Kamis, 14 Juli 2011

Drama “Gertak Sambal” Partai Islam

Tiga hari jelang deklarasi Capres/Cawapres yang diusung oleh Partai Demokrat (PD), publik tiba-tiba saja dikejutkan oleh perubahan sikap partai-partai politik Islam. Partai-partai politik Islam, antara lain adalah PKS, PAN dan PPP, tiba-tiba saja mengancam untuk keluar dari koalisi dengan PD.

Ancaman untuk keluar dari koalisi muncul setelah berhembus kabar bahwa yang akan diusung oleh PD sebagai Cawapres adalah Boediono—Gubernur Bank Indonesia, yang juga pernah menjabat sebagai Menko Perekonomian dalam kabinet Indonesia Bersatu—bukan figur dari partai-partai politik tersebut, sebagaimana sebelumnya telah diusulkan kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tidak satu pun dari figur-figur itu yang kemudian dipilih SBY sebagai Cawapres yang akan mendampinginya untuk bertarung pada Pilpres Juli 2009.

Namun, tak lama kemudian terbukti bahwa ancaman dari partai-partai politik Islam itu tidak terjadi. Ini terlihat pada hadirnya tokoh dari partai-partai Islam tersebut pada acara deklarasi pasangan Capres-Cawapres SBY-Boediono di Bandung. Bahkan, PKS yang sebelumnya bersuara sangat lantang menentang pencalonan Boediono juga terlihat pada acara itu. Bagi publik, kehadiran tokoh partai-partai Islam di acara tersebut adalah pertanda bahwa telah terjadi kompromi dan pelunakan sikap mereka terhadap kebijakan SBY—yang konon dilakukan secara sepihak—untuk menggandeng Boediono.

PRAGMATISME POLITIK

Kenapa partai-partai politik Islam tiba-tiba menjadi resisten terhadap kebijakan SBY untuk menggandeng Boediono? dan kenapa pula dalam sekejap sikap mereka tiba-tiba berubah (menjadi lunak) lagi ?. Kepada publik mereka menyampaikan bahwa penolakan mereka terhadap Boediono lebih dikarenakan oleh tidak pasnya figur Boediono untuk mengisi posisi Cawapres. Boediono dianggap amat dekat dengan dengan kebijakan-kebijakan ekonomi neo-liberal. Sehingga kemunculannya dalam bursa Cawapres bisa menjadi ancaman bagi masa depan ekonomi bangsa.

Sepintas, alasan yang dikemukakan oleh partai-partai Islam tersebut adalah benar. Boediono memang merupakan figur yang selama ini diketahui luas oleh publik begitu pro terhadap perspektif dan kebijakan-kebijakan ekonomi neo-liberal. Boediono dipandang sebagai representasi dari kekuatan dan hegemoni neo-liberalisme di Indonesia.

Tetapi saya menduga alasan di balik penolakan terhadap Boediono bukanlah an sich karena ia merepresentasikan kepentingan ekonomi neo-liberal di Indonesia, melainkan lebih karena tidak diakomodirnya interest politik partai-partai Islam oleh SBY. Apatah lagi dengan keinginan PKS untuk mengawinkan figur nasionalis dan agamis, yang menjadi terkendala karenanya.

Bagi saya, alasan yang diajukan oleh partai-partai Islam itu tidak lain adalah kamuflase belaka. Sedikitnya ada dua hal yang dapat ditangkap dari balik inkonsistensi sikap mereka itu. Pertama, melunaknya sikap partai-partai Islam terhadap SBY adalah potret kegagalan dari partai-partai Islam membangun bargaining politik yang lebih baik dengan PD. Partai-partai Islam terlihat tidak berdaya menghadapi dominasi PD dalam penentuan arah dan kebijakan koalisi, serta lebih spesifik lagi konfigurasi Capres/Cawapres.

Padahal sebagai partai menengah (middle party)—yang jika diakumulasi suara ketiganya ditambah dengan PKB mencapai angka 20 persen lebih—mereka memiliki bargaining yang lebih besar untuk menggolkan kepentingan-kepentingan politik partainya kepada SBY. Atau jika tidak, seperti terlihat pada dua hari berturut-turut jelang deklarasi pasangan SBY-Boediono, mereka bisa memilih opsi keluar dari koalisi dengan PD dan membentuk poros baru yang mengajukan pasangan Capres/Cawapres sendiri.

Kedua, begitu kentalnya arus pragmatisme politik yang menghinggapi partai-partai Islam itu. Dari perubahan sikap yang ditunjukkan oleh partai-partai Islam, terlihat jelas bagaimana motif dari penolakan terhadap Boediono bukanlah sesuatu yang bersifat prinsipil, apalagi ideologis. Penolakan tersebut tampak lebih didasari oleh soal bagi-bagi kursi, yang boleh jadi dalam asumsi mereka kurang adil dan menguntungkan partainya.

Sejumlah berita di media massa mengungkap secara tegas mengenai hal ini. Dari berita-berita yang muncul dapat diketahui bagaimana melunaknya partai-partai Islam terhadap SBY setelah dijanji akan diberikan porsi kursi menteri yang lebih besar. Dengan janji itu, partai-partai Islam menjadi tidak bisa berkutik lagi. Mereka tak memiliki alasan dan opsi lain, kecuali melanjutkan dukungan terhadap pasangan SBY-Boediono.

MENGECEWAKAN

Bagaimana pun, politik bukanlah sekedar soal bagi-bagi kursi. Politik bukan pula sekedar soal kalkulasi menang-kalah. Politik berkait erat dengan perjuangan nilai. Di dalamnya ada harga diri, idealisme, visi, eksistensi, dan cita-cita yang harus diperjuangkan. Kesemua itu menjadikan politik merupakan suatu arena perjuangan yang suci. Suatu arena yang menuntut pengorbanan, kesungguhan dan terlebih lagi, keberanian untuk mengambil sikap.

Dalam konteks ini, apa yang ditunjukkan oleh partai-partai Islam di atas, tentu mengecewakan. Kita semua patut kecewa, karena partai-partai yang sesungguhnya menjadi tumpuan harapan untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan ummat, kini malah terjebak dalam arus pragmatisme politik. Kritisisme, konsistensi, dan keberpihakan kepada ummat yang selama ini menjadi ciri dasar partai-partai tersebut, kini terasa hilang.

Tentu sulit kita membayangkan partai-partai Islam ini bisa diharap menjadi “gawang” kepentingan ummat, bila godaan akan kekuasaan sudah terlalu dominan. Sebab, apa pun dalihnya, gejala demikian justru menunjukkan bahwa kekuasaan kini tidak sebagaimana sering mereka sampaikan ke publik, sebagai instrumen untuk menegakkan kebajikan, melainkan telah menjadi tujuan utama.

Saya kira, hingga detik-detik terakhir jelang deklarasi pasangan SBY-Boediono, publik masih berharap bahwa partai-partai Islam ini bisa mengambil sikap yang lebih tegas dan berani terhadap PD. Dengan bersikap demikian, publik berharap bahwa tidak saja bargaining position partai-partai Islam yang tetap terjaga dengan PD, tetapi lebih dari itu, juga sekaligus menyelamatkan harga diri politik Islam.

Hanya saja, apa lacur. Kenyataan berbicara lain. Para tokoh partai-partai Islam itu tetap hadir di acara deklarasi dan mengamini semua “titah” SBY. Sehingga, kini yakinlah publik bahwa ancaman untuk keluar dari koalisi dengan PD yang mereka sampaikan kemarin bukanlah bagian dari sikap konsistensi perjuangan ideologis mereka, melainkan sekedar drama “gertak sambal” semata.

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Mercusuar, 20 Mei 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar