Kamis, 14 Juli 2011

Rontoknya Ambisi Politik Kaum Muda

Pasca pemilu legislatif 9 April 2009, manuver politik sejumlah mantan aktivis dan politisi muda untuk memunculkan kaum muda dalam bursa perebutan kursi Presiden RI akhirnya rontok juga. Padahal sebelumnya, manuver politik yang di antaranya dimotori oleh Fadjroel Rahman (mantan Aktivis Mahasiswa ‘89) dan Yuddy Chrisnandi (Anggota DPR RI dari Partai Golkar), telah mengundang pro dan kontra yang cukup panjang di kalangan elite politik. Bahkan, sebagai akibat dari adanya manuver politik ini, kaum muda kemudian terseret ke dalam posisi vis-a-vis dengan para elite politik yang berasal dari golongan tua.

Rontoknya manuver politik ini—yang berarti pertanda gagalnya kaum muda dalam mengusung figur-figur muda dalam perebutan kursi Presiden—terutama disebabkan oleh ; pertama, masih begitu kuatnya dominasi kaum tua dalam mengendalikan arah dan dinamika politik bangsa. Ambisi politik kaum tua untuk berkuasa yang terlihat masih begitu besar, menjadikan setiap upaya untuk mendorong transformasi kepemimpinan politik nasional yang memungkinkan adanya akses kaum muda ke dalam struktur puncak kekuasaan di negeri ini, menjadi tersumbat. Kaum muda masih tetap sukar mendapatkan ruang, apalagi kepercayaan, untuk menjadi pemimpin bangsa.

Kedua, lemahnya dukungan struktural yang diberikan oleh partai politik kepada kaum muda untuk bisa tampil dalam pentas kepemimpinan politik nasional. Lemahnya dukungan dari partai politik ini memang sudah terlihat sejak awal munculnya manuver ini. Tidak banyak elite partai politik yang meresponnya sebagai suatu langkah yang positif dalam dinamika perpolitikan nasional. Malah sebaliknya, mayoritas dari mereka melihatnya secara sinis dan meragukan kapabilitas kaum muda untuk memimpin bangsa ini. Kaum muda kemudian dipersepsi sebagai orang yang masih minim pengalaman, kurang bijak dan cenderung tidak realistis dalam memimpin.

Dukungan dari partai politik ini kian melemah terutama pasca pemilu legislatif. Hingga sebulan pasca pemilu legislatif, belum kelihatan ada satu partai politik pun yang berani menyodorkan figur muda untuk menjadi calon Presiden. Pentas perebutan kursi Presiden tetap diisi oleh tokoh-tokoh lama yang dari segi usia telah mendekati “sepuh”. Kecuali Prabowo Subianto yang masih terbilang muda, figur-figur lain semisal Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Sultan Hamengkubuwono X, Sutiyoso, Yusuf Kalla dan Susilo Bambang Yudhoyono yang kini tengah gencar melancarkan manuver untuk merebut kursi RI 1 itu adalah tokoh-tokoh yang telah berusia di atas 60 tahun.

Dan ketiga, kurang signifikannya perolehan suara yang berhasil dicapai oleh partai-partai politik yang dipimpin kaum muda maupun yang memiliki komitmen untuk mengajukan figur-figur yang berasal dari kalangan muda sebagai calon Presiden, menjadikan peluang kaum muda untuk bisa tampil dalam pentas kepemimpinan politik nasional kandas di tengah jalan. Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) misalnya, dua partai yang sedari awal berniat untuk mengajukan figur muda seperti Sutrisno Bachir dan Hidayat Nur Wahid sebagai calon Presiden jika perolehan suara partainya signifikan, kemudian terpaksa merubah sikap dan arah dukungan politik ketika mengetahui bahwa ternyata jumlah perolehan suaranya di bawah angka 10 persen (berdasarkan hasil quick count sejumlah lembaga survey).

Preseden Buruk

Tertutupnya ruang bagi kaum muda untuk bisa tampil dalam pentas kepemimpinan politik nasional kali ini, pada dasarnya merupakan preseden buruk bagi bangsa Indonesia—baik itu dalam konteks pergaulan internasional maupun dinamika dan masa depan politik bangsa. Dalam konteks pergaulan internasional kita patut malu. Betapa tidak, ketika dewasa ini muncul kecenderungan yang begitu kuat di negara-negara lain untuk menunjuk pemimpin yang berasal dari kalangan muda, di Indonesia kaum muda justru tidak mendapatkan tempat. Terpilihnya Evo Morales, Hugo Chavez, Mahmoud Ahmadinejad, dan terakhir Barack Obama sebagai pemimpin di masing-masing negaranya, seharusnya menjadi bahan refleksi betapa kaum muda memiliki potensi dan kapabilitas yang tak perlu diragukan lagi untuk memimpin. Bahkan untuk kasus Barack Obama, latar belakang genetiknya sebagai keturunan warga kulit hitam pun tidak bisa menjadi penghalang baginya menuju kursi Presiden Amerika Serikat.

Begitu pun dalam konteks dinamika dan masa depan politik bangsa. Fenomena tertutupnya ruang bagi kaum muda untuk tampil memimpin, menjadi pertanda betapa proses regenerasi kepemimpinan bangsa kini tengah mengalami kemacetan. Terlihat jelas, bagaimana konstruksi politik yang dibangun maupun keberbesaran hati para elite politik tua yang masih amat minim untuk memberikan akses dan dukungan legitimasi kepemimpinan politik nasional kepada kaum muda. Atau dengan kata lain, kaum tua enggan untuk menyerahkan tampuk kekuasaan kepada kaum muda.

Padahal fenomena seperti ini kurang kondusif dalam konteks penyehatan dan re-conditioning politik bangsa. Alih-alih menyehatkan, fenomena ini justru menjadikan proses-proses kompetisi politik yang berlangsung menjadi jauh dari yang diharapkan. Dan, dalam skala panjang bisa meruntuhkan pondasi kultural demokrasi yang fair dan bermartabat, yang sementara digalakkan oleh sejumlah elemen bangsa. Demokrasi politik dapat dipastikan mengalami hambatan yang serius di masa-masa yang akan datang dengan adanya perilaku dan realitas politik demikian.

Fenomena ini juga berimplikasi terhadap penyelesaian pelbagai problem yang tengah melilit bangsa Indonesia. Problem kemiskinan, pengangguran, rendahnya tingkat pendidikan dan ketersediaan sumber daya manusia (human resources) yang handal di tingkat grass roots, tentu tak bisa digantungkan kepada tokoh-tokoh lama. Untuk menyelesaikannya, bangsa Indonesia membutuhkan figur-figur pemimpin muda yang progresif, kapabel, visioner dan berani. Hanya figur seperti inilah yang bisa diharap untuk menyelesaikan pelbagai masalah yang ada tersebut.

Ke Depan

Apa yang menimpa kaum muda di atas, tentu tak bisa terjadi lagi. Semua elemen bangsa sudah harus bisa menjadikannya sebagai bahan refleksi untuk menciptakan kultur demokrasi yang sehat dan fair di masa-masa yang akan datang. Banyaknya kaum muda yang memiliki potensi, peran dan kapabilitas yang memadai, harusnya bisa menyentakkan kesadaran semua pihak bahwa betapa kaum muda juga layak untuk memimpin bangsa ini. Sehingga, jangankan memposisikan sebagai lawan politik, kaum muda justru dipandang sebagai asset bangsa yang perlu untuk dijaga dan ditumbuh-kembangkan.

Pun demikian dengan kaum muda. Kandasnya cita-cita politik kaum muda pada pemilu 2009 kali ini harusnya menjadi tantangan untuk tampil dalam kondisi yang jauh lebih baik lagi pada moment-moment berikutnya. Kaum muda harus terpacu untuk memperbaiki kapasitas diri, meningkatkan kinerja dan peran-peran sosialnya, proaktif dan cerdas dalam mengelola kepentingan masyarakat serta bisa merekonstruksi potensi yang dimilikinya menjadi energi untuk mendinamisasi perubahan dan kehidupan masyarakat.

Dengan cara demikian, bukan mustahil bila ke depan, kaum tua akan dengan sendirinya ditinggalkan oleh masyarakat.

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Mercusuar, 27 April 2009)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar