Jumat, 15 Juli 2011

Spirit Transformatif Puasa

"Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia, menegakkan kebaikan, 
mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah."
(Qs. Al-Imran : 10)

Hampir sebagian besar dari peristiwa-peristiwa agung dalam lintasan sejarah kenabian Muhammad Saw, terjadi pada bulan puasa. Sebutlah Perang Badar. Perang Badar terjadi pada hari Jum’at 17 Ramadhan 2 H di suatu tempat yang bernama Badar. Kala itu, Nabi dan ummat Islam yang hanya berjumlah sekitar 300 orang harus menghadapi pasukan musuh yang jumlahnya jauh lebih banyak, yaitu 1000 orang.

Perang Badar adalah perang pertama kali yang terjadi antara pasukan Islam dengan kaum musyrikin Mekkah. Oleh karena itu, ia sangat menentukan bagi perjalanan ajaran Islam yang dibawa Nabi pada masa-masa selanjutnya. Namun Nabi dan pasukannya akhirnya berhasil membuktikan diri, mereka keluar sebagai pemenang. Kemenangan tersebut, bagi ummat Islam kala itu, menjadi satu sinyalemen kepada orang lain bahwa Islam telah menjelma menjadi satu kekuatan baru yang tak bisa diremehkan.

Di samping perang Badar, peristiwa Fathul Makkah (Pembukaan Kota Mekkah), juga terjadi pada bulan ramadhan. Ini adalah peristiwa yang begitu bersejarah bagi Nabi, karena ia menandai kemenangan ummat Islam untuk merebut kota suci Mekkah dari tangan kaum musyrikin, setelah sekian lama terusir dari sana. Kota Mekkah jatuh ke tangan kaum muslimin tanpa sedikit pun menimbulkan pertumpahan darah. Peristiwa ini terjadi pada 20 Ramadhan 8 H.

Selanjutnya, beberapa peristiwa lain yang juga terjadi pada bulan ramadhan di antaranya adalah persiapan perang khandaq (parit), perang tabuk, dan turunnya ayat suci al-Qur’an. Perang khandaq adalah perang yang ditandai dengan adanya parit. Karena memang Nabi dan ummat Islam waktu itu menggali parit sebagai salah satu strategi untuk menghadapi gempuran musuh. Parit tersebut disiapkan selama bulan ramadhan. Sementara perang Tabuk adalah perang antara pasukan Islam dengan tentara Rum. Perang ini terjadi pada bulan ramadhan 9 H.

Spirit Transformatif

Sejumlah catatan di atas menunjukkan bahwa, betapa peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di masa kenabian Muhammad Saw, justru terjadi di bulan yang agung, bulan ramadhan. Kita bisa menyaksikan bagaimana peristiwa-peristiwa itu, kini menjadi satu torehan sejarah yang amat berarti bagi ummat Islam. Mungkinkah kita dapat memperoleh kegemilangan Islam sebagaimana kini, jika sekiranya perang Badar di masa Nabi itu dimenangkan oleh kaum musyirikin ? Tentu sukar untuk dijawab.

Kita tahu persis, bahwa perang Badar itu adalah tonggak awal bagi sejarah perjuangan ummat Islam. Ia menjadi penentu kemenangan dan harga diri ummat Islam. Hampir bisa dipastikan bagaimana down-nya ummat Islam jika pada waktu itu kalah dari kaum musyrikin. Sebaliknya, dengan kemenangan tersebut menjadikan rasa percaya diri dan kekokohan barisan ummat Islam semakin kuat.

Oleh karena itu, dapat dimengerti bagaimana ummat Islam, walau mengalami kelelahan fisik yang dahsyat (apalagi dalam kondisi berpuasa) ketika itu, tetapi tetap berupaya mati-matian untuk memenangkan peperangan tersebut. Mereka tetap berusaha sekuat tenaga dan tak memedulikan pasukan musuh yang jumlahnya jauh melebihi mereka. Malah, puasa justru sebaliknya, dijadikan sebagai api spirit untuk mengobarkan semangat perlawanan terhadap kaum musyrikin.

Di sini kelihatan, betapa puasa sebenarnya memiliki efek yang amat besar bagi proses transformasi sosial pada suatu masyarakat. Puasa dapat menjadi basis katalisator bagi kebangkitan suatu kaum. Pun demikian, ia dapat mencangkokkan “seperangkat” nilai dalam diri seseorang, yang terbukti sangat efektif untuk mendorong lahirnya proyeksi dan kesadaran untuk melakukan transformasi sosial.

Seseorang yang berpuasa adalah seseorang yang terbentuk untuk menyadari diri dan dunianya. Sementara, kata Muthahhari, kesadaran akan diri dan dunia inilah yang memunculkan tanggungjawab sosial. Seseorang yang menyadari diri dan dunianya, pastilah tergerak untuk berjuang mewujudkan kehidupan sosial yang ideal.

Oleh karena itu, kata Muthahhari, transformasi sosial yang terjadi pada masyarakat atau bangsa manapun sesungguhnya tidaklah digerakkan oleh faktor-faktor lain di luar diri manusia, seperti struktur ekonomi dan politik. Ia berbeda dengan Marx, yang meyakini bahwa setiap perubahan sosial yang terjadi, pasti dideterminasi oleh faktor ekonomi-politik yang berkembang di masyarakat.

Senada dengan itu, Max Weber mengutarakan tesis yang sama dengan Muthahhari mengenai peranan nilai dan diri yang religius dalam terjadinya suatu transformasi sosial. Ia memandang bahwa, nilai-nilai agama yang memanifestasi dalam diri-penganutnya yang religius, sebenarnya memiliki pengaruh yang besar dalam menciptakan transformasi sosial di masyarakat. Keyakinannya itu ia utarakan dalam karya monumentalnya “The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism”.
Apa yang dikemukakan baik oleh Muthahhari maupun Weber tersebut, adalah bukti lanjut bagaimana ibadah-ibadah semisal puasa, yang dijalankan oleh seseorang “bekerja” menggerakan perubahan sosial. Dimensi keshalehan yang menjadi sumbu dasar dari ibadah-ibadah itu, pada akhirnya memunculkan spirit dan tanggungjawab untuk mewujudkan kehidupan sosial yang dikehendaki.

Ibadah-ibadah yang dimaksud, tidak berhenti pada pemujaan belaka. Tidak pula pada rutinitas yang tak berkesudahan. Sebab, keshalehan tidak mungkin melahirkan jiwa yang antipati dan emoh terhadap lingkungan sosialnya. Keshalehan yang demikian, hanyalah keshalehan yang semu. Nabi berkata : “Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya.”

Sebaliknya, keshalehan yang hakiki adalah keshalehan yang transformatif. Jenis keshalehan seperti ini, lahir dari pemahaman yang komperehensif terhadap makna sosial dari ibadah-ibadah. Dan secara praksis, ia mewujud dalam tanggungjawab dan kesadaran untuk melakukan perubahan sosial, terus tanpa henti.

Sayyed Hosein Nasr mengungkapkan bahwa sebuah ibadah, idealnya tidak an sich diorientasikan kepada penunaian perintah Allah Swt secara normatif, tetapi juga sekaligus untuk mencerap dimensi-dimensi esoterik yang termuat di dalamnya. Sebab menurutnya, ibadah, apapun itu, pasti memuat dua dimensi; yakni dimensi formal-artifisial (eksoterik) dan dimensi nilai-nilai, yakni dimensi terdalam (esoterik). Nah, ibadah yang sejati itu, ungkapnya, terletak pada dimensi yang kedua.

Sehingga, berpuasa sebenarnya bukanlah sebatas bagaimana menjalankan syariat (perintah) yang telah ditetapkan oleh Allah Swt, tetapi juga menyangkut bagaimana nilai-nilai kebajikan yang terpancar darinya berhasil dicerap oleh mereka yang menjalankannya, untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sosial yang nyata.

Pun demikian, berpuasa bukan sekedar bagaimana seseorang dapat menggapai makrifat atau kedekatan (taqarrub) dengan Allah Swt, namun emoh secara sosial, melainkan bagaimana power ruhani yang dimilikinya itu dapat menjadi sumber energi dan spirit bagi kemajuan masyarakat disekelilingnya. Atau dengan kata lain, menghadirkan cahaya dan rahmat bagi semua.

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Mercusuar, 5 Agustus 2011)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar