Selasa, 19 Juli 2011

Teologi Harakiri

Senin, 28 Mei 2007. Menteri Pertanian Jepang, Toshikatsu Matsuoka, dikabarkan meninggal dunia. Kematiannya terhitung tidak lazim, karena dilakukan dengan cara menggantung diri. Tak banyak orang yang tahu apa motif di balik kematiannya itu. Hanya yang pasti, ia sempat meninggalkan catatan yang berisi permohonan maafnya kepada orang-orang terdekatnya.

Bagi publik Jepang, kejadian tersebut tentu cukup mengagetkan. Sebab, kendati pun bagi masyarakat Jepang fenomena bunuh diri adalah sesuatu yang jamak terjadi, tetapi insiden Matsuoka ini betul-betul di luar dugaan. Banyak kalangan yang tak menduga bila Matsuoka mengakhiri hidupnya dengan cara demikian. Apalagi dalam kondisi, ia sedang berada di puncak karirnya sebagai Menteri Pertanian.

Bunuh Diri Demi Kehormatan

Di tengah teka-teki kematian Matsuoka belum kunjung terjawab oleh publik, beredar kabar bahwa ia melakukan bunuh diri karena mengalami stress dan tak kuasa menahan malu. Ia, oleh sejumlah pihak, dituduh terlibat dalam skandal suap yang nilainya bila ditaksir dengan rupiah mencapai kisaran 2,3 milyar, dari seorang kontraktor. Ia begitu terpukul dengan kasus tersebut, sehingga memilih untuk bunuh diri.

Boleh jadi, nilai uang suap yang diterima Matsuoka tidaklah seberapa. Terutama misalnya, bila dibandingkan dengan kasus-kasus serupa di Indonesia. Di Indonesia, jumlahnya bisa berkali-kali lipat dari yang diterima Matsuoka. Adalah biasa di Indonesia, bila ada seorang pejabat atau elite politik yang menerima suap senilai itu. Belum lagi, dengan kasus-kasus lain, semisal korupsi. Korupsi di Indonesia nilainya bahkan bisa lebih fantastik lagi, mencapai triliyunan rupiah—dengan satu orang pelaku saja. Dan pelakunya tak pernah pernah merasa malu, apalagi bila melakukan bunuh diri.

Tetapi bagi Matsuoka, dan umumnya masyarakat Jepang, ternyata tidak demikian. Di Jepang, suap bukanlah soal jumlah atau besaran uang yang kita terima. Bukan pula soal ia pejabat atau bukan. Melainkan soal harga diri. Bagi mereka, menerima suap adalah satu kejahatan, tak peduli berapa jumlahnya dan siapa pelakunya. Makanya tak heran, bila melakukan suatu kejahatan, mereka acap memilih mati (dengan cara bunuh diri) dari pada harus hidup dalam keadaan menanggung malu.

Dalam masyarakat Jepang, credo ini biasanya disebut sebagai “harakiri”. Ia semacam prinsip yang mengajarkan bahwa “kematian adalah kompensasi terluhur dari perilaku hidup yang tak pantas, bejat dan memalukan”. Ia menjadi credo yang dianut secara konsisten oleh masyarakat Jepang, hingga kini. Ia, lebih jauh lagi, bahkan membentuk sistem kesadaran dan perilaku sosial mereka dalam kesehariannya.

Masyarakat Jepang meyakini, tindakan harakiri sebagai suatu kehormatan. Suatu tindakan yang luhur dan bermartabat. Ia dianggap sebagai credo kaum kesatria (hero—merujuk pada cerita-cerita kuno masyarakat Jepang). Yakni, kaum yang berani menebus dirinya dengan kematian, demi kehormatan diri. Pula, menjadi sebentuk artikulasi dan konkretisasi dari kesadaran diri dan tanggung jawab yang tulus. Olehnya, dalam masyarakat Jepang, tuduhan melakukan tindak suap, korupsi dan lain sebagainya terhadap seseorang tidak disikapi pelakunya dengan cara menteror atau menuntut balik, melainkan bunuh diri, menyerahkan diri kepada pihak berwenang, atau paling minimal, mengundurkan diri dari jabatan yang sedang dipegangnya. Itulah cara mereka mempertanggungjawabkan perbuatan buruk yang pernah mereka lakukan.

Teologi Harakiri : Ke Arah Indonesia yang Bermartabat

Menurut hemat penulis, harakiri bukanlah suatu cermin keputusasaan, atau eskapisme ekstrim. Pun, ia bukan pengingkaran diri atau takdir. Juga, tentu bukan pula kematian yang sia-sia (absurd), sehingga acap dimaklumkan tak patut untuk diratapi. Apalagi pemberontakan terhadap titah Tuhan. Pun demikian, ia bukan pula perbuatan dosa, sebagaimana pandangan teologis mainstream yang dianut oleh ummat Islam.

Ia, sebaliknya justru merupakan sikap jiwa yang kesatria. Suatu moralitas yang positif, moralitas yang religius (morality of religious). Oleh karena itu, secara teologis, harakiri merupakan satu tindakan yang absah-absah saja. Ia sama sekali tidak bertabrakan dengan konsep teologis Islam. Harakiri—sebagai suatu tradisi penebusan atas kejahatan yang kita lakukan—malah justru memberi efek konstruktif bagi upaya pembentukan model dan semangat keberagamaan (spirit of religious) yang pro kebajikan dan keagungan akhlaq.

Sebagai contoh, persoalan yang senada dapat pula kita temukan dalam kasus bom bunuh diri. Dulu, ketika Israel (yang di back up oleh negara-negara sekutu Amerika) mengekspansi Palestina, muncul polemik soal apakah tindakan bom bunuh diri itu absah atau tidak (dalam konteks teologi Islam). Sayyid Husein Fadlullah menyerukan : bom bunuh diri bukan saja absah (halal), melainkan harus—untuk tidak menyebut wajib—dilakukan guna mempertahankan kedaulatan dan harga diri umat Islam. Syekh Yusuf Qardhawi juga berpendapat sama. Bagi Fadlullah dan Qardhawi, dalam konteks demikian bom bunuh diri justru menjadi kebajikan yang ultim (syahadah).

Dalam konteks di atas, Fadlullah dan Qardhawi telah berhasil menyublim tindakan bunuh diri menjadi suatu etos penjagaan atas harga diri ummat Islam. Ia menjadi satu energi sosial ummat Islam yang amat dahsyat. Nah dalam kaitannya dengan harakiri, mari kita bayangkan, betapa bila harakiri menjadi suatu credo, prinsip hidup dan tradisi (nilai) masyarakat Indonesia, yang secara teologis, dipandang inhern atau memiliki basis legitimasi dalam konstruksi teologis Islam—atau sebutlah sebagai teologi harakiri, maka tentu tindak-tindak kejahatan kekuasaan, berupa korupsi, suap, pemerasan dan lain sebagainya, akan dipandang sebagai suatu kejahatan yang mahabesar.

Pun demikian, secara praksis, akan terjadi penurunan indeks tindak kejahatan tadi, secara drastis. Para pejabat tentu tak akan lagi liar menjarah dan sesumbar mencicipi uang rakyat. Mereka akan berpikir seribu kali untuk melakukannya ulang. Pun, kejahatan tak akan lagi “suci” untuk dipuja-puji. Tidak hanya oleh pejabat, melainkan seluruh warga Indonesia. Warga yang konon amat menjunjung tinggi martabat. Ya, tidak lagi. Karena tentu, mereka telah dapat bercermin dari kaca sejarah Matsuoka, sang Menteri Pertanian Jepang itu.

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Mercusuar, Oktober 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar