadi faktor penting dan determinatif bagi konstruk, pilihan dan sikap keberagamaan seseorang, sebab lewat pandangan-dunialah seseorang bisa mengetahui, mengenali, menyelami dan bahkan memverifikasi kebenaran sistem keyakinan yang tengah dianutnya. Boleh jadi, karena memang posisi pandangan dunia adalah dalam kerangka mengetengahkan hujjah-hujjah dasar secara rasional-filosofis, guna menopang keabsahan sistem keyakinan yang dianut oleh seseorang atau sekelompok orang sehingga benar-benar terterima oleh nalar kemanusiaan dan prinsip-prinsip kebenaran sebagai sesuatu yang sejatinya memang layak untuk diamini kebenarannya.

Tetapi sebaliknya, pandangan-dunia bisa pula menjadi palu godam yang siap menghempas setiap sistem keyakinan yang miskin pijakan intelektual dan absurd ke pojok-pojok sejarah. Sebuah sistem keyakinan minus pandangan-dunia, tidak berarti apa-apa, kecuali sekedar deretan petuah-petuah atau dogma-dogma yang nirmakna. Secara praksis, alih-alih mengarahkan kepada pengetahuan dan kesadaran yang sublim, justru sebaliknya akan menggiring penganutnya kepada pola keberagamaan yang mekanistik, hegemonik, ritualistik, artifisial dan sukar dipertanggungjawabkan secara intelektual.

Murtadha Muthahhari menyebutkan bahwa pandangan-dunia yang benar adalah, paling tidak, dicirikan oleh ; pertama, memuat prinsip-prinsip dan nilai-nilai kebenaran secara universal, yang bersumber dari Pemilik Kebenaran yang luhur dan tinggi. Dalam ajaran Islam, prinsip kebenaran ini biasa dikenal sebagai prinsip Tauhid. Sebuah prinsip kebenaran yang didaulat berasal dari sang Mahamutlak dan Mahasempurna, Allah Swt. Kedua, karena memuat prinsip-prinsip dan nilai-nilai kebenaran yang luhur, maka oleh karena itu, secara esensial, pandangan-dunia juga mesti selaras dengan fitrah kemanusiaan dan sekaligus memberi efek sosial yang besar terutama bagi tegaknya peradaban manusia yang luhur pula. Dan ketiga, memiliki kemampuan untuk menjawab aneka tantangan dan problematika kemanusiaan di tengah arus dinamika zaman yang senantiasa berubah dan bergerak dengan sedemikian cepat.

Pandangan-dunia yang benar, menjadi penting bagi manusia tidak saja secara individual, melainkan lebih dari itu, bagi setiap kelompok manusia (jama’ah, organisasi), yang biasanya diikat oleh kesamaan perspektif dan kecenderungan untuk memperjuangkan cita-ideal kehidupan sosial yang relevan dengan prinsip-prinsip yang diyakini bersama. Bahkan dalam konteks organisasional, pandangan-dunia memiliki fungsi pokok sebagai bingkai inspirasi, spirit, motivasi dan landasan pijak bagi para pegiatnya dalam menghembuskan nafas suci perjuangan dan perubahan.

Karena perkara pandangan-dunialah, tidak jarang kita saksikan, berbagai episode sejarah yang menampilkan keberanian dan keteguhan para manusia suci di zamannya yang mendedikasikan diri dan hidupnya untuk menegakkan prinsip-prinsip kebenaran tadi, baik secara personal maupun berkelompok. Sehingga sebagaimana sabda Taqi Misbah Yazdi, risalah tentang perjuangan adalah kumpulan kisah tentang aktualisasi tekad yang didorong oleh suatu “pandangan dunia”.1

Pada organisasi-organisasi tertentu—utamanya yang memiliki kadar visi sosial yang begitu kuat—bangunan pandangan-dunia yang disorot dari perspektif komunitasnya, biasa dirumuskan secara konseptual hingga menjadi semacam “kitab suci” gerakan, atau acapkali disebut sebagai paradigma (manhaj) gerakan. Paradigma gerakan, dengan demikian, menjadi tafsir dan sekaligus berisi tentang penjelasan organisasional terhadap nilai-nilai dasar yang dianut dan diperjuangkan, penilaian umum tentang keadaan sosial politik yang dihadapi serta strategi-strategi dasar dari gerakan.2 Paradigma gerakan ini untuk selanjutnya menjadi tuntunan bagi setiap individu di dalam kelompok sosial tersebut, baik menyangkut dimensi moral, intelektual, spiritual, keadilan, kebenaran dan strategi maupun usaha-usaha yang dapat dilakukan guna mencapai tujuan organisasi.

Bagi HMI sebagai salah satu organisasi—yang berbasis kemahasiswaan—yang melandaskan gerakannya kepada ajaran suci Islam, memiliki rumusan konseptual paradigma gerakan yang disebut dengan Khittah Perjuangan. Khittah Perjuangan secara umum berisikan konsepsi dasar HMI terhadap : pertama, azas keyakinan Tauhidi yang mutlak dianut oleh seorang muslim (Keyakinan Muslim). Kedua, kerangka epistemologi keilmuan Islam (Wawasan Ilmu). Ketiga, sistem sosial yang dikehendaki HMI (Wawasan Sosial). Keempat, konsep teoritis dan praktis (aktualisasi) jihad dalam perspektif Islam (Etos Perjuangan). Kelima, model kepemimpinan Islam (Kepemimpinan). Dan keenam, pandangan eskatologis Islam—yang dibingkai oleh konsepsi Keadilan Ilahi—berkenaan dengan ganjaran bagi setiap pelanggaran yang dilakukan oleh manusia.

Di samping itu, pada bagian berikutnya dapat ditemukan, penjelasan umum tentang tujuan HMI yang ditegaskan dalam frase kalimat : “Terbinannya mahasiswa Islam menjadi insan Ulul al-Baab yang turut bertanggungjawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi Allah Subhanu Wata’ala,” kualifikasi kader Cita HMI yang dimaksud (insan Ulul al-Baab), dan sifat independensi HMI dan kader HMI. Semua ini terangkum menjadi satu kesatuan (integral) penjelasan HMI terhadap Islam yang diyakini sebagai ajaran suci kemanusiaan dan sekaligus menjadi alasan logis untuk memperjuangkannya, hingga tegak menjadi sebuah sistem sosial yang mencerahkan bagi manusia dan kemanusiaan atau dalam terminologi wahyu disebut sebagai Baldatun Thayyibatun Warrabbun Ghafur.

Setting Pemikiran Lahirnya Khittah Perjuangan HMI

Khittah Perjuangan sebagai produk-sejarah intelektual kader-kader HMI sesungguhnya tidak lahir dengan begitu saja. Ia lahir melalui suatu rentang proses sejarah yang cukup panjang. Sebagai produk sejarah tentunya prosesi kelahirannya berjalin-kelindan dengan dinamika HMI ; realitas internal organisasi maupun situasi eksternal yang mengitari dan kerapkali mempengaruhi eksistensi dan pergerakan HMI.

Jika dilacak secara historis, sebelum ditetapkannya Khittah Perjuangan sebagai paradigma gerakan HMI, dokumen-dokumen sejarah keorganisasian HMI mencatatkan beberapa “acuan gerakan” yang pernah digunakan oleh HMI adalah : Tafsir Azas (1957-1963), Kepribadian HMI (1963-1966), Garis-garis Pokok Perjuangan (1966-1969)3 dan Nilai Dasar Perjuangan (1969-1988). Dari kesemuanya, yang terakhir ini hingga kini tetap digunakan oleh HMI-Dipo sebagai acuan gerakannya. Prosesi awal kelahiran Khittah Perjuangan dipicu oleh beberapa perkembangan yang terjadi di HMI baik secara internal maupun akibat “intervensi” eksternal ; pertama, kristalisasi kehendak-kuat kader HMI untuk melakukan Islamisasi di HMI. Proyek Islamisasi, yang bagi HMI berarti sebagai proses mengaktualkan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan atau menafasi seluruh kegiatan HMI (dalam arti anggota dan organisasi) dengan nilai-nilai Islam,4 tampak begitu menguat di era tahun 1980-an, utamanya di masa kepemimpinan Abdullah Hehamahua. Islamisasi tersebut kemudian diupayakan semaksimal mungkin terjadi atau menjangkau tiga wilayah sekaligus ; ideologis, kultur dan identitas simbolik kader HMI.

Berkenaan dengan fenomena Islamisasi di HMI kala itu, Hasanuddin M. Saleh mengungkap bahwa mulai munculnya semacam antusiasme melaksanakan ajaran Islam yang cukup tinggi. Aturan-aturan keagamaan yang sebelumnya tidak terlalu diperhatikan, kemudian menjadi penting. Pelaksanaan ibadah shalat, puasa, zakat, diupayakan sesuai berdasarkan hukum fiqh. Anggota HMI-Wati (mahasiswi) berlomba-lomba mengenakan busana muslimah, sekretariat HMI menjadi pusat kegiatan dakwah dan kegiatan sosial seperti membentuk desa binaan dan membina kelompok-kelompok pengajian.5

Proyek Islamisasi dirasa begitu penting bagi HMI, mengingat sejak HMI lahir, Islam belum sepenuhnya memiliki bentuk dan diimplementasikan secara menyeluruh pada kader-kader HMI. Padahal, Islam diyakini oleh HMI sebagai sistem nilai dan landasan pijak operasional organisasi. Nah, hal ini pulalah, yang dikemudian hari, mendasari munculnya gugatan kritis terhadap NDP. Muatan NDP sebagai paradigma gerakan HMI kian dirasa tidak memadai lagi untuk menjawab tantangan dan kebutuhan HMI. NDP oleh kebanyakan kader HMI dinilai tidak murni mengintrodusir sistem keyakinan yang bersumber dari ajaran Islam. Puncak dari gugatan tersebut adalah ketika pada Kongres XV di Medan (1983) ramai-ramai peserta kongres mengkritisi dan sekaligus merekomendasikan lokakarya guna meninjau ulang konsepsi NDP.

Kedua, kristalisasi kehendak-kuat kader HMI untuk melakukan internalisasi nilai-nilai keislaman di HMI, secara eksternal juga turut dipicu (menemukan momentum) oleh perkembangan situasi Islam secara global. Dinamika ummat Islam global yang ditandai dengan munculnya berbagai gerakan Islam yang concern dalam memperjuangkan ideologi Islam sebagai sistem sosial di negaranya, meniupkan spirit dan motivasi yang begitu kencang bagi kader-kader HMI akan pentingnya menjadikan Islam sebagai sistem nilai yang dianut sekaligus diperjuangkan. Tercatat, beberapa gerakan Islam yang mempengaruhi HMI adalah gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir dan meletusnya Revolusi Islam Iran pada tahun 1978-1979.

Dan ketiga, kebutuhan terhadap paradigma gerakan yang integrated6. Paradigma gerakan—karena menjadi sumber nilai, inspirasi dan motivasi gerakan—maka secara konseptual mesti menjadi keranga penjelas yang sistematis, utuh, dan konsisten terhadap asas, tujuan, dan metode perjuangan organisasi. Sementara, pada masa itu, NDP hanya diposisikan sebatas sebagai tafsir asas, yang tidak memiliki korelasi penjelas secara langsung dengan tujuan dan metode perjuangan HMI. Inilah yang menjadi titik lemah NDP, sehingga mendorong kader-kader HMI untuk mencoba membuat terobosan guna melahirkan paradigma gerakan yang integrated dalam menjelaskan tentang asas, tujuan, dan metode perjuangan HMI di masa-masa mendatang.

Telaah Komparatif Khittah Perjuangan dan NDP

Munculnya kritik terhadap ketidaklayakan NDP untuk digunakan lagi sebagai paradigma gerakan HMI, boleh jadi, di antaranya diakibatkan oleh prosesi kelahiran NDP yang tidak cukup matang dan jauh dari apresiasi intelektual kader-kader HMI secara keseluruhan. Pasalnya, secara historis, NDP pada awalnya hanya merupakan kerta kerja PB. HMI (1966-1969) pada periode kepemimpinan Nurcholish Madjid yang diajukan pada kongres di Solo. Oleh peserta kongres, rumusan NDP ini kemudian direkomendasikan untuk disempunakan oleh pengurus berikutnya, mengingat bobotnya yang relatif kurang memadai. Untuk keperluan tersebut, maka dibentuklah tim yang terdiri dari Endang Saefuddin Anshari, Sakip Mahmud dan Nurcholish Madjid itu sendiri. Tetapi karena persoalan teknis, akhirnya NDP lebih merupakan representasi pemikiran Nurcholish Madjid, tanpa ada kontribusi pemikiran dari yang lain.7

Tetapi lebih dari itu, sebagaimana pula mencuat pada forum Kongres XV di Medan (1983), muatan NDP juga dipandang belum secara komperehensif menyajikan suatu bangunan sistem keyakinan Islam, atau bahkan memiliki kelemaham secara konseptual, yang jika dibiarkan begitu saja berpotensi distorsif bagi pemahaman keberislaman secara benar. Beberapa kelemahan muatan konseptual yang terkandung pada NDP dan sekaligus menjadi titik perbedaan dengan Khittah Perjuangan, sedikitnya dapat diidentifikasi sebagai berikut ; pertama, berkenaan dengan konsepsi ketuhanan. Konsep ketuhanan adalah salah satu tema yang menempati posisi sentral dan utama dalam diskursus tentang pandangan dunia (world view), di samping konsep kemanusiaan dan kesemestaan. Konsep ketuhanan bersifat determinatif atau menjadi “payung” bagi dua konsep yang lain. Sebab, dapat dipastikan bahwa hanya dengan pemahaman yang benar terhadap Tuhan, akan lahir konsep kemanusiaan dan kesemestaan yang benar pula. Sehingga ketiga konsep tersebut menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan satu sama lain (integrated). Pemisahan atasnya, hanya akan membawa seseorang kepada pemahaman yang parsial dan jauh dari idealitas kebenaran.
Dalam NDP8, konsep kebertuhanan HMI dijelaskan dalam materi yang disebut sebagai Dasar-Dasar Kepercayaan. NDP memulai penjelasannya dengan hantaran tentang wawasan pandangan dunia. Disebut bahwa ;

“manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup dan budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi.”

Dalam perspektif ini, pandangan dunia (konsep beragama)—dan bahkan sistem keyakinan (agama)—dipandang sebagai kebutuhan manusia yang lahir karena dikaitkan dengan dimensi eksternal, yakni upaya mengembangkan hidup dan peradabannya ke arah yang benar. Kebutuhan terhadap pandangan dunia (baca : Tuhan) yang benar direduksi hanya bernilai fungsional, tanpa dipandang memiliki korelasi yang inhern dengan watak dasar kemanusiaan (fitrah). Kerangka pandang seperti ini jelas distorsif dan lahir dari asumsi yang memisahkan antara Tuhan sebagai Mahapencipta dengan manusia dan kehidupannya. Sementara, Khittah Perjuangan memperkenalkan bahwa keyakinan terhadap Tuhan adalah sesuatu yang bersifat fitri dalam diri manusia. Ia bersifat mengada (potensial). Sehingga tanpa dihubungkan dengan kehidupan dan peradaban manusia sekalipun, ia telah dan tetap ada dalam diri manusia. Ia bahkan menjadi esensi bagi kehidupan itu sendiri. Inilah yang dalam ajaran Islam disebut sebagai kesadaran primordial manusia.

Selanjutnya, NDP menjelaskan bahwa untuk dapat memahami Tuhan secara benar, maka manusia memerlukan wahyu, yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung dari Tuhan sendiri kepada manusia. Pada frase kalimat yang lain, NDP menegaskan ; “Jadi untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang kepada al-Qur’an dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammad Saw”. Dalam perspektif Khittah Perjuangan, deduksi seperti ini kurang dapat dipertanggungjawabkan. Sebab, ia berangkat dari pendekatan yang bersifat antroposentrik. Dalam terminologi yang lain, biasa disebut sebagai pandangan dunia yang diterima begitu saja (ta’abuddi). Sebuah konsep pandangan dunia yang menyerahkan validitas argumentasi kebenaran kepada otoritas pemuka agama (ulama’) atau doktrin teologis tertentu. Sehingga, eksistensi Tuhan menjadi tergantung kepada persepsi ciptaan-Nya (manusia). Sementara, sebagaimana disitir sendiri oleh Allah Swt dalam beberapa ayat di al-Qur’an, bahwa Ia sendirilah yang memperkenalkan diri-Nya kepada manusia, bukan nabi Muhammad, pemuka agama atau siapapun jua.

Khittah Perjuangan, sebaliknya memperkenalkan pendekatan untuk mengenal Allah melalui Allah itu sendiri (wujudiyyah). Pendekatan wujudiyyah ini secara konseptual diperkenalkan dengan begitu sistematis dan menarik oleh Mulla Sadra. Menurut Mulla Sadra dengan bersandar kepada konsep wujudiyyah kita dapat mengetahui Tuhan secara benar dan tanpa harus bergantung kepada persepsi makhluk-Nya. Karena pengetahuan tentang-Nya adalah sesuatu yang bersifat niscaya lagi rasional (self-evident). Mulla Sadra (dan juga sebelumnya oleh filosof par excellence, Ibnu Sina) membagi wujud menjadi tiga ; pertama, wajib al-wujud, yakni wujud yang mutlak keberadaannya, sederhana (tidak tersusun), tidak disebabkan dan tidak tergantung kepada yang lain. Wujud ini biasa pula disebut sebagai wajib al-wujud karena dirinya sendiri. Kedua, mumkin al-wujud, yakni wujud yang keberadaan tergantung kepada yang lain (wajib al-wujud). Atau biasa pula disebut sebagai wajib al-wujud karena yang lain. Dan yang ketiga adalah mustahil al-wujud, yakni wujud yang mustahil keberadaannya.

Pengenalan Tuhan melalui konsep wujudiyyah, ditopang oleh beberapa prinsip ontologis yakni ; ashalah al-wujud (kemendasaran wujud), wahdah al-wujud (kemenyatuan wujud), tasykik al-wujud (gradasi wujud secara sistematis) dan (gerak trans-substansial). Dengan mendasarkan kepada prinsip ashalah al-wujud, Mulla Sadra hendak menegaskan bahwa wujud (eksistensi) adalah merupakan prinsip utama dalam memahami realitas. Artinya, bahwa dalam segenap realitas, wujudlah yang merupakan dimensi substansial. Ia bukan aksiden. Sehingga, wujud menjadi sesuatu yang tidak dapat ditolak atau dipungkiri keberadaanya. Demikian pula, dengan prinsip wahdah al-wujud, ditegaskan bahwa realitas wujud pada dasarnya adalah satu. Tidak berbeda satu sama lain. Tuhan, manusia dan alam semesta secara wujud adalah sama. Hanya saja, manusia dan alam semesta adalah wujud yang keberadaannya tergantung kepada Tuhan (wajib al-wujud karena yang lain), laiknya matahari dengan cahaya matahari.

Selanjutnya, pada prinsip tasykik al-wujud, dijelaskan bahwa di antara wujud yang sama tersebut, dalam aktualitasnya membentuk semacam hirarki wujud, yang sifatnya bertingkat-tingkat. Wujud yang paling tinggi adalah wujud yang menjadi sebab dari segala sebab (causa prima) atau wujud yang tidak tergantung kepada yang lain, dan pada tingkatan yang paling rendah adalah wujud yang kadar ketergantungannya kepada wujud di atasnya paling besar, yakni wujud material. Dan terakhir, melalui prinsip al-haraqah al-jauhariyyah Mulla Sadra melakukan terobosan filosofis, dengan mengetengahkan argumentasi bahwa terdapat kemungkinan (potensi) untuk terjadinya transformasi secara sempurna pada tingkatan wujud.

Dengan konsep wujudiyyah tersebut, diskursus tentang Tuhan menjadi sesuatu yang obyektif, tidak lagi dilandasi oleh subyektivitas kemanusiaan maupun sistem keyakinan yang kita anut. Artinya, bahwa pembuktian mengenai eksistensi Tuhan pada akhirnya menjadi sesuatu yang niscaya dalam bangunan logika kemanusiaan, lagi tak dapat ditolak sedikitpun. Ia menjadi pengetahuan hudhuri bagi manusia. Dalam konteks ini, dasar-dasar keyakinan kita terhadap Tuhan telah tertanam lebih dahulu, jauh mendahului keyakinan kita terhadap kebenaran agama (wahyu) maupun kerasulan Muhammad.

Gambaran tentang konsep ketuhanan seperti inilah, yang dalam perspektif Khittah Perjuangan—maupun konsep ketuhanan dalam Islam secara umum—disebut sebagai Tauhid Uluhiyyah. Sebuah konsep kebertuhanan yang lahir karena keniscayaan Tuhan itu sendiri sebagai yang Mahaada. Jalaluddin Rakhmat menyebutnya sebagai tuhan yang disaksikan9. Sementara, pendekatan yang bersifat antroposentrik untuk memahami Tuhan sebagaimana NDP, disebut sebagai Tauhid Rubbubiyyah atau konsep kebertuhanan yang lahir karena Tuhan dihubungkan dengan yang lain (persepsi makhluk-Nya).

Kedua, perspektif keadilan Tuhan. Terdapat kecenderungan yang begitu kuat berkenaan dengan perspektif NDP dalam melihat masalah keadilan Tuhan yang belum sepenuhnya keluar dari belitan perdebatan teologis antara Mu’tazilah dengan Asy’ariyyah. Sementara, secara konsepsional-filosofis, apa yang diajukan—baik Mu’tazilah maupun Asy’ariyyah—justru terbukti “tumpul” dalam menghantar kita kepada pemahaman yang benar-benar komprehensif terhadap masalah keadilan Tuhan.

Sebagaimana telah diketahui, secara teologis, di satu sisi kaum Asy’ari terperangkap dalam konstruk pemahaman yang bersifat deterministik. Sebaliknya di sisi lain, kaum Mu’tazili memandang bahwa manusia terlepas sepenuhnya (otonom) dari segala intervensi Ilahi. Padahal jika ditelusuri, terbukti bahwa kedua konstruk pemahaman teologis ini tidak ada bedanya. Baik Asy’ari maupun Mu’tazilah sesungguhnya terjebak dalam suatu titik ekstrim pemahaman yang berada dalam kutub berbeda, namun sama kadar distorsifnya.

Nah, dalam konteks Khittah Perjuangan, yang tentunya berbeda dari keduanya, ditegaskan bahwa ada dua terminologi kunci dalam memahami masalah Keadilan Ilahi, yakni keadilan secara takwini dan secara tasyri’i. Secara takwini, segala fenomena kesemestaan—termasuk aktivitas manusia—pada dasarnya bersumber dari Tuhan. Tuhanlah yang menjadi penyebab (asbab) bagi kebaikan maupun keburukan yang dilakukan oleh manusia. Tetapi secara tasyri’i, keridhaan Tuhan terhadap perilaku manusia distandarisasi oleh syariat—sebagai sebuah mekanisme yang dibuat untuk mengatur manusia dalam kehidupan sosialnya agar tetap berjalan pada aras-Nya. Artinya bahwa perilaku yang dilakukan oleh seseorang agar dapat didefinisikan sebagai perilaku yang baik manakala disandarkan kepada syariat. Ia menjadi buruk manakala buruk secara syariat. Dengan demikian, pada level inilah kebebasan manusia untuk memilih (free coise) dan berkehendak (free will) dimungkinkan, di samping jelas memegang peranan kunci dalam menentukan baik atau buruknya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang.

Ketiga, Konsep Epistemologi Keilmuan. Hal lain yang juga dikritisi oleh Khittah Perjuangan terhadap NDP adalah berkenaan dengan konsep epistemologi keilmuan. Dalam perspektif Khittah Perjuangan, NDP secara epistemologi masih menerapkan standar maupun metode keilmuan pada dimensi aqliyah dan empirikal an sich—sebuah standar dan metodologi keilmuan yang sejatinya bermuara dari telaga epistemologi Barat yang cenderung sekuler-ateistik. Sedangkan, Khittah Perjuangan menegaskan bahwa dalam diri manusia pada galibnya terdapat salah satu dimensi penting yang jika dioptimalkan dapat membentuk kerangka epistemologi keilmuan yang holistik dan mondial, yakni qalb (intuisi). Secara sederhana, potensi qalb bekerja dalam logika hudhurian, dimana pengetahuan puncak dicapai dengan cara melakukaan penyucian ruhani (takziyatun nafs). Jadi, dalam perspektif Khittah Perjuangan, ikhtiar untuk mengembangkan pengetahuan manusia di samping dilakukan dengan metode hushuli (eksplorasi akal dan kemampuan inderawi) juga mutlak dibarengi dengan penyucian ruhani sebagai langkah proyektif dalam membersihkan cermin jiwa manusia yang kerap kali ditempeli oleh noda-noda kemanusiaan.

Keempat, konsep sistem sosial. Secara teoritik, konstruk sistem sosial yang dikehendaki oleh HMI melalui penjelasan NDP juga tampaknya masih begitu dikitari oleh perseteruan dua mainstream pandangan dunia, yakni kapitalisme dan sosialisme. Dalam konteks ini, NDP secara terang benderang kelihatan terseret ke dalam kubangan ambiguitas dalam menentukan pilihan terhadap entitas sosial mana yang lebih fundamen, apakah individu atau masyarakat ?. Satu tema sentral yang memang menjadi titik polemik antara dua pandangan dunia tadi. Sementara, dalam menjawab hal ini, Khittah Perjuangan—sebagaimana pula diungkap oleh Murtadha Muthahhari10—menjelaskan bahwa ada dua dimensi penting yang mesti diperhatikan dalam mendefinisikan baik individu maupun masyarakat. Pertama, bahwa realitas dasar dari keduanya tidaklah murni bersifat material. Begitupun pola hubungan yang terjalin di antaranya—baik antarindividu maupun antara individu dengan masyarakat—tidak sepenuhnya dilandasi oleh motif-motif material, melainkan (tidak jarang) justru didorong oleh motif-motif suci spiritual atau religius. Yang kedua, baik individu maupun masyarakat sama-sama memiliki jiwa, yang tentunya cenderung tunduk kepada fitrah kemanusiaan (hanief). Sehingga dengan demikian, keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan dipandang dengan pendekatan yang bersifat dikotomis. Musuh individu adalah musuh masyarakat, dan begitu pula sebaliknya, musuh masyarakat juga niscaya menjadi musuh bagi kemanusiaan (individu) secara nyata. Untuk itu, hukum sosial dibuat dalam kerangka melindungi keduanya (bersifat preventif) dari bahaya yang dapat saja menghadang pengembangan karakter kemanusiaan dan masyarakat yang bermartabat.

Kelima, masalah tujuan HMI. Kritik yang diajukan oleh Khittah Perjuangan menyangkut tujuan HMI yang termaktub dalam NDP (mencipta insan akademis, pencipta dan pengabdi) adalah bahwa apa yang diidealisir oleh NDP tidak menggambarkan suatu karakter kekaderan yang berdimensi ukhrawi, melainkan duniawi (profanik) an sich. Olehnya, Khittah Perjuangan coba mengintrodusir gagasan tentang kader Ulul Al-Baab yang hendak menyambungkan jalinan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi. Sebab, dalam hemat HMI, insan ulul al-baab merupakan prototipe kekaderan yang dalam term lain disebut oleh Al-Qur’an sebagai manusia sempurna (insan kamil). Sesosok makhluk berkesadaran sublim yang hidup dalam realitas kesejarahan guna membimbing ummat manusia menuju ketercerahan intelektual, moral, sosial, politik, budaya dan spiritual. Ia adalah makhluk yang memiliki karakteristik integral ; ’amanah (bertanggungjawab), shidiq (benar), adil, fathanah (cerdas, kratif dan inovatif) dan tabligh (progresif dalam berdakwah/penyampai kebenaran).

Palu, awal tahun 2005 

Catatan kaki :

1 Syafinuddin al-Mandary, Demi Cita-Cita HMI ; Catatan Ringkas Perlawanan Kader dan Alumni HMI terhadap Orde Baru, PT. Karya Multi Sarana, 2003, hal. 7.
2 Awalil Rizki sebagaimana dikutip Syafinuddin al-Mandary, HMI dan Wacana Revolusi Sosial, Hijau Hitam dan PSPI, 2003.
3 Syafinuddin al-Mandary, HMI dan Wacana Revolusi Sosial, Hijau Hitam dan PSPI, 2003, hal. 55.
4 Hasanuddin M. Saleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, Kelompok Studi Lingkaran dan Pustaka Pelajar, 1996, hal. 102.
5 Ibid, 101.
6 Syafinuddin al-Mandary, HMI dan Wacana Revolusi Sosial, op.cit. hal. 61.
7 Lihat Profile HMI-MPO, PB. HMI Periode 2001-2003.
8 NDP yang kami gunakan sebagai bahan komparasi adalah rumusan NDP yang diajukan sebagai draft pada Kongres XXIV HMI-Dipo, sementara Khittah Perjuangan yang digunakan adalah Hasil Kongres XXIV HMI-MPO.
9 Jalaluddin Rakhmat, Tuhan yang Disaksikan Bukan Tuhan yang Didefinisikan, copy internet.
10 Lihat penjelasan Muthahhari mengenai individu dan masyarakat dalam bukunya “Masyarakat dan Sejarah, Mizan, 1998.