Minggu, 13 November 2011

Power Ekonomi Kaum Dhu'afa

Konon, suatu ketika Allah Swt berfirman; “Jika kamu mencariku, carilah di tempat orang-orang papa” (Hadits Qudsi). Pun, Imam Khomeini pernah bersabda: “Duhai Tuhan janganlah engkau cabut rohku dari orang-orang awam”. Firman dan pernyataan Imam Khomeini di atas secara eksplisit hendak menjelaskan bahwa betapa agungnya posisi orang-orang papa dalam pandangan Islam. Kaum papa, dhu’afa, miskin atau apapun term yang digunakan, menggambarkan suatu realitas kelas sosial—meminjam istilah kaum Marxian—yang berada pada posisi marginal baik secara ekonomi, politik, budaya, hukum, dan sebagainya.

Dalam konteks ekonomi, kaum dhu’afa biasanya dicirikan dengan kepemilikan terhadap alat-alat produksi (kapital) yang sangat sedikit, baik itu disebabkan oleh marginalisasi struktural maupun terjadi secara alamiah. Sederhananya, biasa disebut sebagai kemiskinan. Kemiskinan yang disebabkan oleh marginalisasi struktural yang dimaksud adalah suatu realitas ekonomi masyarakat yang diakibatkan oleh adanya kebijakan (negara) yang timpang, dimana terdapat segelintir orang yang memiliki akses dan penguasaan terhadap alat-alat produksi yang lebih dibandingkan mayoritas masyarakat. Sementara, kemiskinan alamiah dimaksudkan untuk menggambarkan suatu realitas ekonomi masyarakat yang muncul sebagai sesuatu yang bersifat alamiah, dimana kemiskinan atau kekayaan benar-benar diperoleh berkat usaha masing-masing individu dalam masyarakat.

Dalam kerangka analisis sosial Jalaluddin Rakhmat, dapat diidentifikasi mana kemiskinan ekonomi masyarakat yaang terjadi akibat marginalisasi struktural dan mana yang bersifat alamiah. Jalaluddin Rakhmat (1999) menyebut, jika kemiskinan menimpa satu atau dua (sedikit) orang penduduk, maka itu adalah problem individual, yang boleh jadi diakibatkan oleh kurangnya kreativitas dan spirit dalam mencari sumber-sumber mata pencarian. Sebaliknya, jika kemiskinan menimpa sebagian besar masyarakat, maka itu adalah prolem sosial. Dan penyebabnya adalah kebijakan (regulasi) ekonomi negara yang timpang.

Realitas kemiskinan ekonomi masyarakat Indonesia dewasa ini tampaknya tidak lagi bersifat individual, melainkan telah meluas menjadi segepok problem sosial yang bersifat massif. Fenomena kemiskinan hampir terjadi seacraa telanjang dimana-mana, mulai dari masyarakat perkotaan sampai pedesaan. Apalagi, pasca terjadinya krisis moneter pada penghujung tahun 1997. Angka pengangguran tiba-tiba melambung tinggi, banyak karyawan yang di-PHK secara paksa oleh perusahaan, pengemis, pengamen, kuli bangunan dan buruh tani, menjadi fenomena keseharian yang tiada kunjung terkikis.

Konglomerasi : Awal Kejahatan Ekonomi Negara

Struktur ekonomi yang timpang biasnaya bermula dari kebijakan ekonomi (negara) yang tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat-kebanyakan. Tetapi lebih ditujukan kepada kaum elite ekonomi yang memiliki modal yang besar. Di zaman Orde Baru, keberpihakan negara terhadap kaum elite ekonomi terjadi secara terang benderang. Sebutlah, bagaimana para pengusaha yang mendapatkan perlakuan khusus dari negara—yang ditandai dengan kemudahan dalam akses ekonomi yang begitu besar—hingga membentuk lingkaran setan konglomerasi. Liem Soe Liong, Bob Hasan, Nurdin Khalid, Edy Tansil adalah sedikit dari deretan panjang nama-nama pengusaha yang mendapatkan perlakukan khusus tersebut dari negara.

Begitu pula di era pasca Orde Baru, ternyata belum ada tanda-tanda perubahan yang cukup signifikan. Konglomerasi bahkaan terkesan semakin menjadi-jadi dan dipelihara oleh negara secara sistemik. Negara tidak lagi menjadi regulator yang baik dan terhormat dalam menata kehidupan ekonomi masyarakat, hingga tegak dalam bingkai suci keadilan dan keadaban. Pada akhirnya, jurang (gap) ekonomi kian menganga lebar. Masyarakat miskin kian terpinggirkan (marginal) semetara di sisi lain, yang kaya kian mendapatkan kesempatan untuk menumpuk kekayaannya. Tanpa sedikit pun merasa bertanggung jawab untuk turut mendinamisasi kehidupan ekonomi masyarakat ke arah kesejahteraan. Di sinilah teori “impossible hand” a la Adam Smith menjadi lumpuh dan tidak memiliki arti apa-apa (cacat secara konseptual) dalam mengatasi problem-problem kemiskinan yang muncul.

Secara teoritik, konglomerasi ekonomi merupakan konsekwensi logis dari dianutnya sistem ekonomi liberal oleh negara. Sistem ekonomi neo-liberal meniscayakan adanya keberpihakan yang jelas dari negara terhadap para pemilik modal. Bahkan dalam takaran tertentu, negara hanya menjadi sebatas epelayan atau “alat stempel” an sich bagi kepentingan-kepentingan ekonomi kaum pemodal. Negara tidak memiliki fungsi yang lebih, selain fungsi-fungsi yang bersifat administratif. Semenatara secara otoritatif, dikuasai oleh kaum pemodal baik secara nasional maupun internasional melalui kekuatan-kekuatan TNCs dan MNCs.

Wajah Ekonomi Kaum Dhu’afa

Konglomerasi tentunya tidak sejalan dengan asas-asas keadilan sosial dan ekonomi bangsa. Dan lebih ekstrim lagi, menikam nurani dan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Negara, jika berada dalam posisi seperti itu, bisa disebut sebgai alat kejahatan ekonomi yang nyata. Negara tidak menjalankan fungsi-fungsi dasarnya sebagai kekuatan proteksionis terhadap rakyatnya dari segenap ancaman-ancaman ekonomi kaum pemdal domestik dan global yang meendehumanisasi dan memporak-porandakan basis religiusitas.

Sementara, pada dasarnya—sebagaimana terbukti pada krisis yang dialami oleh Indonesia, baik di zaman Orde Lama (Soekarno) maupun yang memicu turunnya Soeharto dari singgasana kekusaannya—kehidupan ekonomi di level elite sungguh teramat rentan terhadap krisis. Ketika krisis ekonomi datang menyapu yang pertama kali terpental adalah alah para pengusaha dilevel elite dan segelintir di level menengah (middle class) yang tengah beranjak naik. Sebaliknya, kehidupan ekonomi kaum dhu’afa tidak terpengaruh sama sekali. Kalaupun ada, relatif begitu kecil dan tidak sampaai mengganggu normalitas yang telah eterbangun sebagaimana biasanya.

Ahmad Syafii Ma’arif dalam “Membangun Kembali Indonesia”, menyebut bahwa ; sektor yang menjadikan ekonomi Indonesia bernafas bukan karena konglomerat tetapi justru ekonomi rakyat. Sebab, demikian katanya, para konglomerat kita—yang menggunakan sistem kapitalis—keberadaannya semu belaka, sama sekali tidak otentik. Di masa lalu mereka bekerja erat dengan penguasa dan perbankan degan diiringi berbagai penyimpangan.

Untuk itu, penting untuk di catat, terutama dalam konteks pembangunan ekonomi ke depan, kaum dhu’afa mesti menjadi perhatian prioritas dari negara. Apakah itu dalam bentuk UKM—sebagaimana ditawarkan oleh sebagian ekonom Indonesia, termasuk A. Syafii Ma’arif di atas—sehingga terjadi pemerataan ekonomi secara berkesinambungan (sustenaible economic). Kehidupan ekonomi kaum dhu’afa sebagaimana sederhananya, sesungguhnya menjadi basis pertahanan yang strategis bagi negara dalam menghadapi kemungkinan krisis. Di samping itu, dinamika kehidupan ekonomi di tingkat kaum dhu’afa relatif lebih sehat, humanis, kompelemntatif, dan jauh dari mdel-model kompetisi yang saling menegasi.

Lebih dari itu semua, dalam skala yang lebih besar lagi, pla kehidupan ekonomi kaum dhua’fa bisa memotong ketergantungan negara terhadap aktor-aktor maupun lembaga-lembaga neo-liberal semacam IMF, WTO, CGI, ADB dan lain sebagainya. Sebab, sedikitnya hanya kehidupan ekonomi kaum dhu’afa-lah yang tidak terkontaminasi (keluar) dari hingar-bingar pertarungan ekonomi kaum pemodal yang berada dalam bingkai kejahatan ekonomi neo-liberaal. Nah, sadarlah kita dengan apa yang disebut Imam Khomeini “Duhai Tuhan janganlah engkau cabut rohku dari orang-orang awam”.

Palu, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar