Kamis, 14 Juli 2011

SYAR’I NGEPOP ; Mungkinkah Menjadi Solusi-Kreatif ?

Apakah makna budaya (culture) bagi manusia ? Adakah ia merupakan unsur fundamental bagi kehidupan manusia ? Tidak kurang, inilah soal-soal yang acapkali mengemuka ketika kita hendak terlibat dalam diskursus mengenai budaya. Oleh para ahli, soal-soal ini kemudian dimasukkan dalam wilayah kajian filsafat budaya. Sementara, soal-soal menyangkut teori, metodologi (pendekatan) dan praktek budaya, dikaji dalam suatu disiplin ilmu yang dalam perkembangannya belakangan ini biasa disebut sebagai cultural studies1.

Dalam perkara pertama, Ali Syariati memberi penegasan atas makna penting budaya bagi manusia. Menurutnya, budaya sebagai keseluruhan dari wajah non-material suatu individu atau masyarakat, sejatinya, merupakan anasir utama dalam pembentukan peradaban (civilitation, tamadduni). Sebab katanya, peradaban tidak lain dari materialisasi budaya. Sebuah peradaban yang tidak dirakit melalui suatu hampiran budaya yang adiluhung (high-culture) niscaya terlahir sebagai peradaban yang rendah, lemah dan tak dapat dibanggakan. Sebaliknya, sebuah peradaban yang lahir dari muara kebudayaan yang adiluhung, pastilah menjadi peradaban besar, agung dan terhormat2.

Senada dengan itu, Murtadha Muthahhari mewartakan budaya sebagai identitas kemanusiaan. Artinya, budaya dalam pengertiannya sebagai artikulasi dari keseluruhan bangunan nalar, kesadaran dan pola sikap manusia, merupakan ciri pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya. Ungkapnya, budaya adalah khas manusia. Ia adalah ekspresi dari keluhuran, cinta, kecerdasan, kesempurnaan, pengetahuan, dan ketulusan manusia. Tanpa budaya, tak layak seseorang disebut sebagai manusia. Tanpa budaya tak ada yang kemudian dapat kita kenali sebagai kemanusiaan3.

Pop Culture ; Sebuah Definisi

Pop culture (budaya pop), sebuah istilah yang amat santer kedengaran di era mutakhir ini. Sebuah istilah yang dilekatkan pada apa saja yang beraroma baru, populer, dan massif : dangdut, fashion, gaya rambut, film, dll. Walau sebenarnya secara genealogi—meminjam kerangka analisis teks Foucoult—kelahirannya bukan nanti sekarang. Ia telah lahir jauh hari sebelumnya. Tercatat sejak bercokolnya apa yang disebut oleh Antonio Gramsci sebagai ideologi dominan dan hegemoni. Sebab, katanya, budaya pop tidak lain adalah konsekuensi logis sekaligus etis dari adanya kuasa ideologi dan hegemoni atas suatu konstruk budaya, cara pandang, dan atau kebiasaan yang dianut oleh kelompok-kelompok sosial tertentu.

Dalam konteks ini, budaya pop dipahami sebagai representasi dari suatu ideologi. Ideologi sebagai seperangkat gagasan sistematis yang berperan mengatur elemen-elemen sosial yang beragam dan mengikatnya menjadi satu4, kemudian bekerja melalui hegemoni—sebuah konsep strategi untuk memberi, mendisiplinkan dan sekaligus melanggengkan makna suatu budaya. Hanya saja, sebagaimana diakui oleh Gramsci, hegemoni bukanlah sesuatu yang taken for granted. Ia hanyalah sebatas kemapanan yang bersifat sementara dan kumpulan aliansi kelompok-kelompok sosial yang diperoleh melalui usaha5. Dengan demikian, ia masih menyisakan ruang negosiasi dan perjuangan bagi kelompok sosial tertentu untuk dapat merepresentasikan dirinya.

Definisi atas budaya pop pun datang dari generasi awal Mazhab Frankfrut, semisal Adorno dan Horkheimer. Mereka menyatakan bahwa budaya pop adalah budaya yang tidak autentik dan bersifat manipulatif karena diproduksi secara instan, untuk tujuan supaya laku dijual (komersial)6. Generasi awal mazhab frakfrut, yang banyak mengambil inspirasi dari ide-ide Karl Marx, menegaskan bahwa produksi kebudayaan tidaklah terjadi secara alamiah, melainkan dideterminasi oleh kepentingan ekonomi-politik suatu ideologi. Fenomena ini kemudian oleh mereka disebut sebagai “industrialisasi budaya”.

Pop Culture dan Kapitalisme Global

Dengan meminjam kerangka analisis Marx di atas, maka diskursus budaya dewasa ini dapat dipastikan amat terkait dengan suatu ideologi besar, yakni kapitalisme. Suatu ideologi yang hingga kini masih begitu digdaya. Ideologi yang disebut-sebut dibangun di atas azas-azas ekonomi individual (swasta), dan menyerahkan sepenuhnya gerak ekonomi kepada mekanisme pasar.

Para peminat cultural studies, semisal Nirwan Dewanto, melihat bahwa kapitalisme bukanlah ideologi yang mewakili suatu watak dan pesan kebajikan, kesederajatan (equality), penghormatan dan keadilan di seluruh lokus kehidupan manusia, sebagaimana diimpikan oleh kebanyakan orang. Kapitalisme tidak lebih dari sebuah ideologi culas, yang mensubordinasi dan menjadikan apapun di bawahnya (the other) sebagai “sapi perahan”. Iya, watak culasnyalah yang menjadikan kapitalisme teramat dibenci orang7.

Sejarah kapitalisme barat adalah sejarah kolonialisasi. Sejarah yang diukir di atas kanvas-buram penindasan dan peminggiran terhadap entitas-entitas budaya non-barat, kata Gayatri Spivak, sang maestro postkolonial dari benua India. Tidak jarang, guna melanggengkan kaki hegemoninya, kapitalisme kemudian mencanangkan : inkorporasi8 dan komodifikasi9. Dua cara yang dengannya kapitalisme tetap berjaya, dan senantiasa memenangkan setiap pertarungan budaya.

Pada gilirannya, sebagaimana ditulis oleh Nuraini Juliastuti bahwa, kapitalisme akan memunculkan dua pola-dasar budaya, yakni budaya konsumen dan budaya komoditas10. Budaya konsumen adalah semacam budaya, kebiasaan-kebiasaan, pola sikap dan pola hidup seseorang yang dibentuk oleh konsumsi atas benda-benda atau produk tertentu11. Sementara, budaya komoditas ditunjukkan oleh ketergantungan, yang kadang melampaui batas akal sehat (common sense), atas suatu benda atau produk12.

Tidak hanya berhenti disitu saja. Konon, visi universalisasi dan homogenisasi (penyeragaman) budaya, sebagaimana diamalkan oleh kapitalisme pada masa-masa sebelumnya dalam menguasai entitas budaya yang lain, kini tidak berlaku lagi. Sebab, kata Nirwan Dewanto, homogenisasi bukan hanya mematikan pasar, tetapi membunuh daya kreasi itu sendiri. Kapitalisme sekarang tengah merakit sebuah strategi baru. Strategi penguasaan yang dilakukan dengan cara melirik local genus dan kemudian mengkapitalisasikannya. Bukankah ini menarik ? Dan lagi terbukti efektif. Dengan merebut “identitas lokal” dari suatu komunitas masyarakat atau bangsa, berarti mencipta sentimen pasar, yang pada muaranya, lagi-lagi menguntungkan mereka (kaum kapitalis).

Mempertimbangkan Khomi Bhaba

Tetapi, terlepas dari semua kontraversi itu, dalam kaitannya dengan budaya pop sebagai suatu wilayah perbincangan mengenai Islam dan Barat, ada satu pertanyaan yang hingga kini terus menggelitik dalam diri penulis. Masih relevankah kita bicara soal itu Iblis dan ini manusia ?. Masih relevankah kita bicara soal mereka Barat dan kita Islam, di tengah kekalahan dan kemunduran yang terus mendera kita, tanpa henti. Masih relevankah kita sekedar memaki-maki kapitalisme beserta sejumlah keculasannya ketika hampir tidak ada lagi celah atau ruang bagi kita untuk merepresentasikan diri ?.

Sekali lagi, bukan hendak mengabaikan prinsip-prinsip umum yang, boleh jadi, bertabrakan secara diametral antara Islam dengan kapitalisme barat dalam wajah budaya pop. Tetapi, dalam hemat penulis, bukankah lebih baik bagi kita untuk berfikir lebih strategis lagi dalam melihat perkara ini, ketimbang menjebak diri dalam suatu arus romantisme semu masa lalu, dan terlebih lagi hanya dapat berani untuk menstempeli ; barat jahat vs Islam baik, barat culas vs Islam adil, dan lain sebagainya. Tanpa dapat memikirkan secara jernih apa yang harus kita lakukan ?

Disinilah kiranya, menurut penulis, relevansi dari tawaran Khomi Bhabha—sang maestro postkolonial yang juga berasal dari benua India, untuk dipertimbangkan. Khomi Bhaba mengajukan apa yang ia sebut sebagai kreolisasi dan mimikri budaya. Suatu konsep strategi kebudayaan yang dimaksudkan untuk menata (memediasi) pola relasi antar budaya. Konsep ini menjadi penting, terutama di tengah kebuntuan dalam menjawab soal-soal yang berkenaan dengan dominasi budaya barat yang kapitalistik atas budaya non-barat.

Konsep kreolisasi berangkat dari analisis Collins atas soal hegemoni, yang diutarakan oleh Gramsci. Collins berpendapat bahwa sebenarnya tidak ada yang namanya hegemoni. Sebab, manusia adalah pelaku sadar (aktif). Manusia, bukanlah makhluk yang menerima begitu saja konstruksi makna-makna atas suatu teks atau pesan (tanda, sign). Tetapi lebih dari itu, manusia memiliki kemampuan untuk senantiasa mereproduksi makna. Sehingga makna ditangan manusia tidaklah bersifat final, stabil, dan definitif. Roland Barthes menyebutnya sebagai sifat polisemis tanda.

Pun demikian mengenai apa yang acapkali diteriakkan sebagai imperialisme kultural. Tidak sedikit dari para peminat cultural studies menolak argumen ini. Sebab, ungkap mereka, pengakuan terhadap imperialisme kultural, berarti pengingkaran atas adanya suatu fakultas kesadaran pada diri manusia. Padahal, kesadaran adalah watak esensial manusia. Argumen ini sekaligus menghempaskan asumsi kaum Marxian bahwa imperialisme kultural, secara praksis, menciptakan kesadaran-palsu (pseudo consscinous).

Nah, kreolisasi yang dimaksud oleh Khomi Bhaba itu adalah : strategi kebudayaan yang dijalankan dengan cara menyerap unsur-unsur kebudayaan yang dominan tetapi mengabaikan makna dibaliknya. Contohnya, bagi masyarakat muslim tidak menjadi soal untuk memanfaatkan sejumlah kemajuan teknologi, katakanlah, berupa hand phone. Hand phone yang pada awalnya, boleh jadi, merupakan alat identifikasi diri, fashion atau pula sebagai asosiasi simbolik (ingat nilai totemistik suatu benda), kemudian diberi makna yang baru. Di sini, hand phone bisa diberi makna sebagai alat dakwah (da’i SMS).

Sementara, mimikri budaya adalah proses peniruan atau peminjaman terhadap unsur-unsur kebudayaan yang lain, tetapi dalam hal ini budaya subordinat menjadi penikmat yang cerdas. Ia dapat berperan ganda : penikmat sekaligus subverstor. Contohnya, menjamurnya para pedagang kaki lima (gerobak) yang menawarkan menu makanan siap saji, sebagaimana Kentucky Fried Chicken (KFC). Di sini makanan siap saji, yang biasa diberi nama Gorontalo Fried Chicken, atau yang lain, menjadi penikmat sekaligus agen subversi atas domninasi KFC. Meniru tetapi sekaligus melawan (counter).

Syar’i Ngepop : Mungkinkah ?

Jadi, bagaimana dengan Islam ? Dapatkan kita meminjam strategi kebudayaan yang diajukan oleh Khomi Bhaba tersebut guna menghadapi dominasi kapitalisme barat ? Bagi penulis, boleh-boleh saja. Dibanding kita harus mengambil pilihan strategi yang sporadis, sebagaimana ditunjukkan oleh sebagian dari kelompok Islam “fundamentalis (tak berwawasan ?)” dengan cara meneror, mengebom, mengintimidasi, dan lain sebagainya, yang justru kontra produktif dengan pesan-pesan luhur ajaran Islam, tampaknya pilihan ini lebih memungkinkan lagi realistis bagi kita. Ya sebutlah, sebagai syar’i ngepop. Sebagaimana tampak dari beberapa ustadz pop kita, yang “memanfaatkan” tidak sedikit dari media massa—baik itu media cetak maupun elektronik atau bahkan SMS—untuk berdakwah, tanpa harus terjebak (atau pusing) dengan alur permainan kapitalisme media. Bukankah ini menarik ? Moga-moga saja.

Footnotes :
1 Cultural studies adalah sebuah formasi diskursif, yaitu “sekumpulan (atau formasi) gagasan, citra dan praktik yang menyediakan cara-cara untuk berbicara tentang, menyediakan bentuk-bentuk pengetahuan dan tingkah laku yang diasosiasikan dengan, suatu topik, aktivitas sosial atau wilayah institusional tertentu dalam masyarakat. Lihat Chris Barker, Cultural Studie ; Teori dan Praktik, Bentang, 2005.
2 Lihat Ali Syariati, Ideologi Kaum Intelektual, Mizan, 1996, dan Tugas Cendekiawan Muslim, Srigunting, 2001.
3 Lihat Murtadha Muthahhari, Perspektif Manusia tentang Agama dan Manusia, Mizan, 1998 ; Fitrah, Lentera 1999. Bandingkan pula dengan pandangan Iqbal dalam Robert D. Lee , Mencari Islam Autentik ; dari Nalar Puitis Iqbal sampai Nalar Kritis Arkoun, Mizan, 2000, dan Sayyed Hosein Nasr dalam Pengetahuan dan Kesucian, Pustaka Pelajar, 1997.
4 Chris Barker, Cultural Studie ; Teori dan Praktik, Bentang, 2005.
5 Ibid.
6 John Storey, Teori Budaya dan Budaya Pop, Qalam Press, 2003.
7 Lihat, Bentara Kompas, 2003.
8 Inkorporasi adalah strategi penguasaan atas kebudayaan yang sub-ordinat dengan cara menyerap unsur-unsur kebudayaan tersebut dan kemudian menghilangkan sifat-sifat perlawananan darinya. Lihat, www. kunci.or.id.
9 Komodifikasi adalah strategi melanggengkan kuasa dengan cara senantiasa memperbaharui atau merestorasi diri. Lihat, www. kunci.or.id.
10 Lihat, www. kunci.or.id.
11 Budaya konsumen dapat di lihat dalam kasus anak-anak punk, atau anak-anak musik yang mengidentifikasikan dirinya pada musisi yang digandrunginnya, atau pula pada penggemar internet (cyber media). Dalam kasus ini, mereka membentuk suatu corak budaya, kebiasaan-kebiasaan, pola sikap dan pola hidup sendiri, yang tidak jarang berbeda dengan orang lain.
12 Budaya komoditas dapat di lihat pada ketergantungan sebagian orang atas HP, produk kecantikan tertentu, makanan ala KFC, dan lain sebagainya.

(Makalah untuk Dialog Budaya dengan tema “Diskursus Budaya dalam Jejaring Pop Culture” 
pada tanggal 11 April 2006 Di Universitas Negeri Gorontalo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar