Selasa, 19 Juli 2011

Inilah Ruang Publik Kita !

Banyak kritik yang ditujukan atas kehadiran POROS sebagai sebuah grup diskusi. Mulai dari motif, peran, orientasi hingga efektifitasnya dalam konteks mewujudkan perubahan di Buol.

Masyarakat-manusia adalah entitas yang senantiasa berinteraksi, berkomunikasi maupun membangun jalinan kerjasama dengan orang lain. Dalam masyarakat-manusia kebutuhan terhadap interaksi dan komunikasi merupakan kebutuhan primer. Ia tak tergantikan oleh yang lain. Kebutuhan terhadap hal ini menjadi sedemikian kuat ketika era globalisasi muncul. Di abad ini, tak ada manusia yang bisa hidup dengan cara menutup pintu komunikasi dengan orang lain.

Nah, dalam konteks membangun komunikasi dan interaksi inilah manusia membutuhkan apa yang biasa disebut sebagai ruang publik. Ruang publik adalah arena dimana setiap individu hadir untuk mengkontestasikan gagasan, pikiran, maupun sikapnya. Dalam ruang publik tak ada pembatasan, pendisiplinan. Apalagi penunggalan (homogenisasi). Karena setiap pembatasan adalah tirani.

Dalam wujudnya ruang publik bisa berupa warung kopi, taman kota, mall maupun tempat-tempat (spaces) lain yang bisa menjadi arena pertemuan individu-individu di dalam sebuah kelompok masyarakat. Kini, dengan adanya perkembangan teknologi informasi, jejaring sosial semacam facebook juga menjadi ruang publik baru yang menarik bagi sebagian masyarakat, terutama mereka yang melek teknologi.

Posisi POROS

Saya meyakini demokrasi yang sejati hanya bisa kita temukan di ruang-ruang publik. Selain itu adalah semu. Oleh karena itu, ruang publik menjadi taman yang indah bagi demokrasi. Menciptakan ruang publik yang sehat, berarti menumbuh-suburkan demokratisasi.

Totalitarianisme adalah musuh nyata demokrasi. Oleh karena itu, totalitarianisme tak punya tempat—juga tak bisa dibiarkan hidup—di ruang-ruang publik. Totalitarianisme itu bisa berbentuk apa saja. Bisa berbentuk sistem politik, namun juga bisa mewujud dalam sistem berfikir, bersikap maupun bertindak seseorang.

Dalam konteks inilah sebenarnya POROS hadir. POROS tidak hendak berpretensi sebagai “corong-utama” perubahan. Bagi saya, biarlah POROS menjadi semacam taman bersemainya demokratisasi ; taman dimana setiap kita bisa dengan leluasa menegosiasikan gagasan-gagasan kita tanpa harus merasa takut—apalagi mengalami “kekerasan”—dari siapa pun yang mengamalkan cara berfikir totalitarian.

Bagi saya, ini penting. Perubahan tak bisa tumbuh dari rahim totalitarianisme. Sebab, bukankah setiap perubahan yang lahir dari rahim totalitarianisme pasti melahirkan anak kandung bernama : KEDZALIMAN ?

(Rabu, 20 Juli 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar