Kamis, 28 Juli 2011

Kekuasaan

Dalam segenap ekstasi kekuasaan, senantiasa terselip rasa takut.

27 Juli 2011. Sejumlah media merilis pernyataan M. Jasin—salah seorang pimpinan KPK—terkait dengan proses hukum kasus-kasus korupsi Buol, di sela-sela kunjungannya untuk mengisi seminar yang diselenggarakan oleh salah satu NGO di Palu.

Bagi Bupati Buol, Amran Batalipu, berita ini tentu mengejutkan sekaligus mengkhawatirkan. Sebab, setelah sekian lama ia didakwa melakukan korupsi, baru kali ini ia betul-betul terancam masuk “jeruji besi”. Dan bila ini benar, maka rontoklah segala kuasa beserta pundi-pundi kekayaan yang ia kumpulkan selama ini di Buol.

Dalam situasi seperti ini, adakah kekuasaan masih menyediakan ekstasi yang memabukkan ? Saya kira tidak. Tidak ada situasi yang paling menakutkan bagi seorang pejabat melebihi saat-saat dimana ia kehilangan kekuasaan. Inilah puncak ketakutan dari seorang pejabat. Yasraf Amir Pilliang, mendeskripsikannya sebagai situasi dimana kekuasaan berubah menjadi sebentuk teror.

Teror terhadap kekuasaan adalah segala hal yang meniupkan ancaman terhadap kelanggengan kekuasaan seseorang. Bila bagi kelompok minoritas Kristen di Indonesia, bom menjadi bentuk teror yang paling menakutkan, maka bagi pejabat, penegakkan hukum merupakan teror yang amat berbahaya bagi kekuasaan mereka.

Teror yang terus berlanjut menciptakan realitas horor. Inilah situasi ketika penegakkan hukum tidak lagi sekedar meniupkan ancaman bagi kekuasaan seseorang, tetapi telah menciptakan ketakutan, kecemasan dan kengerian yang kompleks. Situasi dimana kekuasaan berubah menjadi sumbu kematian : keterpenjaraan, tamatnya karir politik, kehilangan pengikut, lenyapnya kekayaan, disorientasi masa depan, dan caci maki.

Hari-hari kini dan esok, bagi saya, adalah hari-hari yang menakutkan bagi kekuasaan Amran Batalipu. Saya membayangkan bagaimana ia kini dicengkeram rasa takut. Bagi dia, berita tentang proses hukum kasus-kasus korupsi Buol, kini tidak lagi sebagai sekedar ancaman, tapi telah menjelma menjadi horor : sumber rasa takut. Dalam situasi demikian terang saja kekuasaan menjadi tak ada gunanya. Hambar. Kekuasaan kini bahkan tak patut untuk dibanggakan. Apalagi menyelamatkannya.

(Jumat, 29 Juli 2011)

Selasa, 19 Juli 2011

Inilah Ruang Publik Kita !

Banyak kritik yang ditujukan atas kehadiran POROS sebagai sebuah grup diskusi. Mulai dari motif, peran, orientasi hingga efektifitasnya dalam konteks mewujudkan perubahan di Buol.

Masyarakat-manusia adalah entitas yang senantiasa berinteraksi, berkomunikasi maupun membangun jalinan kerjasama dengan orang lain. Dalam masyarakat-manusia kebutuhan terhadap interaksi dan komunikasi merupakan kebutuhan primer. Ia tak tergantikan oleh yang lain. Kebutuhan terhadap hal ini menjadi sedemikian kuat ketika era globalisasi muncul. Di abad ini, tak ada manusia yang bisa hidup dengan cara menutup pintu komunikasi dengan orang lain.

Nah, dalam konteks membangun komunikasi dan interaksi inilah manusia membutuhkan apa yang biasa disebut sebagai ruang publik. Ruang publik adalah arena dimana setiap individu hadir untuk mengkontestasikan gagasan, pikiran, maupun sikapnya. Dalam ruang publik tak ada pembatasan, pendisiplinan. Apalagi penunggalan (homogenisasi). Karena setiap pembatasan adalah tirani.

Dalam wujudnya ruang publik bisa berupa warung kopi, taman kota, mall maupun tempat-tempat (spaces) lain yang bisa menjadi arena pertemuan individu-individu di dalam sebuah kelompok masyarakat. Kini, dengan adanya perkembangan teknologi informasi, jejaring sosial semacam facebook juga menjadi ruang publik baru yang menarik bagi sebagian masyarakat, terutama mereka yang melek teknologi.

Posisi POROS

Saya meyakini demokrasi yang sejati hanya bisa kita temukan di ruang-ruang publik. Selain itu adalah semu. Oleh karena itu, ruang publik menjadi taman yang indah bagi demokrasi. Menciptakan ruang publik yang sehat, berarti menumbuh-suburkan demokratisasi.

Totalitarianisme adalah musuh nyata demokrasi. Oleh karena itu, totalitarianisme tak punya tempat—juga tak bisa dibiarkan hidup—di ruang-ruang publik. Totalitarianisme itu bisa berbentuk apa saja. Bisa berbentuk sistem politik, namun juga bisa mewujud dalam sistem berfikir, bersikap maupun bertindak seseorang.

Dalam konteks inilah sebenarnya POROS hadir. POROS tidak hendak berpretensi sebagai “corong-utama” perubahan. Bagi saya, biarlah POROS menjadi semacam taman bersemainya demokratisasi ; taman dimana setiap kita bisa dengan leluasa menegosiasikan gagasan-gagasan kita tanpa harus merasa takut—apalagi mengalami “kekerasan”—dari siapa pun yang mengamalkan cara berfikir totalitarian.

Bagi saya, ini penting. Perubahan tak bisa tumbuh dari rahim totalitarianisme. Sebab, bukankah setiap perubahan yang lahir dari rahim totalitarianisme pasti melahirkan anak kandung bernama : KEDZALIMAN ?

(Rabu, 20 Juli 2011)

Teologi Harakiri

Senin, 28 Mei 2007. Menteri Pertanian Jepang, Toshikatsu Matsuoka, dikabarkan meninggal dunia. Kematiannya terhitung tidak lazim, karena dilakukan dengan cara menggantung diri. Tak banyak orang yang tahu apa motif di balik kematiannya itu. Hanya yang pasti, ia sempat meninggalkan catatan yang berisi permohonan maafnya kepada orang-orang terdekatnya.

Bagi publik Jepang, kejadian tersebut tentu cukup mengagetkan. Sebab, kendati pun bagi masyarakat Jepang fenomena bunuh diri adalah sesuatu yang jamak terjadi, tetapi insiden Matsuoka ini betul-betul di luar dugaan. Banyak kalangan yang tak menduga bila Matsuoka mengakhiri hidupnya dengan cara demikian. Apalagi dalam kondisi, ia sedang berada di puncak karirnya sebagai Menteri Pertanian.

Bunuh Diri Demi Kehormatan

Di tengah teka-teki kematian Matsuoka belum kunjung terjawab oleh publik, beredar kabar bahwa ia melakukan bunuh diri karena mengalami stress dan tak kuasa menahan malu. Ia, oleh sejumlah pihak, dituduh terlibat dalam skandal suap yang nilainya bila ditaksir dengan rupiah mencapai kisaran 2,3 milyar, dari seorang kontraktor. Ia begitu terpukul dengan kasus tersebut, sehingga memilih untuk bunuh diri.

Boleh jadi, nilai uang suap yang diterima Matsuoka tidaklah seberapa. Terutama misalnya, bila dibandingkan dengan kasus-kasus serupa di Indonesia. Di Indonesia, jumlahnya bisa berkali-kali lipat dari yang diterima Matsuoka. Adalah biasa di Indonesia, bila ada seorang pejabat atau elite politik yang menerima suap senilai itu. Belum lagi, dengan kasus-kasus lain, semisal korupsi. Korupsi di Indonesia nilainya bahkan bisa lebih fantastik lagi, mencapai triliyunan rupiah—dengan satu orang pelaku saja. Dan pelakunya tak pernah pernah merasa malu, apalagi bila melakukan bunuh diri.

Tetapi bagi Matsuoka, dan umumnya masyarakat Jepang, ternyata tidak demikian. Di Jepang, suap bukanlah soal jumlah atau besaran uang yang kita terima. Bukan pula soal ia pejabat atau bukan. Melainkan soal harga diri. Bagi mereka, menerima suap adalah satu kejahatan, tak peduli berapa jumlahnya dan siapa pelakunya. Makanya tak heran, bila melakukan suatu kejahatan, mereka acap memilih mati (dengan cara bunuh diri) dari pada harus hidup dalam keadaan menanggung malu.

Dalam masyarakat Jepang, credo ini biasanya disebut sebagai “harakiri”. Ia semacam prinsip yang mengajarkan bahwa “kematian adalah kompensasi terluhur dari perilaku hidup yang tak pantas, bejat dan memalukan”. Ia menjadi credo yang dianut secara konsisten oleh masyarakat Jepang, hingga kini. Ia, lebih jauh lagi, bahkan membentuk sistem kesadaran dan perilaku sosial mereka dalam kesehariannya.

Masyarakat Jepang meyakini, tindakan harakiri sebagai suatu kehormatan. Suatu tindakan yang luhur dan bermartabat. Ia dianggap sebagai credo kaum kesatria (hero—merujuk pada cerita-cerita kuno masyarakat Jepang). Yakni, kaum yang berani menebus dirinya dengan kematian, demi kehormatan diri. Pula, menjadi sebentuk artikulasi dan konkretisasi dari kesadaran diri dan tanggung jawab yang tulus. Olehnya, dalam masyarakat Jepang, tuduhan melakukan tindak suap, korupsi dan lain sebagainya terhadap seseorang tidak disikapi pelakunya dengan cara menteror atau menuntut balik, melainkan bunuh diri, menyerahkan diri kepada pihak berwenang, atau paling minimal, mengundurkan diri dari jabatan yang sedang dipegangnya. Itulah cara mereka mempertanggungjawabkan perbuatan buruk yang pernah mereka lakukan.

Teologi Harakiri : Ke Arah Indonesia yang Bermartabat

Menurut hemat penulis, harakiri bukanlah suatu cermin keputusasaan, atau eskapisme ekstrim. Pun, ia bukan pengingkaran diri atau takdir. Juga, tentu bukan pula kematian yang sia-sia (absurd), sehingga acap dimaklumkan tak patut untuk diratapi. Apalagi pemberontakan terhadap titah Tuhan. Pun demikian, ia bukan pula perbuatan dosa, sebagaimana pandangan teologis mainstream yang dianut oleh ummat Islam.

Ia, sebaliknya justru merupakan sikap jiwa yang kesatria. Suatu moralitas yang positif, moralitas yang religius (morality of religious). Oleh karena itu, secara teologis, harakiri merupakan satu tindakan yang absah-absah saja. Ia sama sekali tidak bertabrakan dengan konsep teologis Islam. Harakiri—sebagai suatu tradisi penebusan atas kejahatan yang kita lakukan—malah justru memberi efek konstruktif bagi upaya pembentukan model dan semangat keberagamaan (spirit of religious) yang pro kebajikan dan keagungan akhlaq.

Sebagai contoh, persoalan yang senada dapat pula kita temukan dalam kasus bom bunuh diri. Dulu, ketika Israel (yang di back up oleh negara-negara sekutu Amerika) mengekspansi Palestina, muncul polemik soal apakah tindakan bom bunuh diri itu absah atau tidak (dalam konteks teologi Islam). Sayyid Husein Fadlullah menyerukan : bom bunuh diri bukan saja absah (halal), melainkan harus—untuk tidak menyebut wajib—dilakukan guna mempertahankan kedaulatan dan harga diri umat Islam. Syekh Yusuf Qardhawi juga berpendapat sama. Bagi Fadlullah dan Qardhawi, dalam konteks demikian bom bunuh diri justru menjadi kebajikan yang ultim (syahadah).

Dalam konteks di atas, Fadlullah dan Qardhawi telah berhasil menyublim tindakan bunuh diri menjadi suatu etos penjagaan atas harga diri ummat Islam. Ia menjadi satu energi sosial ummat Islam yang amat dahsyat. Nah dalam kaitannya dengan harakiri, mari kita bayangkan, betapa bila harakiri menjadi suatu credo, prinsip hidup dan tradisi (nilai) masyarakat Indonesia, yang secara teologis, dipandang inhern atau memiliki basis legitimasi dalam konstruksi teologis Islam—atau sebutlah sebagai teologi harakiri, maka tentu tindak-tindak kejahatan kekuasaan, berupa korupsi, suap, pemerasan dan lain sebagainya, akan dipandang sebagai suatu kejahatan yang mahabesar.

Pun demikian, secara praksis, akan terjadi penurunan indeks tindak kejahatan tadi, secara drastis. Para pejabat tentu tak akan lagi liar menjarah dan sesumbar mencicipi uang rakyat. Mereka akan berpikir seribu kali untuk melakukannya ulang. Pun, kejahatan tak akan lagi “suci” untuk dipuja-puji. Tidak hanya oleh pejabat, melainkan seluruh warga Indonesia. Warga yang konon amat menjunjung tinggi martabat. Ya, tidak lagi. Karena tentu, mereka telah dapat bercermin dari kaca sejarah Matsuoka, sang Menteri Pertanian Jepang itu.

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Mercusuar, Oktober 2007)

Sabtu, 16 Juli 2011

MIMPI PERUBAHAN

Dalam diskusi—yang berlangsung sengit dan acap saling menusuk—dalam beberapa pekan terakhir ini di POROS, ada satu soal yang kini tengah menjadi point keprihatinan hampir sebagian besar anggota group : PERSATUAN.

Dalam pilkada 2007 lalu, persatuan menjadi persoalan yang sangat krusial. Karena ia menjadi penyebab terjungkalnya cita-cita perubahan yang konon dititipkan kepada figur-figur tertentu. Ambisi personal—dan boleh jadi kelompok—menjadi penyebab ngototnya banyak figur untuk memperebutkan kursi nomor satu di Buol. Dan hasilnya sebagaimana terjadi : tak ada satupun dari mereka yang dititipi misi suci itu yang berhasil memenangkan pertarungan tersebut.

Gejala yang sama kelihatan akan kembali terulang pada pilkada 2012. Sejumlah tokoh, baik yang lama maupun baru yang mengklaim memiliki basis pendukung yang banyak, kini tengah “pasang kuda-kuda”. Memang terlalu dini bila kita menganggap hal ini merupakan pertanda keterpecahan elite pro-perubahan. Sebab, waktu menuju hari H pemilihan masih terlampau panjang. Tetapi di sisi lain, isyarat untuk bersatu juga tak kunjung kita ditemui.

Adakah perubahan yang kita idealisasi selama ini merupakan misi-bersama kita ?. Ataukah ia sesungguhnya hanya sebentuk imaji dari sekelompok anak muda yang tersandera oleh utopia masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban ? Atau pula tidak lebih dari sekedar pelarian dari keterlanjuran : keterlanjuran berada pada posisi vis a vis dengan rezim yang ada. Sehingga kekalahan dimasa lampau tak pernah menjadi cermin pembelajaran.

Perubahan mengandaikan adanya pengorbanan dan keberbagian. Inilah yang sejatinya kita sebut sebagai perjuangan. Dalam perjuangan, tidak ada senjata yang memiliki daya ledak lebih dari persatuan. Perjuangan pun meniscayakan adanya keterleburan “ego-ego personal” kedalam misi suci itu. Dalam perjuangan tak dikenal pemimpin, pula yang dipimpin, karena itu tak penting.

Mari bercermin ! Adakah kesadaran ini telah terbit di hati kita semua ? Jika tidak, maka sudahilah mimpi kita akan perubahan…

(16 Juli 2011)

Jumat, 15 Juli 2011

Pesan Nabi Menyambut Ramadhan

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.
(Al-Baqarah : 183)

Kendatipun tradisi berpuasa bukanlah an sich “milik” ummat Islam, tetapi kiranya Islamlah yang berhasil memberikan aksentuasi yang lebih mendalam dan bermakna terhadap ibadah puasa. Bila dalam tradisi agama-agama yang lain, puasa hanyalah difahami sebagai ibadah individual antara seorang hamba dengan khaliknya, maka Islam memberikan penekanan terhadap ibadah puasa dalam spektrum yang jauh lebih luas, yakni sebagai suatu ibadah yang berorientasi individual dan sekaligus sosial.

Pun demikian, Islam menjadikan puasa sebagai salah satu ibadah sentral dari serangkaian ibadah yang perintahkan oleh Allah Swt. Bahkan puasa, dalam Islam ditempatkan sebagai salah satu pilar yang turut mempengaruhi atau menopang eksistensi agama tersebut. Oleh karena itu, berbeda dengan agama lain, yang tradisi menjalankan ibadah puasa kian hari kian terkikis dari mereka, dalam Islam ibadah puasa justru tetap eksis dan rutin dilaksanakan setiap tahun oleh penganutnya.

Sentralitas puasa ini dalam Islam, berkali-kali ditegaskan oleh Muhammad Saw—Nabi yang suci sekaligus penutup dari para nabi (khatamal anbiya’). Dalam pelbagai kesempatan ia memberikan pesan dan penekanan terhadap keutamaan dari tindakan-tindakan positif yang diambil oleh ummat Islam ketika menjalankan ibadah puasa. Salah satu pesan beliau yang amat monumental itu adalah sebagai berikut :

“Wahai manusia! Sungguh telah datang pada kalian bulan Allah dengan membawa berkah rahmat dan maghfirah. Bulan yang paling mulia di sisi Allah. Hari-harinya adalah hari-hari yang paling utama. Malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama. Jam demi jamnya adalah jam-jam yang paling utama.

Inilah bulan ketika kamu diundang menjadi tamu Allah dan dimuliakan oleh-Nya. Di bulan ini nafas-nafasmu menjadi tasbih, tidurmu ibadah, amal-amalmu diterima dan doa-doamu diijabah. Bermohonlah kepada Allah Rabbmu dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah membimbingmu untuk melakukan shiyam dan membaca Kitab-Nya.

Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan rasa lapar dan hausmu di hari kiamat. Bersedekahlah kepada kaum fuqara dan masakin. Muliakanlah orang tuamu, sayangilah yang muda, sambungkanlah tali persaudaraanmu, jaga lidahmu, tahan pandanganmu dari apa yang tidak halal kamu memandangnya dan pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarnya. Kasihilah anak-anak yatim, niscaya dikasihi manusia anak-anak yatimmu. Bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. Angkatlah tangan-tanganmu untuk berdoa pada waktu shalatmu karena itulah saat-saat yang paling utama ketika Allah Azza wa Jalla memandang hamba-hamba-Nya dengan penuh kasih; Dia menjawab mereka ketika mereka menyeru-Nya, menyambut mereka ketika mereka memanggil-Nya dan mengabulkan doa mereka ketika mereka berdoa kepada-Nya.

Wahai manusia! Sesungguhnya diri-dirimu tergadai karena amal-amalmu, maka bebaskanlah dengan istighfar. Punggung-punggungmu berat karena beban (dosa) mu, maka ringankanlah dengan memperpanjang sujudmu.

Ketahuilah! Allah ta’ala bersumpah dengan segala kebesaran-Nya bahwa Dia tidak akan mengazab orang-orang yang shalat dan sujud, dan tidak akan mengancam mereka dengan neraka pada hari manusia berdiri di hadapan Rabb al-alamin.

Wahai manusia! Barang siapa di antaramu memberi buka kepada orang-orang mukmin yang berpuasa di bulan ini, maka di sisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan dia diberi ampunan atas dosa-dosa yang lalu. (Sahabat-sahabat lain bertanya: “Ya Rasulullah! Tidaklah kami semua mampu berbuat demikian.”

Rasulullah meneruskan: “Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan sebiji kurma. Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan seteguk air.”

Wahai manusia! Siapa yang membaguskan akhlaknya di bulan ini ia akan berhasil melewati sirathol mustaqim pada hari ketika kai-kaki tergelincir. Siapa yang meringankan pekerjaan orang-orang yang dimiliki tangan kanannya (pegawai atau pembantu) di bulan ini, Allah akan meringankan pemeriksaan-Nya di hari kiamat. Barangsiapa menahan kejelekannya di bulan ini, Allah akan menahan murka-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa memuliakan anak yatim di bulan ini, Allah akan memuliakanya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa menyambungkan tali persaudaraan (silaturahmi) di bulan ini, Allah akan menghubungkan dia dengan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa memutuskan kekeluargaan di bulan ini, Allah akan memutuskan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barangsiapa melakukan shalat sunat di bulan ini, Allah akan menuliskan baginya kebebasan dari api neraka. Barangsiapa melakukan shalat fardu baginya ganjaran seperti melakukan 70 shalat fardu di bulan lain. Barangsiapa memperbanyak shalawat kepadaku di bulan ini, Allah akan memberatkan timbangannya pada hari ketika timbangan meringan. Barangsiapa di bulan ini membaca satu ayat Al-Quran, ganjarannya sama seperti mengkhatam Al-Quran pada bulan-bulan yang lain.

Wahai manusia! Sesungguhnya pintu-pintu surga dibukakan bagimu, maka mintalah kepada Tuhanmu agar tidak pernah menutupkannya bagimu. Pintu-pintu neraka tertutup, maka mohonlah kepada Rabbmu untuk tidak akan pernah dibukakan bagimu. Setan-setan terbelenggu, maka mintalah agar ia tak lagi pernah menguasaimu. Amirul mukminin k.w. berkata: “Aku berdiri dan berkata: “Ya Rasulullah! Apa amal yang paling utama di bulan ini?” Jawab Nabi: “Ya Abal Hasan! Amal yang paling utama di bulan ini adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan Allah”.

Wahai manusia! sesungguhnya kamu akan dinaungi oleh bulan yang senantiasa besar lagi penuh keberkahan, yaitu bulan yang di dalamnya ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan; bulan yang Allah telah menjadikan puasanya suatu fardhu, dan qiyam di malam harinya suatu tathawwu’.”

“Barangsiapa mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu pekerjaan kebajikan di dalamnya, samalah dia dengan orang yang menunaikan suatu fardhu di dalam bulan yang lain.”

“Ramadhan itu adalah bulan sabar, sedangkan sabar itu adalah pahalanya surga. Ramadhan itu adalah bulan memberi pertolongan (syahrul muwasah) dan bulan Allah memberikan rizqi kepada mukmin di dalamnya.”

“Barangsiapa memberikan makanan berbuka seseorang yang berpuasa, adalah yang demikian itu merupakan pengampunan bagi dosanya dan kemerdekaan dirinya dari neraka. Orang yang memberikan makanan itu memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa tanpa sedikitpun berkurang.”

Para sahabat berkata, “Ya Rasulullah, tidaklah semua kami memiliki makanan berbuka puasa untuk orang lain yang berpuasa. Maka bersabdalah Rasulullah saw, “Allah memberikan pahala kepada orang yang memberi sebutir kurma, atau seteguk air, atau sehirup susu.”

“Dialah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya pembebasan dari neraka. Barangsiapa meringankan beban dari budak sahaya (termasuk di sini para pembantu rumah) niscaya Allah mengampuni dosanya dan memerdekakannya dari neraka.”

“Oleh karena itu banyakkanlah yang empat perkara di bulan Ramadhan; dua perkara untuk mendatangkan keridhaan Tuhanmu, dan dua perkara lagi kamu sangat menghajatinya.”

“Dua perkara yang pertama ialah mengakui dengan sesungguhnya bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan mohon ampun kepada-Nya. Dua perkara yang kamu sangat memerlukannya ialah mohon surga dan perlindungan dari neraka.”

“Barangsiapa memberi minum kepada orang yang berbuka puasa, niscaya Allah memberi minum kepadanya dari air kolam-Ku dengan suatu minuman yang dia tidak merasakan haus lagi sesudahnya, sehingga dia masuk ke dalam surga.” (HR. Ibnu Huzaimah).

Dari pesan Nabi di atas, terlihat bagaimana Nabi hendak menegaskan sentralitas ibadah puasa dalam Islam, terutama sebagai medium pencapaian ruhani dan pembentukan jiwa seorang muslim yang paripurna. Berbagai perkara yang diutarakan, seperti ; ibadah, do’a, memohon ampunan, membangun tali silaturrahim, memuliakan anak yatim dan membantu kaum dhu’afa adalah “kata kunci” (key words) bagi tercapai atau tidaknya proyeksi ruhani seorang hamba.

Di sini, perkara-perkara itu disebutkan secara integral. Antara ibadah, do’a, memohon ampunan, membangun tali silaturrahim, memuliakan anak yatim dan membantu kaum dhu’afa tidak dipisahkan satu sama lain. Artinya apa ? perkara-perkara tersebut (baik yang bersifat individual seperti ibadah, do’a, memohon ampunan, maupun yang bersifat sosial seperti membangun tali silaturrahim, memuliakan anak yatim dan membantu kaum dhu’afa) mesti dilakukan secara integral oleh mereka yang tengah menjalankan ibadah puasa. Sebab, kesemuanya mengandung keutamaan yang bersifat paralel satu sama lainnya. 

(lembah sunyi, 2010)

Spirit Transformatif Puasa

"Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia, menegakkan kebaikan, 
mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah."
(Qs. Al-Imran : 10)

Hampir sebagian besar dari peristiwa-peristiwa agung dalam lintasan sejarah kenabian Muhammad Saw, terjadi pada bulan puasa. Sebutlah Perang Badar. Perang Badar terjadi pada hari Jum’at 17 Ramadhan 2 H di suatu tempat yang bernama Badar. Kala itu, Nabi dan ummat Islam yang hanya berjumlah sekitar 300 orang harus menghadapi pasukan musuh yang jumlahnya jauh lebih banyak, yaitu 1000 orang.

Perang Badar adalah perang pertama kali yang terjadi antara pasukan Islam dengan kaum musyrikin Mekkah. Oleh karena itu, ia sangat menentukan bagi perjalanan ajaran Islam yang dibawa Nabi pada masa-masa selanjutnya. Namun Nabi dan pasukannya akhirnya berhasil membuktikan diri, mereka keluar sebagai pemenang. Kemenangan tersebut, bagi ummat Islam kala itu, menjadi satu sinyalemen kepada orang lain bahwa Islam telah menjelma menjadi satu kekuatan baru yang tak bisa diremehkan.

Di samping perang Badar, peristiwa Fathul Makkah (Pembukaan Kota Mekkah), juga terjadi pada bulan ramadhan. Ini adalah peristiwa yang begitu bersejarah bagi Nabi, karena ia menandai kemenangan ummat Islam untuk merebut kota suci Mekkah dari tangan kaum musyrikin, setelah sekian lama terusir dari sana. Kota Mekkah jatuh ke tangan kaum muslimin tanpa sedikit pun menimbulkan pertumpahan darah. Peristiwa ini terjadi pada 20 Ramadhan 8 H.

Selanjutnya, beberapa peristiwa lain yang juga terjadi pada bulan ramadhan di antaranya adalah persiapan perang khandaq (parit), perang tabuk, dan turunnya ayat suci al-Qur’an. Perang khandaq adalah perang yang ditandai dengan adanya parit. Karena memang Nabi dan ummat Islam waktu itu menggali parit sebagai salah satu strategi untuk menghadapi gempuran musuh. Parit tersebut disiapkan selama bulan ramadhan. Sementara perang Tabuk adalah perang antara pasukan Islam dengan tentara Rum. Perang ini terjadi pada bulan ramadhan 9 H.

Spirit Transformatif

Sejumlah catatan di atas menunjukkan bahwa, betapa peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di masa kenabian Muhammad Saw, justru terjadi di bulan yang agung, bulan ramadhan. Kita bisa menyaksikan bagaimana peristiwa-peristiwa itu, kini menjadi satu torehan sejarah yang amat berarti bagi ummat Islam. Mungkinkah kita dapat memperoleh kegemilangan Islam sebagaimana kini, jika sekiranya perang Badar di masa Nabi itu dimenangkan oleh kaum musyirikin ? Tentu sukar untuk dijawab.

Kita tahu persis, bahwa perang Badar itu adalah tonggak awal bagi sejarah perjuangan ummat Islam. Ia menjadi penentu kemenangan dan harga diri ummat Islam. Hampir bisa dipastikan bagaimana down-nya ummat Islam jika pada waktu itu kalah dari kaum musyrikin. Sebaliknya, dengan kemenangan tersebut menjadikan rasa percaya diri dan kekokohan barisan ummat Islam semakin kuat.

Oleh karena itu, dapat dimengerti bagaimana ummat Islam, walau mengalami kelelahan fisik yang dahsyat (apalagi dalam kondisi berpuasa) ketika itu, tetapi tetap berupaya mati-matian untuk memenangkan peperangan tersebut. Mereka tetap berusaha sekuat tenaga dan tak memedulikan pasukan musuh yang jumlahnya jauh melebihi mereka. Malah, puasa justru sebaliknya, dijadikan sebagai api spirit untuk mengobarkan semangat perlawanan terhadap kaum musyrikin.

Di sini kelihatan, betapa puasa sebenarnya memiliki efek yang amat besar bagi proses transformasi sosial pada suatu masyarakat. Puasa dapat menjadi basis katalisator bagi kebangkitan suatu kaum. Pun demikian, ia dapat mencangkokkan “seperangkat” nilai dalam diri seseorang, yang terbukti sangat efektif untuk mendorong lahirnya proyeksi dan kesadaran untuk melakukan transformasi sosial.

Seseorang yang berpuasa adalah seseorang yang terbentuk untuk menyadari diri dan dunianya. Sementara, kata Muthahhari, kesadaran akan diri dan dunia inilah yang memunculkan tanggungjawab sosial. Seseorang yang menyadari diri dan dunianya, pastilah tergerak untuk berjuang mewujudkan kehidupan sosial yang ideal.

Oleh karena itu, kata Muthahhari, transformasi sosial yang terjadi pada masyarakat atau bangsa manapun sesungguhnya tidaklah digerakkan oleh faktor-faktor lain di luar diri manusia, seperti struktur ekonomi dan politik. Ia berbeda dengan Marx, yang meyakini bahwa setiap perubahan sosial yang terjadi, pasti dideterminasi oleh faktor ekonomi-politik yang berkembang di masyarakat.

Senada dengan itu, Max Weber mengutarakan tesis yang sama dengan Muthahhari mengenai peranan nilai dan diri yang religius dalam terjadinya suatu transformasi sosial. Ia memandang bahwa, nilai-nilai agama yang memanifestasi dalam diri-penganutnya yang religius, sebenarnya memiliki pengaruh yang besar dalam menciptakan transformasi sosial di masyarakat. Keyakinannya itu ia utarakan dalam karya monumentalnya “The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism”.
Apa yang dikemukakan baik oleh Muthahhari maupun Weber tersebut, adalah bukti lanjut bagaimana ibadah-ibadah semisal puasa, yang dijalankan oleh seseorang “bekerja” menggerakan perubahan sosial. Dimensi keshalehan yang menjadi sumbu dasar dari ibadah-ibadah itu, pada akhirnya memunculkan spirit dan tanggungjawab untuk mewujudkan kehidupan sosial yang dikehendaki.

Ibadah-ibadah yang dimaksud, tidak berhenti pada pemujaan belaka. Tidak pula pada rutinitas yang tak berkesudahan. Sebab, keshalehan tidak mungkin melahirkan jiwa yang antipati dan emoh terhadap lingkungan sosialnya. Keshalehan yang demikian, hanyalah keshalehan yang semu. Nabi berkata : “Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya.”

Sebaliknya, keshalehan yang hakiki adalah keshalehan yang transformatif. Jenis keshalehan seperti ini, lahir dari pemahaman yang komperehensif terhadap makna sosial dari ibadah-ibadah. Dan secara praksis, ia mewujud dalam tanggungjawab dan kesadaran untuk melakukan perubahan sosial, terus tanpa henti.

Sayyed Hosein Nasr mengungkapkan bahwa sebuah ibadah, idealnya tidak an sich diorientasikan kepada penunaian perintah Allah Swt secara normatif, tetapi juga sekaligus untuk mencerap dimensi-dimensi esoterik yang termuat di dalamnya. Sebab menurutnya, ibadah, apapun itu, pasti memuat dua dimensi; yakni dimensi formal-artifisial (eksoterik) dan dimensi nilai-nilai, yakni dimensi terdalam (esoterik). Nah, ibadah yang sejati itu, ungkapnya, terletak pada dimensi yang kedua.

Sehingga, berpuasa sebenarnya bukanlah sebatas bagaimana menjalankan syariat (perintah) yang telah ditetapkan oleh Allah Swt, tetapi juga menyangkut bagaimana nilai-nilai kebajikan yang terpancar darinya berhasil dicerap oleh mereka yang menjalankannya, untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sosial yang nyata.

Pun demikian, berpuasa bukan sekedar bagaimana seseorang dapat menggapai makrifat atau kedekatan (taqarrub) dengan Allah Swt, namun emoh secara sosial, melainkan bagaimana power ruhani yang dimilikinya itu dapat menjadi sumber energi dan spirit bagi kemajuan masyarakat disekelilingnya. Atau dengan kata lain, menghadirkan cahaya dan rahmat bagi semua.

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Mercusuar, 5 Agustus 2011)


Kamis, 14 Juli 2011

SIMPUL-SIMPUL KESERAKAHAN

Kasus korupsi Pengadaan Alkes di Dinas Kesehatan, yang diduga melibatkan Verawati Batalipu, merupakan kasus korupsi teranyar di Kab. Buol yang menarik untuk disimak. Ini bukan saja, karena pelaku merupakan adik kandung Bupati Buol, melainkan karena ia menandai satu babak baru dalam praktek korupsi di kab. Buol.

Bagaimana pun, Verawati, menurut saya merupakan pemain baru dalam praktek haram ini. Sebagai PNS dengan usia pengangkatan yang masih amat belia, adalah mustahil bagi dia untuk bisa “bermain” dalam pengerjaan paket-paket berskala besar, selain kalau ia adalah orang dekat kekuasaan.

Iya, kekuasaan memang bisa menjadikan tak ada satupun yang mustahil untuk dilakukan. Dan itu yang terjadi. Dalam kasus Verawati ini, bagi saya, ia hanyalah operator di lapangan. Klik utamanya tetap berada di sumbu kekuasaan. Alasannya sederhana saja : dalam situasi dimana resistensi masyarakat begitu kencang terhadap Bupati, terutama dalam kaitannya dengan korupsi, maka menjadi sangat riskan bila Bupati bermain langsung. Oleh karena itu, mesti ada simpul-simpul baru yang diposisikan untuk kepentingan itu.

Kian Sulit

Kasus korupsi yang menimpa Verawati ini bagi saya member isyarat pada dua hal; pertama, bagaimana rezim yang berkuasa di Buol, kini tengah secara sistematik “bekerja” untuk menggerogoti uang rakyat. Modus lama dengan menjadi pemain tunggal kini telah ditinggalkan dan diganti dengan memunculkan simpul-simpul baru dari lingkungan keluarga, yang tentu lebih bisa dipercaya dan dikendalikan. Kedua, bahwa kian sulit bagi kita untuk bisa menjadikan Bupati sebagai “sasaran tembak” langsung dalam pemberantasan kasus-kasus korupsi. Sebab, pelaku kini telah membentuk sindikat, yang bila suatu ketika terkuak dan diproses secara hukum, maka akan dengan mudah memutus mata rantai dan menjadikan orang-orang lapangan sebagai korban. 

(Selasa, 12/07/2011)

SYAR’I NGEPOP ; Mungkinkah Menjadi Solusi-Kreatif ?

Apakah makna budaya (culture) bagi manusia ? Adakah ia merupakan unsur fundamental bagi kehidupan manusia ? Tidak kurang, inilah soal-soal yang acapkali mengemuka ketika kita hendak terlibat dalam diskursus mengenai budaya. Oleh para ahli, soal-soal ini kemudian dimasukkan dalam wilayah kajian filsafat budaya. Sementara, soal-soal menyangkut teori, metodologi (pendekatan) dan praktek budaya, dikaji dalam suatu disiplin ilmu yang dalam perkembangannya belakangan ini biasa disebut sebagai cultural studies1.

Dalam perkara pertama, Ali Syariati memberi penegasan atas makna penting budaya bagi manusia. Menurutnya, budaya sebagai keseluruhan dari wajah non-material suatu individu atau masyarakat, sejatinya, merupakan anasir utama dalam pembentukan peradaban (civilitation, tamadduni). Sebab katanya, peradaban tidak lain dari materialisasi budaya. Sebuah peradaban yang tidak dirakit melalui suatu hampiran budaya yang adiluhung (high-culture) niscaya terlahir sebagai peradaban yang rendah, lemah dan tak dapat dibanggakan. Sebaliknya, sebuah peradaban yang lahir dari muara kebudayaan yang adiluhung, pastilah menjadi peradaban besar, agung dan terhormat2.

Senada dengan itu, Murtadha Muthahhari mewartakan budaya sebagai identitas kemanusiaan. Artinya, budaya dalam pengertiannya sebagai artikulasi dari keseluruhan bangunan nalar, kesadaran dan pola sikap manusia, merupakan ciri pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya. Ungkapnya, budaya adalah khas manusia. Ia adalah ekspresi dari keluhuran, cinta, kecerdasan, kesempurnaan, pengetahuan, dan ketulusan manusia. Tanpa budaya, tak layak seseorang disebut sebagai manusia. Tanpa budaya tak ada yang kemudian dapat kita kenali sebagai kemanusiaan3.

Pop Culture ; Sebuah Definisi

Pop culture (budaya pop), sebuah istilah yang amat santer kedengaran di era mutakhir ini. Sebuah istilah yang dilekatkan pada apa saja yang beraroma baru, populer, dan massif : dangdut, fashion, gaya rambut, film, dll. Walau sebenarnya secara genealogi—meminjam kerangka analisis teks Foucoult—kelahirannya bukan nanti sekarang. Ia telah lahir jauh hari sebelumnya. Tercatat sejak bercokolnya apa yang disebut oleh Antonio Gramsci sebagai ideologi dominan dan hegemoni. Sebab, katanya, budaya pop tidak lain adalah konsekuensi logis sekaligus etis dari adanya kuasa ideologi dan hegemoni atas suatu konstruk budaya, cara pandang, dan atau kebiasaan yang dianut oleh kelompok-kelompok sosial tertentu.

Dalam konteks ini, budaya pop dipahami sebagai representasi dari suatu ideologi. Ideologi sebagai seperangkat gagasan sistematis yang berperan mengatur elemen-elemen sosial yang beragam dan mengikatnya menjadi satu4, kemudian bekerja melalui hegemoni—sebuah konsep strategi untuk memberi, mendisiplinkan dan sekaligus melanggengkan makna suatu budaya. Hanya saja, sebagaimana diakui oleh Gramsci, hegemoni bukanlah sesuatu yang taken for granted. Ia hanyalah sebatas kemapanan yang bersifat sementara dan kumpulan aliansi kelompok-kelompok sosial yang diperoleh melalui usaha5. Dengan demikian, ia masih menyisakan ruang negosiasi dan perjuangan bagi kelompok sosial tertentu untuk dapat merepresentasikan dirinya.

Definisi atas budaya pop pun datang dari generasi awal Mazhab Frankfrut, semisal Adorno dan Horkheimer. Mereka menyatakan bahwa budaya pop adalah budaya yang tidak autentik dan bersifat manipulatif karena diproduksi secara instan, untuk tujuan supaya laku dijual (komersial)6. Generasi awal mazhab frakfrut, yang banyak mengambil inspirasi dari ide-ide Karl Marx, menegaskan bahwa produksi kebudayaan tidaklah terjadi secara alamiah, melainkan dideterminasi oleh kepentingan ekonomi-politik suatu ideologi. Fenomena ini kemudian oleh mereka disebut sebagai “industrialisasi budaya”.

Pop Culture dan Kapitalisme Global

Dengan meminjam kerangka analisis Marx di atas, maka diskursus budaya dewasa ini dapat dipastikan amat terkait dengan suatu ideologi besar, yakni kapitalisme. Suatu ideologi yang hingga kini masih begitu digdaya. Ideologi yang disebut-sebut dibangun di atas azas-azas ekonomi individual (swasta), dan menyerahkan sepenuhnya gerak ekonomi kepada mekanisme pasar.

Para peminat cultural studies, semisal Nirwan Dewanto, melihat bahwa kapitalisme bukanlah ideologi yang mewakili suatu watak dan pesan kebajikan, kesederajatan (equality), penghormatan dan keadilan di seluruh lokus kehidupan manusia, sebagaimana diimpikan oleh kebanyakan orang. Kapitalisme tidak lebih dari sebuah ideologi culas, yang mensubordinasi dan menjadikan apapun di bawahnya (the other) sebagai “sapi perahan”. Iya, watak culasnyalah yang menjadikan kapitalisme teramat dibenci orang7.

Sejarah kapitalisme barat adalah sejarah kolonialisasi. Sejarah yang diukir di atas kanvas-buram penindasan dan peminggiran terhadap entitas-entitas budaya non-barat, kata Gayatri Spivak, sang maestro postkolonial dari benua India. Tidak jarang, guna melanggengkan kaki hegemoninya, kapitalisme kemudian mencanangkan : inkorporasi8 dan komodifikasi9. Dua cara yang dengannya kapitalisme tetap berjaya, dan senantiasa memenangkan setiap pertarungan budaya.

Pada gilirannya, sebagaimana ditulis oleh Nuraini Juliastuti bahwa, kapitalisme akan memunculkan dua pola-dasar budaya, yakni budaya konsumen dan budaya komoditas10. Budaya konsumen adalah semacam budaya, kebiasaan-kebiasaan, pola sikap dan pola hidup seseorang yang dibentuk oleh konsumsi atas benda-benda atau produk tertentu11. Sementara, budaya komoditas ditunjukkan oleh ketergantungan, yang kadang melampaui batas akal sehat (common sense), atas suatu benda atau produk12.

Tidak hanya berhenti disitu saja. Konon, visi universalisasi dan homogenisasi (penyeragaman) budaya, sebagaimana diamalkan oleh kapitalisme pada masa-masa sebelumnya dalam menguasai entitas budaya yang lain, kini tidak berlaku lagi. Sebab, kata Nirwan Dewanto, homogenisasi bukan hanya mematikan pasar, tetapi membunuh daya kreasi itu sendiri. Kapitalisme sekarang tengah merakit sebuah strategi baru. Strategi penguasaan yang dilakukan dengan cara melirik local genus dan kemudian mengkapitalisasikannya. Bukankah ini menarik ? Dan lagi terbukti efektif. Dengan merebut “identitas lokal” dari suatu komunitas masyarakat atau bangsa, berarti mencipta sentimen pasar, yang pada muaranya, lagi-lagi menguntungkan mereka (kaum kapitalis).

Mempertimbangkan Khomi Bhaba

Tetapi, terlepas dari semua kontraversi itu, dalam kaitannya dengan budaya pop sebagai suatu wilayah perbincangan mengenai Islam dan Barat, ada satu pertanyaan yang hingga kini terus menggelitik dalam diri penulis. Masih relevankah kita bicara soal itu Iblis dan ini manusia ?. Masih relevankah kita bicara soal mereka Barat dan kita Islam, di tengah kekalahan dan kemunduran yang terus mendera kita, tanpa henti. Masih relevankah kita sekedar memaki-maki kapitalisme beserta sejumlah keculasannya ketika hampir tidak ada lagi celah atau ruang bagi kita untuk merepresentasikan diri ?.

Sekali lagi, bukan hendak mengabaikan prinsip-prinsip umum yang, boleh jadi, bertabrakan secara diametral antara Islam dengan kapitalisme barat dalam wajah budaya pop. Tetapi, dalam hemat penulis, bukankah lebih baik bagi kita untuk berfikir lebih strategis lagi dalam melihat perkara ini, ketimbang menjebak diri dalam suatu arus romantisme semu masa lalu, dan terlebih lagi hanya dapat berani untuk menstempeli ; barat jahat vs Islam baik, barat culas vs Islam adil, dan lain sebagainya. Tanpa dapat memikirkan secara jernih apa yang harus kita lakukan ?

Disinilah kiranya, menurut penulis, relevansi dari tawaran Khomi Bhabha—sang maestro postkolonial yang juga berasal dari benua India, untuk dipertimbangkan. Khomi Bhaba mengajukan apa yang ia sebut sebagai kreolisasi dan mimikri budaya. Suatu konsep strategi kebudayaan yang dimaksudkan untuk menata (memediasi) pola relasi antar budaya. Konsep ini menjadi penting, terutama di tengah kebuntuan dalam menjawab soal-soal yang berkenaan dengan dominasi budaya barat yang kapitalistik atas budaya non-barat.

Konsep kreolisasi berangkat dari analisis Collins atas soal hegemoni, yang diutarakan oleh Gramsci. Collins berpendapat bahwa sebenarnya tidak ada yang namanya hegemoni. Sebab, manusia adalah pelaku sadar (aktif). Manusia, bukanlah makhluk yang menerima begitu saja konstruksi makna-makna atas suatu teks atau pesan (tanda, sign). Tetapi lebih dari itu, manusia memiliki kemampuan untuk senantiasa mereproduksi makna. Sehingga makna ditangan manusia tidaklah bersifat final, stabil, dan definitif. Roland Barthes menyebutnya sebagai sifat polisemis tanda.

Pun demikian mengenai apa yang acapkali diteriakkan sebagai imperialisme kultural. Tidak sedikit dari para peminat cultural studies menolak argumen ini. Sebab, ungkap mereka, pengakuan terhadap imperialisme kultural, berarti pengingkaran atas adanya suatu fakultas kesadaran pada diri manusia. Padahal, kesadaran adalah watak esensial manusia. Argumen ini sekaligus menghempaskan asumsi kaum Marxian bahwa imperialisme kultural, secara praksis, menciptakan kesadaran-palsu (pseudo consscinous).

Nah, kreolisasi yang dimaksud oleh Khomi Bhaba itu adalah : strategi kebudayaan yang dijalankan dengan cara menyerap unsur-unsur kebudayaan yang dominan tetapi mengabaikan makna dibaliknya. Contohnya, bagi masyarakat muslim tidak menjadi soal untuk memanfaatkan sejumlah kemajuan teknologi, katakanlah, berupa hand phone. Hand phone yang pada awalnya, boleh jadi, merupakan alat identifikasi diri, fashion atau pula sebagai asosiasi simbolik (ingat nilai totemistik suatu benda), kemudian diberi makna yang baru. Di sini, hand phone bisa diberi makna sebagai alat dakwah (da’i SMS).

Sementara, mimikri budaya adalah proses peniruan atau peminjaman terhadap unsur-unsur kebudayaan yang lain, tetapi dalam hal ini budaya subordinat menjadi penikmat yang cerdas. Ia dapat berperan ganda : penikmat sekaligus subverstor. Contohnya, menjamurnya para pedagang kaki lima (gerobak) yang menawarkan menu makanan siap saji, sebagaimana Kentucky Fried Chicken (KFC). Di sini makanan siap saji, yang biasa diberi nama Gorontalo Fried Chicken, atau yang lain, menjadi penikmat sekaligus agen subversi atas domninasi KFC. Meniru tetapi sekaligus melawan (counter).

Syar’i Ngepop : Mungkinkah ?

Jadi, bagaimana dengan Islam ? Dapatkan kita meminjam strategi kebudayaan yang diajukan oleh Khomi Bhaba tersebut guna menghadapi dominasi kapitalisme barat ? Bagi penulis, boleh-boleh saja. Dibanding kita harus mengambil pilihan strategi yang sporadis, sebagaimana ditunjukkan oleh sebagian dari kelompok Islam “fundamentalis (tak berwawasan ?)” dengan cara meneror, mengebom, mengintimidasi, dan lain sebagainya, yang justru kontra produktif dengan pesan-pesan luhur ajaran Islam, tampaknya pilihan ini lebih memungkinkan lagi realistis bagi kita. Ya sebutlah, sebagai syar’i ngepop. Sebagaimana tampak dari beberapa ustadz pop kita, yang “memanfaatkan” tidak sedikit dari media massa—baik itu media cetak maupun elektronik atau bahkan SMS—untuk berdakwah, tanpa harus terjebak (atau pusing) dengan alur permainan kapitalisme media. Bukankah ini menarik ? Moga-moga saja.

Footnotes :
1 Cultural studies adalah sebuah formasi diskursif, yaitu “sekumpulan (atau formasi) gagasan, citra dan praktik yang menyediakan cara-cara untuk berbicara tentang, menyediakan bentuk-bentuk pengetahuan dan tingkah laku yang diasosiasikan dengan, suatu topik, aktivitas sosial atau wilayah institusional tertentu dalam masyarakat. Lihat Chris Barker, Cultural Studie ; Teori dan Praktik, Bentang, 2005.
2 Lihat Ali Syariati, Ideologi Kaum Intelektual, Mizan, 1996, dan Tugas Cendekiawan Muslim, Srigunting, 2001.
3 Lihat Murtadha Muthahhari, Perspektif Manusia tentang Agama dan Manusia, Mizan, 1998 ; Fitrah, Lentera 1999. Bandingkan pula dengan pandangan Iqbal dalam Robert D. Lee , Mencari Islam Autentik ; dari Nalar Puitis Iqbal sampai Nalar Kritis Arkoun, Mizan, 2000, dan Sayyed Hosein Nasr dalam Pengetahuan dan Kesucian, Pustaka Pelajar, 1997.
4 Chris Barker, Cultural Studie ; Teori dan Praktik, Bentang, 2005.
5 Ibid.
6 John Storey, Teori Budaya dan Budaya Pop, Qalam Press, 2003.
7 Lihat, Bentara Kompas, 2003.
8 Inkorporasi adalah strategi penguasaan atas kebudayaan yang sub-ordinat dengan cara menyerap unsur-unsur kebudayaan tersebut dan kemudian menghilangkan sifat-sifat perlawananan darinya. Lihat, www. kunci.or.id.
9 Komodifikasi adalah strategi melanggengkan kuasa dengan cara senantiasa memperbaharui atau merestorasi diri. Lihat, www. kunci.or.id.
10 Lihat, www. kunci.or.id.
11 Budaya konsumen dapat di lihat dalam kasus anak-anak punk, atau anak-anak musik yang mengidentifikasikan dirinya pada musisi yang digandrunginnya, atau pula pada penggemar internet (cyber media). Dalam kasus ini, mereka membentuk suatu corak budaya, kebiasaan-kebiasaan, pola sikap dan pola hidup sendiri, yang tidak jarang berbeda dengan orang lain.
12 Budaya komoditas dapat di lihat pada ketergantungan sebagian orang atas HP, produk kecantikan tertentu, makanan ala KFC, dan lain sebagainya.

(Makalah untuk Dialog Budaya dengan tema “Diskursus Budaya dalam Jejaring Pop Culture” 
pada tanggal 11 April 2006 Di Universitas Negeri Gorontalo)

MATERIALISME : Membunuh Tuhan Atasnama Kebenaran Ilmiah

Di titik tempat alam raya berputar, tak ada tubuh atau jiwa.
Tidak ada lagi “dari” atau “menuju ke”. Di titik itulah segalanya menari. Tidak ada lagi gerak atau diam.
Jangan katakan ini mustahil !
Ketika masa silam dan masa datang digabung, tak ada lagi gerak “dari” atau “menuju ke”.
Tak ada lagi kemajuan atau kemunduran. Ini adalah titik segala-galanya.
Segala-galanya.
Tak ada tarian, yang ada hanya Sebuah Tarian.
(T.S. Elliot, Tuh... tidak tahu kan orangnya, saya juga tidak...)

Ikhtiar manusia dalam mencari realitas dasar kosmos (secara ontologi) pada galibnya telah berusia purba, hampir seusia dengan manusia itu sendiri. Di masa lampau (tempoe doeloe, kata nenek saya) tradisi intelektual para nabi—baik Ibrahimic maupun non-Ibrahimic—senantiasa dipadati oleh kegairahan dan perenungan yang teramat mendalam lagi tiada berakhir terhadap semesta-realitas. Tengoklah, bagaimana perjalanan intelektual Nabi Ibrahim a.s dalam mencari realitas dasar kosmos, mulai dari penisbahannya terhadap matahari, bulan, siang dan malam hingga akhirnya bertemu dengan eksistensi (wujud) yang Mahamutlak. Atau Nabi Musa a.s. yang mengawali perjumpaannya (liqo’, kayak ibu-ibu kita di Kohati itu) dengan yang Mahamutlak di tengah kepingsanannya di Bukit Tsuur (kata ummi saya). Atau sebagaimana The Buddha yang mendekap sang Mahamutlak dalam senandung Nasyid Raihan (fenomena hidup dan mati, muda dan tua, kaya dan miskin, coba sambung lagunya Tini). Atau Nabi non-Ibrahimic lainnya, Socrates (istrinya cerewet tuh...) yang menemui sang Mahamutlak di kerumunan kaum muda di pasar-pasar di Athena. Dan atau ketika ia menukarkan selembar nyawanya dengan anggur kematian di bursa pengadilan Athena.

Di era moderng (kesalahan bukan pada tulisan ini tapi pada lidah Bugis anda), disiplin ilmu yang berkenaan dengan pencarian terhadap hakikat realitas semesta di sebut sebagai Kosmologi. Atau secara lebih lengkap definisi kosmologi adalah serangkaian keyakinan dan pandangan universal yang tersistematis mengenai manusia dan alam semesta, atau secara umum mengenai ‘ke-ada-an (wujud). Kosmologi dapat dibedakan menjadi dua, yakni : pertama, kosmologi teisme—sebuah sistem kosmologi yang memasukkan wujud immaterial atau supranatural dalam diskursus tentang hakikat alam semesta. Dan kedua, kosmologi materialisme—sebuah sistem kosmologi yang menegasi atau mengingkari unsur-unsur yang bersifat immaterial atau supranatural dalam diskursus tentang hakikat alam semesta.

Materialisme : Sebuah Perkenalan Singkat

Materialisme sebagai sebuah pandangan-dunia yang berkenaan dengan hakikat (ontologi) alam semesta dapat dikatakan berhadap-hadapan secara vis a vis dengan agama. Tetapi, berkenaan dengan diskursus tentang ada atau tidaknya kebenaran obyektif di luar diri kita (secara eksternal), dapat dilawankan pula secara vis a vis dengan idealisme. Jika materialisme masih mengakui bahwa ada realitas obyektif secara eksternal, maka idealisme menolak sama sekali segenap realitas eksternal. Idealisme—sebagaimana ungkap Murtadha Muthahhari—memandang bahwa realitas eksternal hanyalah merupakan konstruksi yang diada-adakan oleh pikiran manusia atau bersifat aksiden. Ciri pemikiran idealistik dapat ditemukan pada kaum sophistik baik, klasik maupun mutakhir semacam postmodernisme.

Materialisme dalam definisinya yang kedua, dapat diterapkan pada seluruh penganut faham ketuhanan, baik muslim maupun non-muslim. Sebab, berbeda dengan kaum sophistik, kaum agamawan memandang bahwa materi sebagai realitas obyektif secara eksternal adalah maujud. Materi—bagi kaum agamawan—adalah sebuah realitas yang hidup dalam ruang dan waktu yang memiliki ketundukan pada perubahan, transformasi, evolusi kemudian juga dapat dipersepsi dan diindrai. Materi dipandang sebagai sebuah realitas obyektif yang mandiri dari akal pikiran manusia serta memiliki substansi.

Sementara, materialisme dalam definisinya yang pertama, dapat dibedakan menjadi dua, pertama, Materialisme Mekanik. Materialisme mekanik dapat kita temukan pada kosmologi Newtonian. Simaklah baik-baik bagaimana dengan secara gegabah Newton mendefinisikan alam semesta. Menurutnya, alam semesta ini tak lebih laiknya “mesin mekanik raksasa’ yang tersusun atas komponen-komponen material yang bergerak dan saling terhubungkan secara deterministik. Sederhananya, alam semesta dapat kita bayangkan seperti sebuah jam mekanik raksasa dengan sejumlah besar gigi yang saling berhubungan secara mekanik. Jam ini disetel pada pukul 00.00 melalui Big Bang. Sejak saat itu, nasib seluruh komponen jam telah ditentukan (determined) secara pasti. . Kosmologi mekanik inilah yang membidani lahirnya deisme, utamanya dikalangan para ilmuan. Deisme mengasumsikan bahwa pada galibnya alam semesta diciptakan oleh sang Mahapencipta. Tetapi setelah semuanya selesai tercipta, maka sejak itu pula fungsi dan peran Tuhan atas alam semesta berakhir, untuk selanjutnya berevolusi dengan tunduk kepada hukum-hukum alam semesta itu sendiri. Tuhan tak lagi memiliki “dominasi” dan wewenang apa-apa untuk mengatur dan menata alam semesta.

Kedua, materialisme dialektik. Materialisme dialektik untuk pertama kali dikonseptualisasi secara sistematis oleh Karl Marx (nabinya—dengan n kecil—kaum sosialis). Dengan mengambil teori Dialektika Ideal Hegel, Karl marx mengembangkan gagasan materialisme dialektiknya. Hanya saja, berbeda dengan Hegel yang memandang bahwa dialektika terjadi di alam ide-ide, Marx mengintrodusir bahwa dialektika terjadi di alam material. Sebab, menurut Marx hanya realitas materilah yang obyektif, selain itu tidak. Hingga kini, konsep materialisme dialektik menjadi dasar filosofis ajaran Marxisme dan termasuk varian-varian terkininya.

Kritik Islam ; Menyelamatkan Fitrah Kemanusiaan

Islam sebagai ideologi universal, juga memiliki sistem kosmologi yang lain. Bahkan rangkaian akidah dan ushul dalam ajaran Islam dapat disebut sebagai kosmologi Islam itu sendiri. Sembari mengkritik habis-habisan kosmologi materialisme, Islam menghadirkan sistem kosmologi yang genuine dan memanusiakan.

Beberapa kritik—ini kritik saya yang dhaif—terhadap kosmologi materialisme dapat kami kemukakan berikut : pertama, materialisme menisbahkan bahwa realitas yang obyektif hanyalah yang bersifat material. Sementara Islam memandang bahwa sesungguhnya terdapat realitas obyektif selain yang bersifat material, yakni realitas non-material. Bahkan, realitas non-material inilah yang Mutlak dan menjadi sebab bagi adanya realitas material. Realitas non-material (wajib al-wujud) tidak dapat diinderai, dipersepsi, dan disekat oleh dimensi ruang dan waktu. Ia biasa disebut sebagai Wujud Sederhana yang Meliputi Segalanya. Nah, kelemahan materialisme adalah ketika mendefinisikan bahwa hanya realitas material-lah yang obyektif. Sementara, realitas material diketahui hanya dengan mengandalkan kemampuan inderawi manusia, yang sama kita mahfum, terbatas dan tumpul dalam menjangkau substansi sesuatu serta realitas yang bersifat non-material tadi. Sehingga, karena keterbatasan dan kemaujudannya yang tergantung kepada wajib al-wujud, ia disebut sebagai mumkin al-wujud atau wujud al-wajib karena yang lain.

Kedua, sebagai implikasi dari pengingkaran terhadap eksistensi non-material—termasuk yang ada dalam diri manusia—kaum materialis memandang bahwa perubahan yang terjadi pada diri manusia hanya berlaku secara jasadiah (artifisial, fisikal) an sich. Disinilah kita menemukan bukti keterpengaruhan yang teramat kuat Marx terhadap ajaran evolusionisme Darwin. Sementara, Islam memandang bahwa perubahan juga terjadi pada ranah substansi. Pandangan ini diintrodusir oleh Shadr Al-Din as Syirazi atau lebih dikenal dengan Mulla Sadra, dengan teori utamanya al-Haraqah al-Jauhariyyah (Gerak Trans Substansial). Secara sederhana, jika kaum Marxian berpandangan bahwa yang ada hanyalah realitas aktus, maka Islam melihat bahwa ada pula realitas potensial, di samping realitas aktus. Nah, sesuatu yang bersifat non-material adalah realitas potensial dari sesuatu yang bersifat material.

Ketiga, asal-muasal sesuatu dan perubahan yang dimaksudkan oleh kaum Marxian bertumpu kepada asas dialektika. Sementara Islam, memandang bahwa asal-muasal sesuatu dan perubahan berlandaskan kepada hukum kausalitas. Perubahan pada sebuah benda—misalnya—dipandang oleh kaum Marxian karena terjadinya kontradiksi internal pada benda yang dimaksud. Kontradiksi internal inilah yang kemudian disebut sebagai causa material. Sementara, Islam meyakini bahwa perubahan pada sebuah benda tidak diakibatkan oleh terjadinya kontradiksi internal, melainkan karena gerak material sebagai causa materialnya setelah mendapatkan intervensi secara eksternal. Sebab eksternal inilah kemudian dinamakan sebagai causa efisien.

Keempat, karena kaum Marxian hanya mengakui realitas material sebagai yang obyektif, maka konsekwensi logisnya, hanya pengetahuan empiris-lah yang dipandang absah. Sementara, dalam pandangan dunia Islam kita mengenal beragam macam pengetahuan manusia, seperti ; pengetahuan rasional (filsafat dan ilmu matematika), pengetahuan ta’abbudi (berdasarkan otoritas) dan pengetahuan intuitif (syuhudi).

Demikian, pandangan-dunia materialisme terlanjur membunuh Tuhan atasnama kebenaran ilmiah. Sementara, kebenaran ilmiah hanyalah setetes dari Samudra Ilmu Tuhan yang terpancar dari ke-Mahasempurnaan dan Cinta-Nya yang tiada berperi.

Sesungguhnya kalian tidak akan menemukan sedikitpun kekurangan pada ilmu Allah,
Ilmu Allah tiada sedikit, melainkan banyak. Ilmu kita, ibarat setetes tinta di Samudera
yang Mahaluas lagi Mahadalam.
Dan subhanallah. Maha Suci Allah dari setumpuk persangkaan manusia.

(Gedoeng Joeang Palu, Medio 2003)


Puasa ; Menuju Kesalehan Sosial

”Barang siapa mengharap penjumpaan (liqa) dengan Tuhannya, maka hendaklah mengerjakan amal saleh dan tidak menyekutukan-Nya.” (Qs. Al-Kahfi: 110).

Bagi mayoritas ummat Islam, ibadah puasa, walau telah berkali-kali ditegaskan oleh nabi sebagai jenis ibadah yang berdimensi individual sekaligus sosial, tapi sampai sejauh ini masih diposisikan sebagai suatu ibadah yang an sich berdimensi individual. Artinya, ia merupakan ibadah yang khusus diorientasikan oleh seorang hamba kepada Sang Khalik. Dalam hal ini, puasa ditujukan untuk menggapai pahala dan derajat ketakwaan di sisi-Nya. 

Cara pandang seperti ini, tampak menjadi cara pandang mainstream di kalangan ummat Islam, tidak terkecuali di Indonesia. Mayoritas ummat Islam di Indonesia, menganggap bahwa puasa adalah ibadah individual. Ia tak memiliki kaitan dengan masalah-masalah sosial yang ada. Apalagi mengorientasikan puasa bagi penyelesaian terhadap masalah-masalah sosial, hampir bisa dipastikan tidak masuk dalam cara pandang mainstream itu.

Padahal, cara pandang demikian justru menggiring ummat Islam kepada suatu pemahaman dan sikap keberagamaan yang amat egoistik. Ummat Islam menjadi begitu egoistik dalam beribadah. Ibadah-ibadah apapun yang dilakukan pasti berpusat kepada diri (egocentris). Sebaliknya, sukar terbetik untuk “membagi” dan mengorientasikan kebahagiaan ruhani yang dicapai itu kepada orang lain.

Olehnya, adalah lumrah bila kita temukan dalam bulan ramadhan, orang yang menjadi begitu amat shaleh secara individual, namun bejat secara sosial. Ini pula yang menyebabkan mengapa, kendatipun pada bulan puasa aktivitas ibadah individual seseorang mengalami lompatan yang tajam, namun aktivitas-aktivitas ibadah sosial tetap sepi. Masjid-masjid ramai dikunjungi, tetapi panti-panti asuhan tak mendapat perhatian. Majelis-majelis taklim padat dihadiri oleh jama’ah, namun kaum miskin tetap tak kunjung mendapat bantuan.

DOKTRIN ISLAM

Prof. Dr. Jalaluddin Rakhmat, menyebutkan bahwa sedikitnya ada 5 dimensi yang terkandung dalam sebuah agama. Pertama, dimensi ideologikal. Yakni dimensi yang berkaitan dengan keyakinan akan Tuhan sebagai rabb. Kedua, dimensi intelektual. Agama, di samping sebagai satu sistem keyakinan kepada Tuhan, juga sebenarnya memuat pesan-pesan dan gagasan intelektual.

Ketiga, dimensi spiritual. Spiritualitas adalah dimensi esoterik dari sebuah agama. Ia adalah “jembatan penghubung” antara manusia dengan Tuhan. Keempat, dimensi mistikal. Agama, berbeda dengan ideologi-ideologi antroposentris, mengakui adanya wujud-wujud (eksistensi) lain, di luar wujud-wujud material yang nampak secara inderawi oleh manusia, seperti surga, neraka, alam akhirat, maupun eksistensi malaikat, jin dan lain sebagainya.

Dan kelima, dimensi sosial. Jalaluddin Rakhmat mengungkapkan bahwa setiap agama pasti memiliki dimensi sosial. Dimensi sosial itu berupa ; visi dan cita-cita akan kehidupan sosial yang ideal, keharusan untuk memperjuangkan tercapainya kehidupan sosial yang ideal itu, dan pembelaan terhadap kaum lemah dan terpinggirkan (mustadh’afien). Bahkan dalam Islam, sebagaimana ungkapnya, dimensi sosial inilah yang paling banyak ditekankan. Dalam salah firman-Nya Tuhan menegaskan : “Bukanlah kebaikan itu menghadapkan wajahmu ke barat dan ke timur. Kebaikan itu adalah beriman kepada Allah, hari akhir, para malaikat, kitab dan para nabi. Lalu memberikan harta yang dicintainya kepada keluarga dekat, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, para peminta, para tawanan...” (Qs. al-Baqarah : 177).

Senada dengan itu, Prof. Dr. Fazlur Rahman—seorang intelektual muslim terkemuka dari Pakistan—dalam tafsirnya mengenai peristiwa isra’ mi’raj Nabi Muhammad Saw menyatakan hal yang sama. Ia mengemukakan, sekiranya agama Islam itu adalah agama individual, yang orientasinya adalah semata mengejar kedekatan dengan Allah Swt, maka Nabi pada saat melakukan perjalanan isra’ mi’raj pasti tak bersedia untuk kembali ke bumi lagi ketika telah “bertemu” dengan Allah di sidratul muntaha. Sebab, bukankan pertemuan dengan Allah adalah puncak dari segala pencapaian ruhani seseorang, yang siapa pun pasti menghendakinya ?.

Tetapi kata dia, Islam tidak demikian. Islam bukanlah sekadar agama yang berorientasi akhirat. Islam adalah agama sosial. Olehnya, Nabi tetap kembali ke bumi. Inilah satu-satunya alasan mengapa Nabi bersedia meninggalkan “ekstasi” bertemu dengan Allah, untuk kembali kepada ummatnya. Ia sadar bahwa tugas kenabian bukanlah semata untuk berasyik-masyuk dengan Sang Mahapencipta, melainkan turun dan berjuang untuk mengejawantahkan ajaran-ajaran-Nya dalam kehidupan sosial yang nyata serta membimbing ummat ke jalan yang diridhoi-Nya.

Bagi Nabi, kerja-kerja sosial adalah bagian utama dari misi kehadiran dan diutusnya ia ke muka bumi. Hal yang berlaku sama bagi ummatnya. Menegakkan sistem sosial yang adil, membuka akses dan partisipasi sosial yang seluas-seluasnya kepada masyarakat, serta membela kaum lemah adalah bagian dari kerja-kerja sosial yang harus diemban ummat Islam dalam hidup ini.

Di dalam Islam dikenal suatu prinsip yang disebut dengan al-Mizan. Al-Mizan adalah prinsip yang mengajarkan tentang keseimbangan antara ibadah individual dengan penunaian ibadah sosial, hak individual dengan tanggungjawab sosial. Olehnya, dalam Islam ditegaskan bahwa kebahagiaan di akhirat tidak mungkin dapat dicapai tanpa melakukan kerja-kerja (ibadah) sosial yang nyata dalam kehidupan di dunia. Pun demikian dengan dosa-dosa dan kelalaian sosial yang dilakukan oleh seseorang. Ia akan dihukumi dalam derajat yang berbanding terbalik dengan amal-amal sosialnya.

Menuju Keshalehan Sosial

Menjalankan ibadah puasa secara total berarti memadukan antara ibadah individual dan ibadah sosial. Dengan kata lain, berpuasa berarti memasrahkan diri secara penuh dalam menjalankan perintah Tuhan, dan sekaligus memerhatikan lingkungan sosial.

Inilah ciri sebenarnya dari puasa yang paripurna. Puasa yang paripurna adalah puasa yang dapat memunculkan suatu kesadaran horisontal (kemanusiaan) bagi mereka yang menjalankannya, dalam rangka membangun dan menumbuh-kembangkan kepekaan dan solidaritas sosial di antara sesama manusia.

Ibadah puasa pun berarti kesediaan untuk sejenak mengabaikan kepentingan-kepentingan individu, mengorbankan kekayaan dan kebahagiaan individual, untuk sebuah kehidupan sosial yang egaliter, sejahtera, saling menghargai dan menguatkan. Dengan berpuasa, kita sebenarnya tengah dilatih untuk menenggelamkan diri dalam “kawah latihan ruhani” agar bisa merasai penderitaan yang sehari-hari dialami oleh kaum miskin, seperti rasa lapar, haus dan lemah.

Penenggelaman diri ini penting untuk dilakukan. Sebab kadang hanya dengan cara demikianlah, dapat terbit dari dalam diri seseorang kepekaan dan kepeduliaan terhadap penderitaan orang lain. Dengan turut merasakan bagaimana penderitaan kaum miskin, seseorang diharapkan menjadi lebih bisa bersikap empati, solider, dan peka terhadap penderitaan orang lain.

Apalagi dalam konteks kehidupan dunia dewasa ini, yang kian hari kian permisif. Dimana solidaritas sosial dan perasaan altruisme kian meredup, dan berganti dengan sikap individualistik yang bengis, maka kehadiran akan satu spirit berpuasa yang mensalehkan secara sosial, menjadi begitu amat penting terasa. Ia bisa menjadi antitesa terhadap dominasi cara pandang konvensional dalam berpuasa yang individual oriented dan tak menumbuhkan kepekaan dan solidaritas sosial.

Di samping itu, secara real harus diakui bahwa, kompleksitas persoalan ummat (berupa kemiskinan, pengangguran, dan kebodohan) yang kian menggunung, hanya dapat diselesaikan dengan memfungsionalisasikan ibadah-ibadah semisal puasa, sebagai instrumen utama bagi penciptaan kesalehan sosial dalam diri seseorang. Dalam konteks ini, ajaran puasa harus berhasil ditransformasikan menjadi seruan dan rasa tanggungjawab bagi siapa pun untuk mengatasi masalah-masalah sosiologis ummat secara ikhlas dan sadar, agar kebahagiaan bersama yang menjadi cita-cita dasar Islam, dapat tercapai.

Selanjutnya, kesalehan sosial ini, akan menjadi jalan lempang bagi terbangunnya solidaritas sosial yang sejati serta terhapusnya sekat-sekat sosial di masyarakat. Sekat-sekat sosial itu bisa jadi berbentuk ; pangkat, gelar, jabatan, keturunan dan kekayaan.

(lembah sunyi, 2010)