Minggu, 13 November 2011

Power Ekonomi Kaum Dhu'afa

Konon, suatu ketika Allah Swt berfirman; “Jika kamu mencariku, carilah di tempat orang-orang papa” (Hadits Qudsi). Pun, Imam Khomeini pernah bersabda: “Duhai Tuhan janganlah engkau cabut rohku dari orang-orang awam”. Firman dan pernyataan Imam Khomeini di atas secara eksplisit hendak menjelaskan bahwa betapa agungnya posisi orang-orang papa dalam pandangan Islam. Kaum papa, dhu’afa, miskin atau apapun term yang digunakan, menggambarkan suatu realitas kelas sosial—meminjam istilah kaum Marxian—yang berada pada posisi marginal baik secara ekonomi, politik, budaya, hukum, dan sebagainya.

Dalam konteks ekonomi, kaum dhu’afa biasanya dicirikan dengan kepemilikan terhadap alat-alat produksi (kapital) yang sangat sedikit, baik itu disebabkan oleh marginalisasi struktural maupun terjadi secara alamiah. Sederhananya, biasa disebut sebagai kemiskinan. Kemiskinan yang disebabkan oleh marginalisasi struktural yang dimaksud adalah suatu realitas ekonomi masyarakat yang diakibatkan oleh adanya kebijakan (negara) yang timpang, dimana terdapat segelintir orang yang memiliki akses dan penguasaan terhadap alat-alat produksi yang lebih dibandingkan mayoritas masyarakat. Sementara, kemiskinan alamiah dimaksudkan untuk menggambarkan suatu realitas ekonomi masyarakat yang muncul sebagai sesuatu yang bersifat alamiah, dimana kemiskinan atau kekayaan benar-benar diperoleh berkat usaha masing-masing individu dalam masyarakat.

Dalam kerangka analisis sosial Jalaluddin Rakhmat, dapat diidentifikasi mana kemiskinan ekonomi masyarakat yaang terjadi akibat marginalisasi struktural dan mana yang bersifat alamiah. Jalaluddin Rakhmat (1999) menyebut, jika kemiskinan menimpa satu atau dua (sedikit) orang penduduk, maka itu adalah problem individual, yang boleh jadi diakibatkan oleh kurangnya kreativitas dan spirit dalam mencari sumber-sumber mata pencarian. Sebaliknya, jika kemiskinan menimpa sebagian besar masyarakat, maka itu adalah prolem sosial. Dan penyebabnya adalah kebijakan (regulasi) ekonomi negara yang timpang.

Realitas kemiskinan ekonomi masyarakat Indonesia dewasa ini tampaknya tidak lagi bersifat individual, melainkan telah meluas menjadi segepok problem sosial yang bersifat massif. Fenomena kemiskinan hampir terjadi seacraa telanjang dimana-mana, mulai dari masyarakat perkotaan sampai pedesaan. Apalagi, pasca terjadinya krisis moneter pada penghujung tahun 1997. Angka pengangguran tiba-tiba melambung tinggi, banyak karyawan yang di-PHK secara paksa oleh perusahaan, pengemis, pengamen, kuli bangunan dan buruh tani, menjadi fenomena keseharian yang tiada kunjung terkikis.

Konglomerasi : Awal Kejahatan Ekonomi Negara

Struktur ekonomi yang timpang biasnaya bermula dari kebijakan ekonomi (negara) yang tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat-kebanyakan. Tetapi lebih ditujukan kepada kaum elite ekonomi yang memiliki modal yang besar. Di zaman Orde Baru, keberpihakan negara terhadap kaum elite ekonomi terjadi secara terang benderang. Sebutlah, bagaimana para pengusaha yang mendapatkan perlakuan khusus dari negara—yang ditandai dengan kemudahan dalam akses ekonomi yang begitu besar—hingga membentuk lingkaran setan konglomerasi. Liem Soe Liong, Bob Hasan, Nurdin Khalid, Edy Tansil adalah sedikit dari deretan panjang nama-nama pengusaha yang mendapatkan perlakukan khusus tersebut dari negara.

Begitu pula di era pasca Orde Baru, ternyata belum ada tanda-tanda perubahan yang cukup signifikan. Konglomerasi bahkaan terkesan semakin menjadi-jadi dan dipelihara oleh negara secara sistemik. Negara tidak lagi menjadi regulator yang baik dan terhormat dalam menata kehidupan ekonomi masyarakat, hingga tegak dalam bingkai suci keadilan dan keadaban. Pada akhirnya, jurang (gap) ekonomi kian menganga lebar. Masyarakat miskin kian terpinggirkan (marginal) semetara di sisi lain, yang kaya kian mendapatkan kesempatan untuk menumpuk kekayaannya. Tanpa sedikit pun merasa bertanggung jawab untuk turut mendinamisasi kehidupan ekonomi masyarakat ke arah kesejahteraan. Di sinilah teori “impossible hand” a la Adam Smith menjadi lumpuh dan tidak memiliki arti apa-apa (cacat secara konseptual) dalam mengatasi problem-problem kemiskinan yang muncul.

Secara teoritik, konglomerasi ekonomi merupakan konsekwensi logis dari dianutnya sistem ekonomi liberal oleh negara. Sistem ekonomi neo-liberal meniscayakan adanya keberpihakan yang jelas dari negara terhadap para pemilik modal. Bahkan dalam takaran tertentu, negara hanya menjadi sebatas epelayan atau “alat stempel” an sich bagi kepentingan-kepentingan ekonomi kaum pemodal. Negara tidak memiliki fungsi yang lebih, selain fungsi-fungsi yang bersifat administratif. Semenatara secara otoritatif, dikuasai oleh kaum pemodal baik secara nasional maupun internasional melalui kekuatan-kekuatan TNCs dan MNCs.

Wajah Ekonomi Kaum Dhu’afa

Konglomerasi tentunya tidak sejalan dengan asas-asas keadilan sosial dan ekonomi bangsa. Dan lebih ekstrim lagi, menikam nurani dan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Negara, jika berada dalam posisi seperti itu, bisa disebut sebgai alat kejahatan ekonomi yang nyata. Negara tidak menjalankan fungsi-fungsi dasarnya sebagai kekuatan proteksionis terhadap rakyatnya dari segenap ancaman-ancaman ekonomi kaum pemdal domestik dan global yang meendehumanisasi dan memporak-porandakan basis religiusitas.

Sementara, pada dasarnya—sebagaimana terbukti pada krisis yang dialami oleh Indonesia, baik di zaman Orde Lama (Soekarno) maupun yang memicu turunnya Soeharto dari singgasana kekusaannya—kehidupan ekonomi di level elite sungguh teramat rentan terhadap krisis. Ketika krisis ekonomi datang menyapu yang pertama kali terpental adalah alah para pengusaha dilevel elite dan segelintir di level menengah (middle class) yang tengah beranjak naik. Sebaliknya, kehidupan ekonomi kaum dhu’afa tidak terpengaruh sama sekali. Kalaupun ada, relatif begitu kecil dan tidak sampaai mengganggu normalitas yang telah eterbangun sebagaimana biasanya.

Ahmad Syafii Ma’arif dalam “Membangun Kembali Indonesia”, menyebut bahwa ; sektor yang menjadikan ekonomi Indonesia bernafas bukan karena konglomerat tetapi justru ekonomi rakyat. Sebab, demikian katanya, para konglomerat kita—yang menggunakan sistem kapitalis—keberadaannya semu belaka, sama sekali tidak otentik. Di masa lalu mereka bekerja erat dengan penguasa dan perbankan degan diiringi berbagai penyimpangan.

Untuk itu, penting untuk di catat, terutama dalam konteks pembangunan ekonomi ke depan, kaum dhu’afa mesti menjadi perhatian prioritas dari negara. Apakah itu dalam bentuk UKM—sebagaimana ditawarkan oleh sebagian ekonom Indonesia, termasuk A. Syafii Ma’arif di atas—sehingga terjadi pemerataan ekonomi secara berkesinambungan (sustenaible economic). Kehidupan ekonomi kaum dhu’afa sebagaimana sederhananya, sesungguhnya menjadi basis pertahanan yang strategis bagi negara dalam menghadapi kemungkinan krisis. Di samping itu, dinamika kehidupan ekonomi di tingkat kaum dhu’afa relatif lebih sehat, humanis, kompelemntatif, dan jauh dari mdel-model kompetisi yang saling menegasi.

Lebih dari itu semua, dalam skala yang lebih besar lagi, pla kehidupan ekonomi kaum dhua’fa bisa memotong ketergantungan negara terhadap aktor-aktor maupun lembaga-lembaga neo-liberal semacam IMF, WTO, CGI, ADB dan lain sebagainya. Sebab, sedikitnya hanya kehidupan ekonomi kaum dhu’afa-lah yang tidak terkontaminasi (keluar) dari hingar-bingar pertarungan ekonomi kaum pemodal yang berada dalam bingkai kejahatan ekonomi neo-liberaal. Nah, sadarlah kita dengan apa yang disebut Imam Khomeini “Duhai Tuhan janganlah engkau cabut rohku dari orang-orang awam”.

Palu, 2005

Telaah Komparatif Khittah Perjuangan dan Nilai Dasar Perjuangan

Setiap sistem keyakinan (ideologi), tidak terkecuali Islam, pasti memiliki seperangkat pandangan-dunia yang berfungsi untuk menjelaskan (konseptualisasi) tentang berbagai aspek yang bersifat universal dan prinsipil dalam sistem keyakinan tersebut. Pandangan-dunia (world view) menjadi faktor penting dan determinatif bagi konstruk, pilihan dan sikap keberagamaan seseorang, sebab lewat pandangan-dunialah seseorang bisa mengetahui, mengenali, menyelami dan bahkan memverifikasi kebenaran sistem keyakinan yang tengah dianutnya. Boleh jadi, karena memang posisi pandangan dunia adalah dalam kerangka mengetengahkan hujjah-hujjah dasar secara rasional-filosofis, guna menopang keabsahan sistem keyakinan yang dianut oleh seseorang atau sekelompok orang sehingga benar-benar terterima oleh nalar kemanusiaan dan prinsip-prinsip kebenaran sebagai sesuatu yang sejatinya memang layak untuk diamini kebenarannya.

Tetapi sebaliknya, pandangan-dunia bisa pula menjadi palu godam yang siap menghempas setiap sistem keyakinan yang miskin pijakan intelektual dan absurd ke pojok-pojok sejarah. Sebuah sistem keyakinan minus pandangan-dunia, tidak berarti apa-apa, kecuali sekedar deretan petuah-petuah atau dogma-dogma yang nirmakna. Secara praksis, alih-alih mengarahkan kepada pengetahuan dan kesadaran yang sublim, justru sebaliknya akan menggiring penganutnya kepada pola keberagamaan yang mekanistik, hegemonik, ritualistik, artifisial dan sukar dipertanggungjawabkan secara intelektual.

Murtadha Muthahhari menyebutkan bahwa pandangan-dunia yang benar adalah, paling tidak, dicirikan oleh ; pertama, memuat prinsip-prinsip dan nilai-nilai kebenaran secara universal, yang bersumber dari Pemilik Kebenaran yang luhur dan tinggi. Dalam ajaran Islam, prinsip kebenaran ini biasa dikenal sebagai prinsip Tauhid. Sebuah prinsip kebenaran yang didaulat berasal dari sang Mahamutlak dan Mahasempurna, Allah Swt. Kedua, karena memuat prinsip-prinsip dan nilai-nilai kebenaran yang luhur, maka oleh karena itu, secara esensial, pandangan-dunia juga mesti selaras dengan fitrah kemanusiaan dan sekaligus memberi efek sosial yang besar terutama bagi tegaknya peradaban manusia yang luhur pula. Dan ketiga, memiliki kemampuan untuk menjawab aneka tantangan dan problematika kemanusiaan di tengah arus dinamika zaman yang senantiasa berubah dan bergerak dengan sedemikian cepat.

Pandangan-dunia yang benar, menjadi penting bagi manusia tidak saja secara individual, melainkan lebih dari itu, bagi setiap kelompok manusia (jama’ah, organisasi), yang biasanya diikat oleh kesamaan perspektif dan kecenderungan untuk memperjuangkan cita-ideal kehidupan sosial yang relevan dengan prinsip-prinsip yang diyakini bersama. Bahkan dalam konteks organisasional, pandangan-dunia memiliki fungsi pokok sebagai bingkai inspirasi, spirit, motivasi dan landasan pijak bagi para pegiatnya dalam menghembuskan nafas suci perjuangan dan perubahan.

Karena perkara pandangan-dunialah, tidak jarang kita saksikan, berbagai episode sejarah yang menampilkan keberanian dan keteguhan para manusia suci di zamannya yang mendedikasikan diri dan hidupnya untuk menegakkan prinsip-prinsip kebenaran tadi, baik secara personal maupun berkelompok. Sehingga sebagaimana sabda Taqi Misbah Yazdi, risalah tentang perjuangan adalah kumpulan kisah tentang aktualisasi tekad yang didorong oleh suatu “pandangan dunia”.1

Pada organisasi-organisasi tertentu—utamanya yang memiliki kadar visi sosial yang begitu kuat—bangunan pandangan-dunia yang disorot dari perspektif komunitasnya, biasa dirumuskan secara konseptual hingga menjadi semacam “kitab suci” gerakan, atau acapkali disebut sebagai paradigma (manhaj) gerakan. Paradigma gerakan, dengan demikian, menjadi tafsir dan sekaligus berisi tentang penjelasan organisasional terhadap nilai-nilai dasar yang dianut dan diperjuangkan, penilaian umum tentang keadaan sosial politik yang dihadapi serta strategi-strategi dasar dari gerakan.2 Paradigma gerakan ini untuk selanjutnya menjadi tuntunan bagi setiap individu di dalam kelompok sosial tersebut, baik menyangkut dimensi moral, intelektual, spiritual, keadilan, kebenaran dan strategi maupun usaha-usaha yang dapat dilakukan guna mencapai tujuan organisasi.

Bagi HMI sebagai salah satu organisasi—yang berbasis kemahasiswaan—yang melandaskan gerakannya kepada ajaran suci Islam, memiliki rumusan konseptual paradigma gerakan yang disebut dengan Khittah Perjuangan. Khittah Perjuangan secara umum berisikan konsepsi dasar HMI terhadap : pertama, azas keyakinan Tauhidi yang mutlak dianut oleh seorang muslim (Keyakinan Muslim). Kedua, kerangka epistemologi keilmuan Islam (Wawasan Ilmu). Ketiga, sistem sosial yang dikehendaki HMI (Wawasan Sosial). Keempat, konsep teoritis dan praktis (aktualisasi) jihad dalam perspektif Islam (Etos Perjuangan). Kelima, model kepemimpinan Islam (Kepemimpinan). Dan keenam, pandangan eskatologis Islam—yang dibingkai oleh konsepsi Keadilan Ilahi—berkenaan dengan ganjaran bagi setiap pelanggaran yang dilakukan oleh manusia.

Di samping itu, pada bagian berikutnya dapat ditemukan, penjelasan umum tentang tujuan HMI yang ditegaskan dalam frase kalimat : “Terbinannya mahasiswa Islam menjadi insan Ulul al-Baab yang turut bertanggungjawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi Allah Subhanu Wata’ala,” kualifikasi kader Cita HMI yang dimaksud (insan Ulul al-Baab), dan sifat independensi HMI dan kader HMI. Semua ini terangkum menjadi satu kesatuan (integral) penjelasan HMI terhadap Islam yang diyakini sebagai ajaran suci kemanusiaan dan sekaligus menjadi alasan logis untuk memperjuangkannya, hingga tegak menjadi sebuah sistem sosial yang mencerahkan bagi manusia dan kemanusiaan atau dalam terminologi wahyu disebut sebagai Baldatun Thayyibatun Warrabbun Ghafur.

Setting Pemikiran Lahirnya Khittah Perjuangan HMI

Khittah Perjuangan sebagai produk-sejarah intelektual kader-kader HMI sesungguhnya tidak lahir dengan begitu saja. Ia lahir melalui suatu rentang proses sejarah yang cukup panjang. Sebagai produk sejarah tentunya prosesi kelahirannya berjalin-kelindan dengan dinamika HMI ; realitas internal organisasi maupun situasi eksternal yang mengitari dan kerapkali mempengaruhi eksistensi dan pergerakan HMI.

Jika dilacak secara historis, sebelum ditetapkannya Khittah Perjuangan sebagai paradigma gerakan HMI, dokumen-dokumen sejarah keorganisasian HMI mencatatkan beberapa “acuan gerakan” yang pernah digunakan oleh HMI adalah : Tafsir Azas (1957-1963), Kepribadian HMI (1963-1966), Garis-garis Pokok Perjuangan (1966-1969)3 dan Nilai Dasar Perjuangan (1969-1988). Dari kesemuanya, yang terakhir ini hingga kini tetap digunakan oleh HMI-Dipo sebagai acuan gerakannya. Prosesi awal kelahiran Khittah Perjuangan dipicu oleh beberapa perkembangan yang terjadi di HMI baik secara internal maupun akibat “intervensi” eksternal ; pertama, kristalisasi kehendak-kuat kader HMI untuk melakukan Islamisasi di HMI. Proyek Islamisasi, yang bagi HMI berarti sebagai proses mengaktualkan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan atau menafasi seluruh kegiatan HMI (dalam arti anggota dan organisasi) dengan nilai-nilai Islam,4 tampak begitu menguat di era tahun 1980-an, utamanya di masa kepemimpinan Abdullah Hehamahua. Islamisasi tersebut kemudian diupayakan semaksimal mungkin terjadi atau menjangkau tiga wilayah sekaligus ; ideologis, kultur dan identitas simbolik kader HMI.

Berkenaan dengan fenomena Islamisasi di HMI kala itu, Hasanuddin M. Saleh mengungkap bahwa mulai munculnya semacam antusiasme melaksanakan ajaran Islam yang cukup tinggi. Aturan-aturan keagamaan yang sebelumnya tidak terlalu diperhatikan, kemudian menjadi penting. Pelaksanaan ibadah shalat, puasa, zakat, diupayakan sesuai berdasarkan hukum fiqh. Anggota HMI-Wati (mahasiswi) berlomba-lomba mengenakan busana muslimah, sekretariat HMI menjadi pusat kegiatan dakwah dan kegiatan sosial seperti membentuk desa binaan dan membina kelompok-kelompok pengajian.5

Proyek Islamisasi dirasa begitu penting bagi HMI, mengingat sejak HMI lahir, Islam belum sepenuhnya memiliki bentuk dan diimplementasikan secara menyeluruh pada kader-kader HMI. Padahal, Islam diyakini oleh HMI sebagai sistem nilai dan landasan pijak operasional organisasi. Nah, hal ini pulalah, yang dikemudian hari, mendasari munculnya gugatan kritis terhadap NDP. Muatan NDP sebagai paradigma gerakan HMI kian dirasa tidak memadai lagi untuk menjawab tantangan dan kebutuhan HMI. NDP oleh kebanyakan kader HMI dinilai tidak murni mengintrodusir sistem keyakinan yang bersumber dari ajaran Islam. Puncak dari gugatan tersebut adalah ketika pada Kongres XV di Medan (1983) ramai-ramai peserta kongres mengkritisi dan sekaligus merekomendasikan lokakarya guna meninjau ulang konsepsi NDP.

Kedua, kristalisasi kehendak-kuat kader HMI untuk melakukan internalisasi nilai-nilai keislaman di HMI, secara eksternal juga turut dipicu (menemukan momentum) oleh perkembangan situasi Islam secara global. Dinamika ummat Islam global yang ditandai dengan munculnya berbagai gerakan Islam yang concern dalam memperjuangkan ideologi Islam sebagai sistem sosial di negaranya, meniupkan spirit dan motivasi yang begitu kencang bagi kader-kader HMI akan pentingnya menjadikan Islam sebagai sistem nilai yang dianut sekaligus diperjuangkan. Tercatat, beberapa gerakan Islam yang mempengaruhi HMI adalah gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir dan meletusnya Revolusi Islam Iran pada tahun 1978-1979.

Dan ketiga, kebutuhan terhadap paradigma gerakan yang integrated6. Paradigma gerakan—karena menjadi sumber nilai, inspirasi dan motivasi gerakan—maka secara konseptual mesti menjadi keranga penjelas yang sistematis, utuh, dan konsisten terhadap asas, tujuan, dan metode perjuangan organisasi. Sementara, pada masa itu, NDP hanya diposisikan sebatas sebagai tafsir asas, yang tidak memiliki korelasi penjelas secara langsung dengan tujuan dan metode perjuangan HMI. Inilah yang menjadi titik lemah NDP, sehingga mendorong kader-kader HMI untuk mencoba membuat terobosan guna melahirkan paradigma gerakan yang integrated dalam menjelaskan tentang asas, tujuan, dan metode perjuangan HMI di masa-masa mendatang.

Telaah Komparatif Khittah Perjuangan dan NDP

Munculnya kritik terhadap ketidaklayakan NDP untuk digunakan lagi sebagai paradigma gerakan HMI, boleh jadi, di antaranya diakibatkan oleh prosesi kelahiran NDP yang tidak cukup matang dan jauh dari apresiasi intelektual kader-kader HMI secara keseluruhan. Pasalnya, secara historis, NDP pada awalnya hanya merupakan kerta kerja PB. HMI (1966-1969) pada periode kepemimpinan Nurcholish Madjid yang diajukan pada kongres di Solo. Oleh peserta kongres, rumusan NDP ini kemudian direkomendasikan untuk disempunakan oleh pengurus berikutnya, mengingat bobotnya yang relatif kurang memadai. Untuk keperluan tersebut, maka dibentuklah tim yang terdiri dari Endang Saefuddin Anshari, Sakip Mahmud dan Nurcholish Madjid itu sendiri. Tetapi karena persoalan teknis, akhirnya NDP lebih merupakan representasi pemikiran Nurcholish Madjid, tanpa ada kontribusi pemikiran dari yang lain.7

Tetapi lebih dari itu, sebagaimana pula mencuat pada forum Kongres XV di Medan (1983), muatan NDP juga dipandang belum secara komperehensif menyajikan suatu bangunan sistem keyakinan Islam, atau bahkan memiliki kelemaham secara konseptual, yang jika dibiarkan begitu saja berpotensi distorsif bagi pemahaman keberislaman secara benar. Beberapa kelemahan muatan konseptual yang terkandung pada NDP dan sekaligus menjadi titik perbedaan dengan Khittah Perjuangan, sedikitnya dapat diidentifikasi sebagai berikut ; pertama, berkenaan dengan konsepsi ketuhanan. Konsep ketuhanan adalah salah satu tema yang menempati posisi sentral dan utama dalam diskursus tentang pandangan dunia (world view), di samping konsep kemanusiaan dan kesemestaan. Konsep ketuhanan bersifat determinatif atau menjadi “payung” bagi dua konsep yang lain. Sebab, dapat dipastikan bahwa hanya dengan pemahaman yang benar terhadap Tuhan, akan lahir konsep kemanusiaan dan kesemestaan yang benar pula. Sehingga ketiga konsep tersebut menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan satu sama lain (integrated). Pemisahan atasnya, hanya akan membawa seseorang kepada pemahaman yang parsial dan jauh dari idealitas kebenaran.
Dalam NDP8, konsep kebertuhanan HMI dijelaskan dalam materi yang disebut sebagai Dasar-Dasar Kepercayaan. NDP memulai penjelasannya dengan hantaran tentang wawasan pandangan dunia. Disebut bahwa ;

“manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup dan budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi.”

Dalam perspektif ini, pandangan dunia (konsep beragama)—dan bahkan sistem keyakinan (agama)—dipandang sebagai kebutuhan manusia yang lahir karena dikaitkan dengan dimensi eksternal, yakni upaya mengembangkan hidup dan peradabannya ke arah yang benar. Kebutuhan terhadap pandangan dunia (baca : Tuhan) yang benar direduksi hanya bernilai fungsional, tanpa dipandang memiliki korelasi yang inhern dengan watak dasar kemanusiaan (fitrah). Kerangka pandang seperti ini jelas distorsif dan lahir dari asumsi yang memisahkan antara Tuhan sebagai Mahapencipta dengan manusia dan kehidupannya. Sementara, Khittah Perjuangan memperkenalkan bahwa keyakinan terhadap Tuhan adalah sesuatu yang bersifat fitri dalam diri manusia. Ia bersifat mengada (potensial). Sehingga tanpa dihubungkan dengan kehidupan dan peradaban manusia sekalipun, ia telah dan tetap ada dalam diri manusia. Ia bahkan menjadi esensi bagi kehidupan itu sendiri. Inilah yang dalam ajaran Islam disebut sebagai kesadaran primordial manusia.

Selanjutnya, NDP menjelaskan bahwa untuk dapat memahami Tuhan secara benar, maka manusia memerlukan wahyu, yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung dari Tuhan sendiri kepada manusia. Pada frase kalimat yang lain, NDP menegaskan ; “Jadi untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang kepada al-Qur’an dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammad Saw”. Dalam perspektif Khittah Perjuangan, deduksi seperti ini kurang dapat dipertanggungjawabkan. Sebab, ia berangkat dari pendekatan yang bersifat antroposentrik. Dalam terminologi yang lain, biasa disebut sebagai pandangan dunia yang diterima begitu saja (ta’abuddi). Sebuah konsep pandangan dunia yang menyerahkan validitas argumentasi kebenaran kepada otoritas pemuka agama (ulama’) atau doktrin teologis tertentu. Sehingga, eksistensi Tuhan menjadi tergantung kepada persepsi ciptaan-Nya (manusia). Sementara, sebagaimana disitir sendiri oleh Allah Swt dalam beberapa ayat di al-Qur’an, bahwa Ia sendirilah yang memperkenalkan diri-Nya kepada manusia, bukan nabi Muhammad, pemuka agama atau siapapun jua.

Khittah Perjuangan, sebaliknya memperkenalkan pendekatan untuk mengenal Allah melalui Allah itu sendiri (wujudiyyah). Pendekatan wujudiyyah ini secara konseptual diperkenalkan dengan begitu sistematis dan menarik oleh Mulla Sadra. Menurut Mulla Sadra dengan bersandar kepada konsep wujudiyyah kita dapat mengetahui Tuhan secara benar dan tanpa harus bergantung kepada persepsi makhluk-Nya. Karena pengetahuan tentang-Nya adalah sesuatu yang bersifat niscaya lagi rasional (self-evident). Mulla Sadra (dan juga sebelumnya oleh filosof par excellence, Ibnu Sina) membagi wujud menjadi tiga ; pertama, wajib al-wujud, yakni wujud yang mutlak keberadaannya, sederhana (tidak tersusun), tidak disebabkan dan tidak tergantung kepada yang lain. Wujud ini biasa pula disebut sebagai wajib al-wujud karena dirinya sendiri. Kedua, mumkin al-wujud, yakni wujud yang keberadaan tergantung kepada yang lain (wajib al-wujud). Atau biasa pula disebut sebagai wajib al-wujud karena yang lain. Dan yang ketiga adalah mustahil al-wujud, yakni wujud yang mustahil keberadaannya.

Pengenalan Tuhan melalui konsep wujudiyyah, ditopang oleh beberapa prinsip ontologis yakni ; ashalah al-wujud (kemendasaran wujud), wahdah al-wujud (kemenyatuan wujud), tasykik al-wujud (gradasi wujud secara sistematis) dan (gerak trans-substansial). Dengan mendasarkan kepada prinsip ashalah al-wujud, Mulla Sadra hendak menegaskan bahwa wujud (eksistensi) adalah merupakan prinsip utama dalam memahami realitas. Artinya, bahwa dalam segenap realitas, wujudlah yang merupakan dimensi substansial. Ia bukan aksiden. Sehingga, wujud menjadi sesuatu yang tidak dapat ditolak atau dipungkiri keberadaanya. Demikian pula, dengan prinsip wahdah al-wujud, ditegaskan bahwa realitas wujud pada dasarnya adalah satu. Tidak berbeda satu sama lain. Tuhan, manusia dan alam semesta secara wujud adalah sama. Hanya saja, manusia dan alam semesta adalah wujud yang keberadaannya tergantung kepada Tuhan (wajib al-wujud karena yang lain), laiknya matahari dengan cahaya matahari.

Selanjutnya, pada prinsip tasykik al-wujud, dijelaskan bahwa di antara wujud yang sama tersebut, dalam aktualitasnya membentuk semacam hirarki wujud, yang sifatnya bertingkat-tingkat. Wujud yang paling tinggi adalah wujud yang menjadi sebab dari segala sebab (causa prima) atau wujud yang tidak tergantung kepada yang lain, dan pada tingkatan yang paling rendah adalah wujud yang kadar ketergantungannya kepada wujud di atasnya paling besar, yakni wujud material. Dan terakhir, melalui prinsip al-haraqah al-jauhariyyah Mulla Sadra melakukan terobosan filosofis, dengan mengetengahkan argumentasi bahwa terdapat kemungkinan (potensi) untuk terjadinya transformasi secara sempurna pada tingkatan wujud.

Dengan konsep wujudiyyah tersebut, diskursus tentang Tuhan menjadi sesuatu yang obyektif, tidak lagi dilandasi oleh subyektivitas kemanusiaan maupun sistem keyakinan yang kita anut. Artinya, bahwa pembuktian mengenai eksistensi Tuhan pada akhirnya menjadi sesuatu yang niscaya dalam bangunan logika kemanusiaan, lagi tak dapat ditolak sedikitpun. Ia menjadi pengetahuan hudhuri bagi manusia. Dalam konteks ini, dasar-dasar keyakinan kita terhadap Tuhan telah tertanam lebih dahulu, jauh mendahului keyakinan kita terhadap kebenaran agama (wahyu) maupun kerasulan Muhammad.

Gambaran tentang konsep ketuhanan seperti inilah, yang dalam perspektif Khittah Perjuangan—maupun konsep ketuhanan dalam Islam secara umum—disebut sebagai Tauhid Uluhiyyah. Sebuah konsep kebertuhanan yang lahir karena keniscayaan Tuhan itu sendiri sebagai yang Mahaada. Jalaluddin Rakhmat menyebutnya sebagai tuhan yang disaksikan9. Sementara, pendekatan yang bersifat antroposentrik untuk memahami Tuhan sebagaimana NDP, disebut sebagai Tauhid Rubbubiyyah atau konsep kebertuhanan yang lahir karena Tuhan dihubungkan dengan yang lain (persepsi makhluk-Nya).

Kedua, perspektif keadilan Tuhan. Terdapat kecenderungan yang begitu kuat berkenaan dengan perspektif NDP dalam melihat masalah keadilan Tuhan yang belum sepenuhnya keluar dari belitan perdebatan teologis antara Mu’tazilah dengan Asy’ariyyah. Sementara, secara konsepsional-filosofis, apa yang diajukan—baik Mu’tazilah maupun Asy’ariyyah—justru terbukti “tumpul” dalam menghantar kita kepada pemahaman yang benar-benar komprehensif terhadap masalah keadilan Tuhan.

Sebagaimana telah diketahui, secara teologis, di satu sisi kaum Asy’ari terperangkap dalam konstruk pemahaman yang bersifat deterministik. Sebaliknya di sisi lain, kaum Mu’tazili memandang bahwa manusia terlepas sepenuhnya (otonom) dari segala intervensi Ilahi. Padahal jika ditelusuri, terbukti bahwa kedua konstruk pemahaman teologis ini tidak ada bedanya. Baik Asy’ari maupun Mu’tazilah sesungguhnya terjebak dalam suatu titik ekstrim pemahaman yang berada dalam kutub berbeda, namun sama kadar distorsifnya.

Nah, dalam konteks Khittah Perjuangan, yang tentunya berbeda dari keduanya, ditegaskan bahwa ada dua terminologi kunci dalam memahami masalah Keadilan Ilahi, yakni keadilan secara takwini dan secara tasyri’i. Secara takwini, segala fenomena kesemestaan—termasuk aktivitas manusia—pada dasarnya bersumber dari Tuhan. Tuhanlah yang menjadi penyebab (asbab) bagi kebaikan maupun keburukan yang dilakukan oleh manusia. Tetapi secara tasyri’i, keridhaan Tuhan terhadap perilaku manusia distandarisasi oleh syariat—sebagai sebuah mekanisme yang dibuat untuk mengatur manusia dalam kehidupan sosialnya agar tetap berjalan pada aras-Nya. Artinya bahwa perilaku yang dilakukan oleh seseorang agar dapat didefinisikan sebagai perilaku yang baik manakala disandarkan kepada syariat. Ia menjadi buruk manakala buruk secara syariat. Dengan demikian, pada level inilah kebebasan manusia untuk memilih (free coise) dan berkehendak (free will) dimungkinkan, di samping jelas memegang peranan kunci dalam menentukan baik atau buruknya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang.

Ketiga, Konsep Epistemologi Keilmuan. Hal lain yang juga dikritisi oleh Khittah Perjuangan terhadap NDP adalah berkenaan dengan konsep epistemologi keilmuan. Dalam perspektif Khittah Perjuangan, NDP secara epistemologi masih menerapkan standar maupun metode keilmuan pada dimensi aqliyah dan empirikal an sich—sebuah standar dan metodologi keilmuan yang sejatinya bermuara dari telaga epistemologi Barat yang cenderung sekuler-ateistik. Sedangkan, Khittah Perjuangan menegaskan bahwa dalam diri manusia pada galibnya terdapat salah satu dimensi penting yang jika dioptimalkan dapat membentuk kerangka epistemologi keilmuan yang holistik dan mondial, yakni qalb (intuisi). Secara sederhana, potensi qalb bekerja dalam logika hudhurian, dimana pengetahuan puncak dicapai dengan cara melakukaan penyucian ruhani (takziyatun nafs). Jadi, dalam perspektif Khittah Perjuangan, ikhtiar untuk mengembangkan pengetahuan manusia di samping dilakukan dengan metode hushuli (eksplorasi akal dan kemampuan inderawi) juga mutlak dibarengi dengan penyucian ruhani sebagai langkah proyektif dalam membersihkan cermin jiwa manusia yang kerap kali ditempeli oleh noda-noda kemanusiaan.

Keempat, konsep sistem sosial. Secara teoritik, konstruk sistem sosial yang dikehendaki oleh HMI melalui penjelasan NDP juga tampaknya masih begitu dikitari oleh perseteruan dua mainstream pandangan dunia, yakni kapitalisme dan sosialisme. Dalam konteks ini, NDP secara terang benderang kelihatan terseret ke dalam kubangan ambiguitas dalam menentukan pilihan terhadap entitas sosial mana yang lebih fundamen, apakah individu atau masyarakat ?. Satu tema sentral yang memang menjadi titik polemik antara dua pandangan dunia tadi. Sementara, dalam menjawab hal ini, Khittah Perjuangan—sebagaimana pula diungkap oleh Murtadha Muthahhari10—menjelaskan bahwa ada dua dimensi penting yang mesti diperhatikan dalam mendefinisikan baik individu maupun masyarakat. Pertama, bahwa realitas dasar dari keduanya tidaklah murni bersifat material. Begitupun pola hubungan yang terjalin di antaranya—baik antarindividu maupun antara individu dengan masyarakat—tidak sepenuhnya dilandasi oleh motif-motif material, melainkan (tidak jarang) justru didorong oleh motif-motif suci spiritual atau religius. Yang kedua, baik individu maupun masyarakat sama-sama memiliki jiwa, yang tentunya cenderung tunduk kepada fitrah kemanusiaan (hanief). Sehingga dengan demikian, keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan dipandang dengan pendekatan yang bersifat dikotomis. Musuh individu adalah musuh masyarakat, dan begitu pula sebaliknya, musuh masyarakat juga niscaya menjadi musuh bagi kemanusiaan (individu) secara nyata. Untuk itu, hukum sosial dibuat dalam kerangka melindungi keduanya (bersifat preventif) dari bahaya yang dapat saja menghadang pengembangan karakter kemanusiaan dan masyarakat yang bermartabat.

Kelima, masalah tujuan HMI. Kritik yang diajukan oleh Khittah Perjuangan menyangkut tujuan HMI yang termaktub dalam NDP (mencipta insan akademis, pencipta dan pengabdi) adalah bahwa apa yang diidealisir oleh NDP tidak menggambarkan suatu karakter kekaderan yang berdimensi ukhrawi, melainkan duniawi (profanik) an sich. Olehnya, Khittah Perjuangan coba mengintrodusir gagasan tentang kader Ulul Al-Baab yang hendak menyambungkan jalinan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi. Sebab, dalam hemat HMI, insan ulul al-baab merupakan prototipe kekaderan yang dalam term lain disebut oleh Al-Qur’an sebagai manusia sempurna (insan kamil). Sesosok makhluk berkesadaran sublim yang hidup dalam realitas kesejarahan guna membimbing ummat manusia menuju ketercerahan intelektual, moral, sosial, politik, budaya dan spiritual. Ia adalah makhluk yang memiliki karakteristik integral ; ’amanah (bertanggungjawab), shidiq (benar), adil, fathanah (cerdas, kratif dan inovatif) dan tabligh (progresif dalam berdakwah/penyampai kebenaran).

Palu, awal tahun 2005 

Catatan kaki :

1 Syafinuddin al-Mandary, Demi Cita-Cita HMI ; Catatan Ringkas Perlawanan Kader dan Alumni HMI terhadap Orde Baru, PT. Karya Multi Sarana, 2003, hal. 7.
2 Awalil Rizki sebagaimana dikutip Syafinuddin al-Mandary, HMI dan Wacana Revolusi Sosial, Hijau Hitam dan PSPI, 2003.
3 Syafinuddin al-Mandary, HMI dan Wacana Revolusi Sosial, Hijau Hitam dan PSPI, 2003, hal. 55.
4 Hasanuddin M. Saleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, Kelompok Studi Lingkaran dan Pustaka Pelajar, 1996, hal. 102.
5 Ibid, 101.
6 Syafinuddin al-Mandary, HMI dan Wacana Revolusi Sosial, op.cit. hal. 61.
7 Lihat Profile HMI-MPO, PB. HMI Periode 2001-2003.
8 NDP yang kami gunakan sebagai bahan komparasi adalah rumusan NDP yang diajukan sebagai draft pada Kongres XXIV HMI-Dipo, sementara Khittah Perjuangan yang digunakan adalah Hasil Kongres XXIV HMI-MPO.
9 Jalaluddin Rakhmat, Tuhan yang Disaksikan Bukan Tuhan yang Didefinisikan, copy internet.
10 Lihat penjelasan Muthahhari mengenai individu dan masyarakat dalam bukunya “Masyarakat dan Sejarah, Mizan, 1998.

Kamis, 28 Juli 2011

Kekuasaan

Dalam segenap ekstasi kekuasaan, senantiasa terselip rasa takut.

27 Juli 2011. Sejumlah media merilis pernyataan M. Jasin—salah seorang pimpinan KPK—terkait dengan proses hukum kasus-kasus korupsi Buol, di sela-sela kunjungannya untuk mengisi seminar yang diselenggarakan oleh salah satu NGO di Palu.

Bagi Bupati Buol, Amran Batalipu, berita ini tentu mengejutkan sekaligus mengkhawatirkan. Sebab, setelah sekian lama ia didakwa melakukan korupsi, baru kali ini ia betul-betul terancam masuk “jeruji besi”. Dan bila ini benar, maka rontoklah segala kuasa beserta pundi-pundi kekayaan yang ia kumpulkan selama ini di Buol.

Dalam situasi seperti ini, adakah kekuasaan masih menyediakan ekstasi yang memabukkan ? Saya kira tidak. Tidak ada situasi yang paling menakutkan bagi seorang pejabat melebihi saat-saat dimana ia kehilangan kekuasaan. Inilah puncak ketakutan dari seorang pejabat. Yasraf Amir Pilliang, mendeskripsikannya sebagai situasi dimana kekuasaan berubah menjadi sebentuk teror.

Teror terhadap kekuasaan adalah segala hal yang meniupkan ancaman terhadap kelanggengan kekuasaan seseorang. Bila bagi kelompok minoritas Kristen di Indonesia, bom menjadi bentuk teror yang paling menakutkan, maka bagi pejabat, penegakkan hukum merupakan teror yang amat berbahaya bagi kekuasaan mereka.

Teror yang terus berlanjut menciptakan realitas horor. Inilah situasi ketika penegakkan hukum tidak lagi sekedar meniupkan ancaman bagi kekuasaan seseorang, tetapi telah menciptakan ketakutan, kecemasan dan kengerian yang kompleks. Situasi dimana kekuasaan berubah menjadi sumbu kematian : keterpenjaraan, tamatnya karir politik, kehilangan pengikut, lenyapnya kekayaan, disorientasi masa depan, dan caci maki.

Hari-hari kini dan esok, bagi saya, adalah hari-hari yang menakutkan bagi kekuasaan Amran Batalipu. Saya membayangkan bagaimana ia kini dicengkeram rasa takut. Bagi dia, berita tentang proses hukum kasus-kasus korupsi Buol, kini tidak lagi sebagai sekedar ancaman, tapi telah menjelma menjadi horor : sumber rasa takut. Dalam situasi demikian terang saja kekuasaan menjadi tak ada gunanya. Hambar. Kekuasaan kini bahkan tak patut untuk dibanggakan. Apalagi menyelamatkannya.

(Jumat, 29 Juli 2011)

Selasa, 19 Juli 2011

Inilah Ruang Publik Kita !

Banyak kritik yang ditujukan atas kehadiran POROS sebagai sebuah grup diskusi. Mulai dari motif, peran, orientasi hingga efektifitasnya dalam konteks mewujudkan perubahan di Buol.

Masyarakat-manusia adalah entitas yang senantiasa berinteraksi, berkomunikasi maupun membangun jalinan kerjasama dengan orang lain. Dalam masyarakat-manusia kebutuhan terhadap interaksi dan komunikasi merupakan kebutuhan primer. Ia tak tergantikan oleh yang lain. Kebutuhan terhadap hal ini menjadi sedemikian kuat ketika era globalisasi muncul. Di abad ini, tak ada manusia yang bisa hidup dengan cara menutup pintu komunikasi dengan orang lain.

Nah, dalam konteks membangun komunikasi dan interaksi inilah manusia membutuhkan apa yang biasa disebut sebagai ruang publik. Ruang publik adalah arena dimana setiap individu hadir untuk mengkontestasikan gagasan, pikiran, maupun sikapnya. Dalam ruang publik tak ada pembatasan, pendisiplinan. Apalagi penunggalan (homogenisasi). Karena setiap pembatasan adalah tirani.

Dalam wujudnya ruang publik bisa berupa warung kopi, taman kota, mall maupun tempat-tempat (spaces) lain yang bisa menjadi arena pertemuan individu-individu di dalam sebuah kelompok masyarakat. Kini, dengan adanya perkembangan teknologi informasi, jejaring sosial semacam facebook juga menjadi ruang publik baru yang menarik bagi sebagian masyarakat, terutama mereka yang melek teknologi.

Posisi POROS

Saya meyakini demokrasi yang sejati hanya bisa kita temukan di ruang-ruang publik. Selain itu adalah semu. Oleh karena itu, ruang publik menjadi taman yang indah bagi demokrasi. Menciptakan ruang publik yang sehat, berarti menumbuh-suburkan demokratisasi.

Totalitarianisme adalah musuh nyata demokrasi. Oleh karena itu, totalitarianisme tak punya tempat—juga tak bisa dibiarkan hidup—di ruang-ruang publik. Totalitarianisme itu bisa berbentuk apa saja. Bisa berbentuk sistem politik, namun juga bisa mewujud dalam sistem berfikir, bersikap maupun bertindak seseorang.

Dalam konteks inilah sebenarnya POROS hadir. POROS tidak hendak berpretensi sebagai “corong-utama” perubahan. Bagi saya, biarlah POROS menjadi semacam taman bersemainya demokratisasi ; taman dimana setiap kita bisa dengan leluasa menegosiasikan gagasan-gagasan kita tanpa harus merasa takut—apalagi mengalami “kekerasan”—dari siapa pun yang mengamalkan cara berfikir totalitarian.

Bagi saya, ini penting. Perubahan tak bisa tumbuh dari rahim totalitarianisme. Sebab, bukankah setiap perubahan yang lahir dari rahim totalitarianisme pasti melahirkan anak kandung bernama : KEDZALIMAN ?

(Rabu, 20 Juli 2011)

Teologi Harakiri

Senin, 28 Mei 2007. Menteri Pertanian Jepang, Toshikatsu Matsuoka, dikabarkan meninggal dunia. Kematiannya terhitung tidak lazim, karena dilakukan dengan cara menggantung diri. Tak banyak orang yang tahu apa motif di balik kematiannya itu. Hanya yang pasti, ia sempat meninggalkan catatan yang berisi permohonan maafnya kepada orang-orang terdekatnya.

Bagi publik Jepang, kejadian tersebut tentu cukup mengagetkan. Sebab, kendati pun bagi masyarakat Jepang fenomena bunuh diri adalah sesuatu yang jamak terjadi, tetapi insiden Matsuoka ini betul-betul di luar dugaan. Banyak kalangan yang tak menduga bila Matsuoka mengakhiri hidupnya dengan cara demikian. Apalagi dalam kondisi, ia sedang berada di puncak karirnya sebagai Menteri Pertanian.

Bunuh Diri Demi Kehormatan

Di tengah teka-teki kematian Matsuoka belum kunjung terjawab oleh publik, beredar kabar bahwa ia melakukan bunuh diri karena mengalami stress dan tak kuasa menahan malu. Ia, oleh sejumlah pihak, dituduh terlibat dalam skandal suap yang nilainya bila ditaksir dengan rupiah mencapai kisaran 2,3 milyar, dari seorang kontraktor. Ia begitu terpukul dengan kasus tersebut, sehingga memilih untuk bunuh diri.

Boleh jadi, nilai uang suap yang diterima Matsuoka tidaklah seberapa. Terutama misalnya, bila dibandingkan dengan kasus-kasus serupa di Indonesia. Di Indonesia, jumlahnya bisa berkali-kali lipat dari yang diterima Matsuoka. Adalah biasa di Indonesia, bila ada seorang pejabat atau elite politik yang menerima suap senilai itu. Belum lagi, dengan kasus-kasus lain, semisal korupsi. Korupsi di Indonesia nilainya bahkan bisa lebih fantastik lagi, mencapai triliyunan rupiah—dengan satu orang pelaku saja. Dan pelakunya tak pernah pernah merasa malu, apalagi bila melakukan bunuh diri.

Tetapi bagi Matsuoka, dan umumnya masyarakat Jepang, ternyata tidak demikian. Di Jepang, suap bukanlah soal jumlah atau besaran uang yang kita terima. Bukan pula soal ia pejabat atau bukan. Melainkan soal harga diri. Bagi mereka, menerima suap adalah satu kejahatan, tak peduli berapa jumlahnya dan siapa pelakunya. Makanya tak heran, bila melakukan suatu kejahatan, mereka acap memilih mati (dengan cara bunuh diri) dari pada harus hidup dalam keadaan menanggung malu.

Dalam masyarakat Jepang, credo ini biasanya disebut sebagai “harakiri”. Ia semacam prinsip yang mengajarkan bahwa “kematian adalah kompensasi terluhur dari perilaku hidup yang tak pantas, bejat dan memalukan”. Ia menjadi credo yang dianut secara konsisten oleh masyarakat Jepang, hingga kini. Ia, lebih jauh lagi, bahkan membentuk sistem kesadaran dan perilaku sosial mereka dalam kesehariannya.

Masyarakat Jepang meyakini, tindakan harakiri sebagai suatu kehormatan. Suatu tindakan yang luhur dan bermartabat. Ia dianggap sebagai credo kaum kesatria (hero—merujuk pada cerita-cerita kuno masyarakat Jepang). Yakni, kaum yang berani menebus dirinya dengan kematian, demi kehormatan diri. Pula, menjadi sebentuk artikulasi dan konkretisasi dari kesadaran diri dan tanggung jawab yang tulus. Olehnya, dalam masyarakat Jepang, tuduhan melakukan tindak suap, korupsi dan lain sebagainya terhadap seseorang tidak disikapi pelakunya dengan cara menteror atau menuntut balik, melainkan bunuh diri, menyerahkan diri kepada pihak berwenang, atau paling minimal, mengundurkan diri dari jabatan yang sedang dipegangnya. Itulah cara mereka mempertanggungjawabkan perbuatan buruk yang pernah mereka lakukan.

Teologi Harakiri : Ke Arah Indonesia yang Bermartabat

Menurut hemat penulis, harakiri bukanlah suatu cermin keputusasaan, atau eskapisme ekstrim. Pun, ia bukan pengingkaran diri atau takdir. Juga, tentu bukan pula kematian yang sia-sia (absurd), sehingga acap dimaklumkan tak patut untuk diratapi. Apalagi pemberontakan terhadap titah Tuhan. Pun demikian, ia bukan pula perbuatan dosa, sebagaimana pandangan teologis mainstream yang dianut oleh ummat Islam.

Ia, sebaliknya justru merupakan sikap jiwa yang kesatria. Suatu moralitas yang positif, moralitas yang religius (morality of religious). Oleh karena itu, secara teologis, harakiri merupakan satu tindakan yang absah-absah saja. Ia sama sekali tidak bertabrakan dengan konsep teologis Islam. Harakiri—sebagai suatu tradisi penebusan atas kejahatan yang kita lakukan—malah justru memberi efek konstruktif bagi upaya pembentukan model dan semangat keberagamaan (spirit of religious) yang pro kebajikan dan keagungan akhlaq.

Sebagai contoh, persoalan yang senada dapat pula kita temukan dalam kasus bom bunuh diri. Dulu, ketika Israel (yang di back up oleh negara-negara sekutu Amerika) mengekspansi Palestina, muncul polemik soal apakah tindakan bom bunuh diri itu absah atau tidak (dalam konteks teologi Islam). Sayyid Husein Fadlullah menyerukan : bom bunuh diri bukan saja absah (halal), melainkan harus—untuk tidak menyebut wajib—dilakukan guna mempertahankan kedaulatan dan harga diri umat Islam. Syekh Yusuf Qardhawi juga berpendapat sama. Bagi Fadlullah dan Qardhawi, dalam konteks demikian bom bunuh diri justru menjadi kebajikan yang ultim (syahadah).

Dalam konteks di atas, Fadlullah dan Qardhawi telah berhasil menyublim tindakan bunuh diri menjadi suatu etos penjagaan atas harga diri ummat Islam. Ia menjadi satu energi sosial ummat Islam yang amat dahsyat. Nah dalam kaitannya dengan harakiri, mari kita bayangkan, betapa bila harakiri menjadi suatu credo, prinsip hidup dan tradisi (nilai) masyarakat Indonesia, yang secara teologis, dipandang inhern atau memiliki basis legitimasi dalam konstruksi teologis Islam—atau sebutlah sebagai teologi harakiri, maka tentu tindak-tindak kejahatan kekuasaan, berupa korupsi, suap, pemerasan dan lain sebagainya, akan dipandang sebagai suatu kejahatan yang mahabesar.

Pun demikian, secara praksis, akan terjadi penurunan indeks tindak kejahatan tadi, secara drastis. Para pejabat tentu tak akan lagi liar menjarah dan sesumbar mencicipi uang rakyat. Mereka akan berpikir seribu kali untuk melakukannya ulang. Pun, kejahatan tak akan lagi “suci” untuk dipuja-puji. Tidak hanya oleh pejabat, melainkan seluruh warga Indonesia. Warga yang konon amat menjunjung tinggi martabat. Ya, tidak lagi. Karena tentu, mereka telah dapat bercermin dari kaca sejarah Matsuoka, sang Menteri Pertanian Jepang itu.

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Mercusuar, Oktober 2007)

Sabtu, 16 Juli 2011

MIMPI PERUBAHAN

Dalam diskusi—yang berlangsung sengit dan acap saling menusuk—dalam beberapa pekan terakhir ini di POROS, ada satu soal yang kini tengah menjadi point keprihatinan hampir sebagian besar anggota group : PERSATUAN.

Dalam pilkada 2007 lalu, persatuan menjadi persoalan yang sangat krusial. Karena ia menjadi penyebab terjungkalnya cita-cita perubahan yang konon dititipkan kepada figur-figur tertentu. Ambisi personal—dan boleh jadi kelompok—menjadi penyebab ngototnya banyak figur untuk memperebutkan kursi nomor satu di Buol. Dan hasilnya sebagaimana terjadi : tak ada satupun dari mereka yang dititipi misi suci itu yang berhasil memenangkan pertarungan tersebut.

Gejala yang sama kelihatan akan kembali terulang pada pilkada 2012. Sejumlah tokoh, baik yang lama maupun baru yang mengklaim memiliki basis pendukung yang banyak, kini tengah “pasang kuda-kuda”. Memang terlalu dini bila kita menganggap hal ini merupakan pertanda keterpecahan elite pro-perubahan. Sebab, waktu menuju hari H pemilihan masih terlampau panjang. Tetapi di sisi lain, isyarat untuk bersatu juga tak kunjung kita ditemui.

Adakah perubahan yang kita idealisasi selama ini merupakan misi-bersama kita ?. Ataukah ia sesungguhnya hanya sebentuk imaji dari sekelompok anak muda yang tersandera oleh utopia masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban ? Atau pula tidak lebih dari sekedar pelarian dari keterlanjuran : keterlanjuran berada pada posisi vis a vis dengan rezim yang ada. Sehingga kekalahan dimasa lampau tak pernah menjadi cermin pembelajaran.

Perubahan mengandaikan adanya pengorbanan dan keberbagian. Inilah yang sejatinya kita sebut sebagai perjuangan. Dalam perjuangan, tidak ada senjata yang memiliki daya ledak lebih dari persatuan. Perjuangan pun meniscayakan adanya keterleburan “ego-ego personal” kedalam misi suci itu. Dalam perjuangan tak dikenal pemimpin, pula yang dipimpin, karena itu tak penting.

Mari bercermin ! Adakah kesadaran ini telah terbit di hati kita semua ? Jika tidak, maka sudahilah mimpi kita akan perubahan…

(16 Juli 2011)

Jumat, 15 Juli 2011

Pesan Nabi Menyambut Ramadhan

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.
(Al-Baqarah : 183)

Kendatipun tradisi berpuasa bukanlah an sich “milik” ummat Islam, tetapi kiranya Islamlah yang berhasil memberikan aksentuasi yang lebih mendalam dan bermakna terhadap ibadah puasa. Bila dalam tradisi agama-agama yang lain, puasa hanyalah difahami sebagai ibadah individual antara seorang hamba dengan khaliknya, maka Islam memberikan penekanan terhadap ibadah puasa dalam spektrum yang jauh lebih luas, yakni sebagai suatu ibadah yang berorientasi individual dan sekaligus sosial.

Pun demikian, Islam menjadikan puasa sebagai salah satu ibadah sentral dari serangkaian ibadah yang perintahkan oleh Allah Swt. Bahkan puasa, dalam Islam ditempatkan sebagai salah satu pilar yang turut mempengaruhi atau menopang eksistensi agama tersebut. Oleh karena itu, berbeda dengan agama lain, yang tradisi menjalankan ibadah puasa kian hari kian terkikis dari mereka, dalam Islam ibadah puasa justru tetap eksis dan rutin dilaksanakan setiap tahun oleh penganutnya.

Sentralitas puasa ini dalam Islam, berkali-kali ditegaskan oleh Muhammad Saw—Nabi yang suci sekaligus penutup dari para nabi (khatamal anbiya’). Dalam pelbagai kesempatan ia memberikan pesan dan penekanan terhadap keutamaan dari tindakan-tindakan positif yang diambil oleh ummat Islam ketika menjalankan ibadah puasa. Salah satu pesan beliau yang amat monumental itu adalah sebagai berikut :

“Wahai manusia! Sungguh telah datang pada kalian bulan Allah dengan membawa berkah rahmat dan maghfirah. Bulan yang paling mulia di sisi Allah. Hari-harinya adalah hari-hari yang paling utama. Malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama. Jam demi jamnya adalah jam-jam yang paling utama.

Inilah bulan ketika kamu diundang menjadi tamu Allah dan dimuliakan oleh-Nya. Di bulan ini nafas-nafasmu menjadi tasbih, tidurmu ibadah, amal-amalmu diterima dan doa-doamu diijabah. Bermohonlah kepada Allah Rabbmu dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah membimbingmu untuk melakukan shiyam dan membaca Kitab-Nya.

Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan rasa lapar dan hausmu di hari kiamat. Bersedekahlah kepada kaum fuqara dan masakin. Muliakanlah orang tuamu, sayangilah yang muda, sambungkanlah tali persaudaraanmu, jaga lidahmu, tahan pandanganmu dari apa yang tidak halal kamu memandangnya dan pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarnya. Kasihilah anak-anak yatim, niscaya dikasihi manusia anak-anak yatimmu. Bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. Angkatlah tangan-tanganmu untuk berdoa pada waktu shalatmu karena itulah saat-saat yang paling utama ketika Allah Azza wa Jalla memandang hamba-hamba-Nya dengan penuh kasih; Dia menjawab mereka ketika mereka menyeru-Nya, menyambut mereka ketika mereka memanggil-Nya dan mengabulkan doa mereka ketika mereka berdoa kepada-Nya.

Wahai manusia! Sesungguhnya diri-dirimu tergadai karena amal-amalmu, maka bebaskanlah dengan istighfar. Punggung-punggungmu berat karena beban (dosa) mu, maka ringankanlah dengan memperpanjang sujudmu.

Ketahuilah! Allah ta’ala bersumpah dengan segala kebesaran-Nya bahwa Dia tidak akan mengazab orang-orang yang shalat dan sujud, dan tidak akan mengancam mereka dengan neraka pada hari manusia berdiri di hadapan Rabb al-alamin.

Wahai manusia! Barang siapa di antaramu memberi buka kepada orang-orang mukmin yang berpuasa di bulan ini, maka di sisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan dia diberi ampunan atas dosa-dosa yang lalu. (Sahabat-sahabat lain bertanya: “Ya Rasulullah! Tidaklah kami semua mampu berbuat demikian.”

Rasulullah meneruskan: “Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan sebiji kurma. Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan seteguk air.”

Wahai manusia! Siapa yang membaguskan akhlaknya di bulan ini ia akan berhasil melewati sirathol mustaqim pada hari ketika kai-kaki tergelincir. Siapa yang meringankan pekerjaan orang-orang yang dimiliki tangan kanannya (pegawai atau pembantu) di bulan ini, Allah akan meringankan pemeriksaan-Nya di hari kiamat. Barangsiapa menahan kejelekannya di bulan ini, Allah akan menahan murka-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa memuliakan anak yatim di bulan ini, Allah akan memuliakanya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa menyambungkan tali persaudaraan (silaturahmi) di bulan ini, Allah akan menghubungkan dia dengan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa memutuskan kekeluargaan di bulan ini, Allah akan memutuskan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barangsiapa melakukan shalat sunat di bulan ini, Allah akan menuliskan baginya kebebasan dari api neraka. Barangsiapa melakukan shalat fardu baginya ganjaran seperti melakukan 70 shalat fardu di bulan lain. Barangsiapa memperbanyak shalawat kepadaku di bulan ini, Allah akan memberatkan timbangannya pada hari ketika timbangan meringan. Barangsiapa di bulan ini membaca satu ayat Al-Quran, ganjarannya sama seperti mengkhatam Al-Quran pada bulan-bulan yang lain.

Wahai manusia! Sesungguhnya pintu-pintu surga dibukakan bagimu, maka mintalah kepada Tuhanmu agar tidak pernah menutupkannya bagimu. Pintu-pintu neraka tertutup, maka mohonlah kepada Rabbmu untuk tidak akan pernah dibukakan bagimu. Setan-setan terbelenggu, maka mintalah agar ia tak lagi pernah menguasaimu. Amirul mukminin k.w. berkata: “Aku berdiri dan berkata: “Ya Rasulullah! Apa amal yang paling utama di bulan ini?” Jawab Nabi: “Ya Abal Hasan! Amal yang paling utama di bulan ini adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan Allah”.

Wahai manusia! sesungguhnya kamu akan dinaungi oleh bulan yang senantiasa besar lagi penuh keberkahan, yaitu bulan yang di dalamnya ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan; bulan yang Allah telah menjadikan puasanya suatu fardhu, dan qiyam di malam harinya suatu tathawwu’.”

“Barangsiapa mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu pekerjaan kebajikan di dalamnya, samalah dia dengan orang yang menunaikan suatu fardhu di dalam bulan yang lain.”

“Ramadhan itu adalah bulan sabar, sedangkan sabar itu adalah pahalanya surga. Ramadhan itu adalah bulan memberi pertolongan (syahrul muwasah) dan bulan Allah memberikan rizqi kepada mukmin di dalamnya.”

“Barangsiapa memberikan makanan berbuka seseorang yang berpuasa, adalah yang demikian itu merupakan pengampunan bagi dosanya dan kemerdekaan dirinya dari neraka. Orang yang memberikan makanan itu memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa tanpa sedikitpun berkurang.”

Para sahabat berkata, “Ya Rasulullah, tidaklah semua kami memiliki makanan berbuka puasa untuk orang lain yang berpuasa. Maka bersabdalah Rasulullah saw, “Allah memberikan pahala kepada orang yang memberi sebutir kurma, atau seteguk air, atau sehirup susu.”

“Dialah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya pembebasan dari neraka. Barangsiapa meringankan beban dari budak sahaya (termasuk di sini para pembantu rumah) niscaya Allah mengampuni dosanya dan memerdekakannya dari neraka.”

“Oleh karena itu banyakkanlah yang empat perkara di bulan Ramadhan; dua perkara untuk mendatangkan keridhaan Tuhanmu, dan dua perkara lagi kamu sangat menghajatinya.”

“Dua perkara yang pertama ialah mengakui dengan sesungguhnya bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan mohon ampun kepada-Nya. Dua perkara yang kamu sangat memerlukannya ialah mohon surga dan perlindungan dari neraka.”

“Barangsiapa memberi minum kepada orang yang berbuka puasa, niscaya Allah memberi minum kepadanya dari air kolam-Ku dengan suatu minuman yang dia tidak merasakan haus lagi sesudahnya, sehingga dia masuk ke dalam surga.” (HR. Ibnu Huzaimah).

Dari pesan Nabi di atas, terlihat bagaimana Nabi hendak menegaskan sentralitas ibadah puasa dalam Islam, terutama sebagai medium pencapaian ruhani dan pembentukan jiwa seorang muslim yang paripurna. Berbagai perkara yang diutarakan, seperti ; ibadah, do’a, memohon ampunan, membangun tali silaturrahim, memuliakan anak yatim dan membantu kaum dhu’afa adalah “kata kunci” (key words) bagi tercapai atau tidaknya proyeksi ruhani seorang hamba.

Di sini, perkara-perkara itu disebutkan secara integral. Antara ibadah, do’a, memohon ampunan, membangun tali silaturrahim, memuliakan anak yatim dan membantu kaum dhu’afa tidak dipisahkan satu sama lain. Artinya apa ? perkara-perkara tersebut (baik yang bersifat individual seperti ibadah, do’a, memohon ampunan, maupun yang bersifat sosial seperti membangun tali silaturrahim, memuliakan anak yatim dan membantu kaum dhu’afa) mesti dilakukan secara integral oleh mereka yang tengah menjalankan ibadah puasa. Sebab, kesemuanya mengandung keutamaan yang bersifat paralel satu sama lainnya. 

(lembah sunyi, 2010)

Spirit Transformatif Puasa

"Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia, menegakkan kebaikan, 
mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah."
(Qs. Al-Imran : 10)

Hampir sebagian besar dari peristiwa-peristiwa agung dalam lintasan sejarah kenabian Muhammad Saw, terjadi pada bulan puasa. Sebutlah Perang Badar. Perang Badar terjadi pada hari Jum’at 17 Ramadhan 2 H di suatu tempat yang bernama Badar. Kala itu, Nabi dan ummat Islam yang hanya berjumlah sekitar 300 orang harus menghadapi pasukan musuh yang jumlahnya jauh lebih banyak, yaitu 1000 orang.

Perang Badar adalah perang pertama kali yang terjadi antara pasukan Islam dengan kaum musyrikin Mekkah. Oleh karena itu, ia sangat menentukan bagi perjalanan ajaran Islam yang dibawa Nabi pada masa-masa selanjutnya. Namun Nabi dan pasukannya akhirnya berhasil membuktikan diri, mereka keluar sebagai pemenang. Kemenangan tersebut, bagi ummat Islam kala itu, menjadi satu sinyalemen kepada orang lain bahwa Islam telah menjelma menjadi satu kekuatan baru yang tak bisa diremehkan.

Di samping perang Badar, peristiwa Fathul Makkah (Pembukaan Kota Mekkah), juga terjadi pada bulan ramadhan. Ini adalah peristiwa yang begitu bersejarah bagi Nabi, karena ia menandai kemenangan ummat Islam untuk merebut kota suci Mekkah dari tangan kaum musyrikin, setelah sekian lama terusir dari sana. Kota Mekkah jatuh ke tangan kaum muslimin tanpa sedikit pun menimbulkan pertumpahan darah. Peristiwa ini terjadi pada 20 Ramadhan 8 H.

Selanjutnya, beberapa peristiwa lain yang juga terjadi pada bulan ramadhan di antaranya adalah persiapan perang khandaq (parit), perang tabuk, dan turunnya ayat suci al-Qur’an. Perang khandaq adalah perang yang ditandai dengan adanya parit. Karena memang Nabi dan ummat Islam waktu itu menggali parit sebagai salah satu strategi untuk menghadapi gempuran musuh. Parit tersebut disiapkan selama bulan ramadhan. Sementara perang Tabuk adalah perang antara pasukan Islam dengan tentara Rum. Perang ini terjadi pada bulan ramadhan 9 H.

Spirit Transformatif

Sejumlah catatan di atas menunjukkan bahwa, betapa peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di masa kenabian Muhammad Saw, justru terjadi di bulan yang agung, bulan ramadhan. Kita bisa menyaksikan bagaimana peristiwa-peristiwa itu, kini menjadi satu torehan sejarah yang amat berarti bagi ummat Islam. Mungkinkah kita dapat memperoleh kegemilangan Islam sebagaimana kini, jika sekiranya perang Badar di masa Nabi itu dimenangkan oleh kaum musyirikin ? Tentu sukar untuk dijawab.

Kita tahu persis, bahwa perang Badar itu adalah tonggak awal bagi sejarah perjuangan ummat Islam. Ia menjadi penentu kemenangan dan harga diri ummat Islam. Hampir bisa dipastikan bagaimana down-nya ummat Islam jika pada waktu itu kalah dari kaum musyrikin. Sebaliknya, dengan kemenangan tersebut menjadikan rasa percaya diri dan kekokohan barisan ummat Islam semakin kuat.

Oleh karena itu, dapat dimengerti bagaimana ummat Islam, walau mengalami kelelahan fisik yang dahsyat (apalagi dalam kondisi berpuasa) ketika itu, tetapi tetap berupaya mati-matian untuk memenangkan peperangan tersebut. Mereka tetap berusaha sekuat tenaga dan tak memedulikan pasukan musuh yang jumlahnya jauh melebihi mereka. Malah, puasa justru sebaliknya, dijadikan sebagai api spirit untuk mengobarkan semangat perlawanan terhadap kaum musyrikin.

Di sini kelihatan, betapa puasa sebenarnya memiliki efek yang amat besar bagi proses transformasi sosial pada suatu masyarakat. Puasa dapat menjadi basis katalisator bagi kebangkitan suatu kaum. Pun demikian, ia dapat mencangkokkan “seperangkat” nilai dalam diri seseorang, yang terbukti sangat efektif untuk mendorong lahirnya proyeksi dan kesadaran untuk melakukan transformasi sosial.

Seseorang yang berpuasa adalah seseorang yang terbentuk untuk menyadari diri dan dunianya. Sementara, kata Muthahhari, kesadaran akan diri dan dunia inilah yang memunculkan tanggungjawab sosial. Seseorang yang menyadari diri dan dunianya, pastilah tergerak untuk berjuang mewujudkan kehidupan sosial yang ideal.

Oleh karena itu, kata Muthahhari, transformasi sosial yang terjadi pada masyarakat atau bangsa manapun sesungguhnya tidaklah digerakkan oleh faktor-faktor lain di luar diri manusia, seperti struktur ekonomi dan politik. Ia berbeda dengan Marx, yang meyakini bahwa setiap perubahan sosial yang terjadi, pasti dideterminasi oleh faktor ekonomi-politik yang berkembang di masyarakat.

Senada dengan itu, Max Weber mengutarakan tesis yang sama dengan Muthahhari mengenai peranan nilai dan diri yang religius dalam terjadinya suatu transformasi sosial. Ia memandang bahwa, nilai-nilai agama yang memanifestasi dalam diri-penganutnya yang religius, sebenarnya memiliki pengaruh yang besar dalam menciptakan transformasi sosial di masyarakat. Keyakinannya itu ia utarakan dalam karya monumentalnya “The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism”.
Apa yang dikemukakan baik oleh Muthahhari maupun Weber tersebut, adalah bukti lanjut bagaimana ibadah-ibadah semisal puasa, yang dijalankan oleh seseorang “bekerja” menggerakan perubahan sosial. Dimensi keshalehan yang menjadi sumbu dasar dari ibadah-ibadah itu, pada akhirnya memunculkan spirit dan tanggungjawab untuk mewujudkan kehidupan sosial yang dikehendaki.

Ibadah-ibadah yang dimaksud, tidak berhenti pada pemujaan belaka. Tidak pula pada rutinitas yang tak berkesudahan. Sebab, keshalehan tidak mungkin melahirkan jiwa yang antipati dan emoh terhadap lingkungan sosialnya. Keshalehan yang demikian, hanyalah keshalehan yang semu. Nabi berkata : “Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya.”

Sebaliknya, keshalehan yang hakiki adalah keshalehan yang transformatif. Jenis keshalehan seperti ini, lahir dari pemahaman yang komperehensif terhadap makna sosial dari ibadah-ibadah. Dan secara praksis, ia mewujud dalam tanggungjawab dan kesadaran untuk melakukan perubahan sosial, terus tanpa henti.

Sayyed Hosein Nasr mengungkapkan bahwa sebuah ibadah, idealnya tidak an sich diorientasikan kepada penunaian perintah Allah Swt secara normatif, tetapi juga sekaligus untuk mencerap dimensi-dimensi esoterik yang termuat di dalamnya. Sebab menurutnya, ibadah, apapun itu, pasti memuat dua dimensi; yakni dimensi formal-artifisial (eksoterik) dan dimensi nilai-nilai, yakni dimensi terdalam (esoterik). Nah, ibadah yang sejati itu, ungkapnya, terletak pada dimensi yang kedua.

Sehingga, berpuasa sebenarnya bukanlah sebatas bagaimana menjalankan syariat (perintah) yang telah ditetapkan oleh Allah Swt, tetapi juga menyangkut bagaimana nilai-nilai kebajikan yang terpancar darinya berhasil dicerap oleh mereka yang menjalankannya, untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sosial yang nyata.

Pun demikian, berpuasa bukan sekedar bagaimana seseorang dapat menggapai makrifat atau kedekatan (taqarrub) dengan Allah Swt, namun emoh secara sosial, melainkan bagaimana power ruhani yang dimilikinya itu dapat menjadi sumber energi dan spirit bagi kemajuan masyarakat disekelilingnya. Atau dengan kata lain, menghadirkan cahaya dan rahmat bagi semua.

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Mercusuar, 5 Agustus 2011)


Kamis, 14 Juli 2011

SIMPUL-SIMPUL KESERAKAHAN

Kasus korupsi Pengadaan Alkes di Dinas Kesehatan, yang diduga melibatkan Verawati Batalipu, merupakan kasus korupsi teranyar di Kab. Buol yang menarik untuk disimak. Ini bukan saja, karena pelaku merupakan adik kandung Bupati Buol, melainkan karena ia menandai satu babak baru dalam praktek korupsi di kab. Buol.

Bagaimana pun, Verawati, menurut saya merupakan pemain baru dalam praktek haram ini. Sebagai PNS dengan usia pengangkatan yang masih amat belia, adalah mustahil bagi dia untuk bisa “bermain” dalam pengerjaan paket-paket berskala besar, selain kalau ia adalah orang dekat kekuasaan.

Iya, kekuasaan memang bisa menjadikan tak ada satupun yang mustahil untuk dilakukan. Dan itu yang terjadi. Dalam kasus Verawati ini, bagi saya, ia hanyalah operator di lapangan. Klik utamanya tetap berada di sumbu kekuasaan. Alasannya sederhana saja : dalam situasi dimana resistensi masyarakat begitu kencang terhadap Bupati, terutama dalam kaitannya dengan korupsi, maka menjadi sangat riskan bila Bupati bermain langsung. Oleh karena itu, mesti ada simpul-simpul baru yang diposisikan untuk kepentingan itu.

Kian Sulit

Kasus korupsi yang menimpa Verawati ini bagi saya member isyarat pada dua hal; pertama, bagaimana rezim yang berkuasa di Buol, kini tengah secara sistematik “bekerja” untuk menggerogoti uang rakyat. Modus lama dengan menjadi pemain tunggal kini telah ditinggalkan dan diganti dengan memunculkan simpul-simpul baru dari lingkungan keluarga, yang tentu lebih bisa dipercaya dan dikendalikan. Kedua, bahwa kian sulit bagi kita untuk bisa menjadikan Bupati sebagai “sasaran tembak” langsung dalam pemberantasan kasus-kasus korupsi. Sebab, pelaku kini telah membentuk sindikat, yang bila suatu ketika terkuak dan diproses secara hukum, maka akan dengan mudah memutus mata rantai dan menjadikan orang-orang lapangan sebagai korban. 

(Selasa, 12/07/2011)

SYAR’I NGEPOP ; Mungkinkah Menjadi Solusi-Kreatif ?

Apakah makna budaya (culture) bagi manusia ? Adakah ia merupakan unsur fundamental bagi kehidupan manusia ? Tidak kurang, inilah soal-soal yang acapkali mengemuka ketika kita hendak terlibat dalam diskursus mengenai budaya. Oleh para ahli, soal-soal ini kemudian dimasukkan dalam wilayah kajian filsafat budaya. Sementara, soal-soal menyangkut teori, metodologi (pendekatan) dan praktek budaya, dikaji dalam suatu disiplin ilmu yang dalam perkembangannya belakangan ini biasa disebut sebagai cultural studies1.

Dalam perkara pertama, Ali Syariati memberi penegasan atas makna penting budaya bagi manusia. Menurutnya, budaya sebagai keseluruhan dari wajah non-material suatu individu atau masyarakat, sejatinya, merupakan anasir utama dalam pembentukan peradaban (civilitation, tamadduni). Sebab katanya, peradaban tidak lain dari materialisasi budaya. Sebuah peradaban yang tidak dirakit melalui suatu hampiran budaya yang adiluhung (high-culture) niscaya terlahir sebagai peradaban yang rendah, lemah dan tak dapat dibanggakan. Sebaliknya, sebuah peradaban yang lahir dari muara kebudayaan yang adiluhung, pastilah menjadi peradaban besar, agung dan terhormat2.

Senada dengan itu, Murtadha Muthahhari mewartakan budaya sebagai identitas kemanusiaan. Artinya, budaya dalam pengertiannya sebagai artikulasi dari keseluruhan bangunan nalar, kesadaran dan pola sikap manusia, merupakan ciri pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya. Ungkapnya, budaya adalah khas manusia. Ia adalah ekspresi dari keluhuran, cinta, kecerdasan, kesempurnaan, pengetahuan, dan ketulusan manusia. Tanpa budaya, tak layak seseorang disebut sebagai manusia. Tanpa budaya tak ada yang kemudian dapat kita kenali sebagai kemanusiaan3.

Pop Culture ; Sebuah Definisi

Pop culture (budaya pop), sebuah istilah yang amat santer kedengaran di era mutakhir ini. Sebuah istilah yang dilekatkan pada apa saja yang beraroma baru, populer, dan massif : dangdut, fashion, gaya rambut, film, dll. Walau sebenarnya secara genealogi—meminjam kerangka analisis teks Foucoult—kelahirannya bukan nanti sekarang. Ia telah lahir jauh hari sebelumnya. Tercatat sejak bercokolnya apa yang disebut oleh Antonio Gramsci sebagai ideologi dominan dan hegemoni. Sebab, katanya, budaya pop tidak lain adalah konsekuensi logis sekaligus etis dari adanya kuasa ideologi dan hegemoni atas suatu konstruk budaya, cara pandang, dan atau kebiasaan yang dianut oleh kelompok-kelompok sosial tertentu.

Dalam konteks ini, budaya pop dipahami sebagai representasi dari suatu ideologi. Ideologi sebagai seperangkat gagasan sistematis yang berperan mengatur elemen-elemen sosial yang beragam dan mengikatnya menjadi satu4, kemudian bekerja melalui hegemoni—sebuah konsep strategi untuk memberi, mendisiplinkan dan sekaligus melanggengkan makna suatu budaya. Hanya saja, sebagaimana diakui oleh Gramsci, hegemoni bukanlah sesuatu yang taken for granted. Ia hanyalah sebatas kemapanan yang bersifat sementara dan kumpulan aliansi kelompok-kelompok sosial yang diperoleh melalui usaha5. Dengan demikian, ia masih menyisakan ruang negosiasi dan perjuangan bagi kelompok sosial tertentu untuk dapat merepresentasikan dirinya.

Definisi atas budaya pop pun datang dari generasi awal Mazhab Frankfrut, semisal Adorno dan Horkheimer. Mereka menyatakan bahwa budaya pop adalah budaya yang tidak autentik dan bersifat manipulatif karena diproduksi secara instan, untuk tujuan supaya laku dijual (komersial)6. Generasi awal mazhab frakfrut, yang banyak mengambil inspirasi dari ide-ide Karl Marx, menegaskan bahwa produksi kebudayaan tidaklah terjadi secara alamiah, melainkan dideterminasi oleh kepentingan ekonomi-politik suatu ideologi. Fenomena ini kemudian oleh mereka disebut sebagai “industrialisasi budaya”.

Pop Culture dan Kapitalisme Global

Dengan meminjam kerangka analisis Marx di atas, maka diskursus budaya dewasa ini dapat dipastikan amat terkait dengan suatu ideologi besar, yakni kapitalisme. Suatu ideologi yang hingga kini masih begitu digdaya. Ideologi yang disebut-sebut dibangun di atas azas-azas ekonomi individual (swasta), dan menyerahkan sepenuhnya gerak ekonomi kepada mekanisme pasar.

Para peminat cultural studies, semisal Nirwan Dewanto, melihat bahwa kapitalisme bukanlah ideologi yang mewakili suatu watak dan pesan kebajikan, kesederajatan (equality), penghormatan dan keadilan di seluruh lokus kehidupan manusia, sebagaimana diimpikan oleh kebanyakan orang. Kapitalisme tidak lebih dari sebuah ideologi culas, yang mensubordinasi dan menjadikan apapun di bawahnya (the other) sebagai “sapi perahan”. Iya, watak culasnyalah yang menjadikan kapitalisme teramat dibenci orang7.

Sejarah kapitalisme barat adalah sejarah kolonialisasi. Sejarah yang diukir di atas kanvas-buram penindasan dan peminggiran terhadap entitas-entitas budaya non-barat, kata Gayatri Spivak, sang maestro postkolonial dari benua India. Tidak jarang, guna melanggengkan kaki hegemoninya, kapitalisme kemudian mencanangkan : inkorporasi8 dan komodifikasi9. Dua cara yang dengannya kapitalisme tetap berjaya, dan senantiasa memenangkan setiap pertarungan budaya.

Pada gilirannya, sebagaimana ditulis oleh Nuraini Juliastuti bahwa, kapitalisme akan memunculkan dua pola-dasar budaya, yakni budaya konsumen dan budaya komoditas10. Budaya konsumen adalah semacam budaya, kebiasaan-kebiasaan, pola sikap dan pola hidup seseorang yang dibentuk oleh konsumsi atas benda-benda atau produk tertentu11. Sementara, budaya komoditas ditunjukkan oleh ketergantungan, yang kadang melampaui batas akal sehat (common sense), atas suatu benda atau produk12.

Tidak hanya berhenti disitu saja. Konon, visi universalisasi dan homogenisasi (penyeragaman) budaya, sebagaimana diamalkan oleh kapitalisme pada masa-masa sebelumnya dalam menguasai entitas budaya yang lain, kini tidak berlaku lagi. Sebab, kata Nirwan Dewanto, homogenisasi bukan hanya mematikan pasar, tetapi membunuh daya kreasi itu sendiri. Kapitalisme sekarang tengah merakit sebuah strategi baru. Strategi penguasaan yang dilakukan dengan cara melirik local genus dan kemudian mengkapitalisasikannya. Bukankah ini menarik ? Dan lagi terbukti efektif. Dengan merebut “identitas lokal” dari suatu komunitas masyarakat atau bangsa, berarti mencipta sentimen pasar, yang pada muaranya, lagi-lagi menguntungkan mereka (kaum kapitalis).

Mempertimbangkan Khomi Bhaba

Tetapi, terlepas dari semua kontraversi itu, dalam kaitannya dengan budaya pop sebagai suatu wilayah perbincangan mengenai Islam dan Barat, ada satu pertanyaan yang hingga kini terus menggelitik dalam diri penulis. Masih relevankah kita bicara soal itu Iblis dan ini manusia ?. Masih relevankah kita bicara soal mereka Barat dan kita Islam, di tengah kekalahan dan kemunduran yang terus mendera kita, tanpa henti. Masih relevankah kita sekedar memaki-maki kapitalisme beserta sejumlah keculasannya ketika hampir tidak ada lagi celah atau ruang bagi kita untuk merepresentasikan diri ?.

Sekali lagi, bukan hendak mengabaikan prinsip-prinsip umum yang, boleh jadi, bertabrakan secara diametral antara Islam dengan kapitalisme barat dalam wajah budaya pop. Tetapi, dalam hemat penulis, bukankah lebih baik bagi kita untuk berfikir lebih strategis lagi dalam melihat perkara ini, ketimbang menjebak diri dalam suatu arus romantisme semu masa lalu, dan terlebih lagi hanya dapat berani untuk menstempeli ; barat jahat vs Islam baik, barat culas vs Islam adil, dan lain sebagainya. Tanpa dapat memikirkan secara jernih apa yang harus kita lakukan ?

Disinilah kiranya, menurut penulis, relevansi dari tawaran Khomi Bhabha—sang maestro postkolonial yang juga berasal dari benua India, untuk dipertimbangkan. Khomi Bhaba mengajukan apa yang ia sebut sebagai kreolisasi dan mimikri budaya. Suatu konsep strategi kebudayaan yang dimaksudkan untuk menata (memediasi) pola relasi antar budaya. Konsep ini menjadi penting, terutama di tengah kebuntuan dalam menjawab soal-soal yang berkenaan dengan dominasi budaya barat yang kapitalistik atas budaya non-barat.

Konsep kreolisasi berangkat dari analisis Collins atas soal hegemoni, yang diutarakan oleh Gramsci. Collins berpendapat bahwa sebenarnya tidak ada yang namanya hegemoni. Sebab, manusia adalah pelaku sadar (aktif). Manusia, bukanlah makhluk yang menerima begitu saja konstruksi makna-makna atas suatu teks atau pesan (tanda, sign). Tetapi lebih dari itu, manusia memiliki kemampuan untuk senantiasa mereproduksi makna. Sehingga makna ditangan manusia tidaklah bersifat final, stabil, dan definitif. Roland Barthes menyebutnya sebagai sifat polisemis tanda.

Pun demikian mengenai apa yang acapkali diteriakkan sebagai imperialisme kultural. Tidak sedikit dari para peminat cultural studies menolak argumen ini. Sebab, ungkap mereka, pengakuan terhadap imperialisme kultural, berarti pengingkaran atas adanya suatu fakultas kesadaran pada diri manusia. Padahal, kesadaran adalah watak esensial manusia. Argumen ini sekaligus menghempaskan asumsi kaum Marxian bahwa imperialisme kultural, secara praksis, menciptakan kesadaran-palsu (pseudo consscinous).

Nah, kreolisasi yang dimaksud oleh Khomi Bhaba itu adalah : strategi kebudayaan yang dijalankan dengan cara menyerap unsur-unsur kebudayaan yang dominan tetapi mengabaikan makna dibaliknya. Contohnya, bagi masyarakat muslim tidak menjadi soal untuk memanfaatkan sejumlah kemajuan teknologi, katakanlah, berupa hand phone. Hand phone yang pada awalnya, boleh jadi, merupakan alat identifikasi diri, fashion atau pula sebagai asosiasi simbolik (ingat nilai totemistik suatu benda), kemudian diberi makna yang baru. Di sini, hand phone bisa diberi makna sebagai alat dakwah (da’i SMS).

Sementara, mimikri budaya adalah proses peniruan atau peminjaman terhadap unsur-unsur kebudayaan yang lain, tetapi dalam hal ini budaya subordinat menjadi penikmat yang cerdas. Ia dapat berperan ganda : penikmat sekaligus subverstor. Contohnya, menjamurnya para pedagang kaki lima (gerobak) yang menawarkan menu makanan siap saji, sebagaimana Kentucky Fried Chicken (KFC). Di sini makanan siap saji, yang biasa diberi nama Gorontalo Fried Chicken, atau yang lain, menjadi penikmat sekaligus agen subversi atas domninasi KFC. Meniru tetapi sekaligus melawan (counter).

Syar’i Ngepop : Mungkinkah ?

Jadi, bagaimana dengan Islam ? Dapatkan kita meminjam strategi kebudayaan yang diajukan oleh Khomi Bhaba tersebut guna menghadapi dominasi kapitalisme barat ? Bagi penulis, boleh-boleh saja. Dibanding kita harus mengambil pilihan strategi yang sporadis, sebagaimana ditunjukkan oleh sebagian dari kelompok Islam “fundamentalis (tak berwawasan ?)” dengan cara meneror, mengebom, mengintimidasi, dan lain sebagainya, yang justru kontra produktif dengan pesan-pesan luhur ajaran Islam, tampaknya pilihan ini lebih memungkinkan lagi realistis bagi kita. Ya sebutlah, sebagai syar’i ngepop. Sebagaimana tampak dari beberapa ustadz pop kita, yang “memanfaatkan” tidak sedikit dari media massa—baik itu media cetak maupun elektronik atau bahkan SMS—untuk berdakwah, tanpa harus terjebak (atau pusing) dengan alur permainan kapitalisme media. Bukankah ini menarik ? Moga-moga saja.

Footnotes :
1 Cultural studies adalah sebuah formasi diskursif, yaitu “sekumpulan (atau formasi) gagasan, citra dan praktik yang menyediakan cara-cara untuk berbicara tentang, menyediakan bentuk-bentuk pengetahuan dan tingkah laku yang diasosiasikan dengan, suatu topik, aktivitas sosial atau wilayah institusional tertentu dalam masyarakat. Lihat Chris Barker, Cultural Studie ; Teori dan Praktik, Bentang, 2005.
2 Lihat Ali Syariati, Ideologi Kaum Intelektual, Mizan, 1996, dan Tugas Cendekiawan Muslim, Srigunting, 2001.
3 Lihat Murtadha Muthahhari, Perspektif Manusia tentang Agama dan Manusia, Mizan, 1998 ; Fitrah, Lentera 1999. Bandingkan pula dengan pandangan Iqbal dalam Robert D. Lee , Mencari Islam Autentik ; dari Nalar Puitis Iqbal sampai Nalar Kritis Arkoun, Mizan, 2000, dan Sayyed Hosein Nasr dalam Pengetahuan dan Kesucian, Pustaka Pelajar, 1997.
4 Chris Barker, Cultural Studie ; Teori dan Praktik, Bentang, 2005.
5 Ibid.
6 John Storey, Teori Budaya dan Budaya Pop, Qalam Press, 2003.
7 Lihat, Bentara Kompas, 2003.
8 Inkorporasi adalah strategi penguasaan atas kebudayaan yang sub-ordinat dengan cara menyerap unsur-unsur kebudayaan tersebut dan kemudian menghilangkan sifat-sifat perlawananan darinya. Lihat, www. kunci.or.id.
9 Komodifikasi adalah strategi melanggengkan kuasa dengan cara senantiasa memperbaharui atau merestorasi diri. Lihat, www. kunci.or.id.
10 Lihat, www. kunci.or.id.
11 Budaya konsumen dapat di lihat dalam kasus anak-anak punk, atau anak-anak musik yang mengidentifikasikan dirinya pada musisi yang digandrunginnya, atau pula pada penggemar internet (cyber media). Dalam kasus ini, mereka membentuk suatu corak budaya, kebiasaan-kebiasaan, pola sikap dan pola hidup sendiri, yang tidak jarang berbeda dengan orang lain.
12 Budaya komoditas dapat di lihat pada ketergantungan sebagian orang atas HP, produk kecantikan tertentu, makanan ala KFC, dan lain sebagainya.

(Makalah untuk Dialog Budaya dengan tema “Diskursus Budaya dalam Jejaring Pop Culture” 
pada tanggal 11 April 2006 Di Universitas Negeri Gorontalo)