Kamis, 14 Juli 2011

Tibo Cs Saja Tidak Cukup !

Setelah sempat tertunda dan melewati serangkaian pro-kontra, akhirnya eksekusi tiga terpidana mati kerusuhan Poso; Fabianus Tibo, Dominggus Riwu dan Marinus da Silva, benar-benar dilaksanakan. Jum’at (22/09-2006) dini hari, tepatnya pukul 12.15 Wita, eksekusi tersebut digelar disekitaran bandara Mutiara Palu. Tak banyak yang tahu bagaimana prosesi eksekusi tersebut berlangsung. Yang pasti, setelah itu diketahui Tibo Cs telah meregang nyawa.

Bagi ummat Islam, eksekusi tersebut menjadi momentum yang amat penting lagi bersejarah. Paling tidak karena ; pertama, setelah menunggu selama kurang lebih lima tahun—sejak Tibo Cs disidangkan di Palu—dan sempat didera oleh kekhawatiran akan gagalnya eksekusi tersebut, akibat begitu kuatnya arus penentangan terhadap hukuman mati yang dilakukan oleh sekelompok orang ditambah LSM dan adanya indikasi ketidakberanian pihak Polda dan Kejati Sulteng dalam mengeksekusi, ummat Islam kemudian dapat menarik nafas lega. Kedua, walaupun Tibo Cs terbukti bukanlah merupakan aktor utama (intelektual) dalam serangkaian tindak pembantaian (genocide) terhadap ummat Islam Poso, tetapi mereka turut memainkan peran yang amat strategis, terutama dalam posisinya sebagai aktor lapangan. Dan ketiga, eksekusi ini juga sekaligus menegaskan bahwa secara hukum bukan ummat Islamlah yang menjadi “biang kerok” konflik Poso selama ini, sebagaimana stigma yang berkembang sampai di masyarakat internasional.

“Nasib” 16 Nama

Namun, di sisi lain, eksekusi terhadap Tibo Cs menitipkan sebentuk kekhawatiran baru. Kekhawatiran berupa terkuburnya daftar 16 nama yang disebut-sebut oleh Tibo Cs, sebagai aktor intelektual di balik kerusuhan Poso. Kekhawatiran ini amat kuat terasa, mengingat ; pertama, Tibo Cs adalah saksi kunci yang dipandang mengetahui persis siapa-siapa saja yang menyuruh, mengarahkan, dan menggerakkan mereka untuk melakukan tindak kejahatan kemanusiaan tersebut. Sesuatu yang mustahil hanya dilakukan oleh Tibo Cs saja. Apalagi untuk ukuran Tibo Cs, yang kemampuan nalar dan wawasannya boleh dikata “pas-pasan”. Sehingga mustahil untuk merakit sebuah skenario kerusuhan, yang menurut banyak saksi korban, dilakukan secara rapi, sistematis dan terkomando.

Yang kedua, semakin diragukannya political will pihak kepolisian dalam mengungkap keterlibatan 16 nama yang dimaksud. Setelah sebelumnya, di awal menjabat sebagai Kapolda Sulteng, Brigjen Oegrosoeno (mantan Kapolda), pernah mengumbar janji untuk mengusut tuntas keterlibatan 16 nama, kini perkara tersebut menguap begitu saja. Pun demikian dengan Kapolda baru, nyaris belum ada gebrakan baru yang dibuatnya dalam kaitannya dengan proses hukum atas 16 nama itu.

Padahal hal itu, amat mendesak untuk dilakukan. Sebab, ia menjadi kunci guna menjawab teka-teki di balik kerusuhan Poso semenjak tahun 1998. Di samping tentunya, juga menjadi bagian dari agenda penyelesaian konflik Poso secara permanen. Penyelesaian konflik Poso, sejatinya tak dapat dilepaskan dari penegakkan hukum terhadap ke-16 nama tersebut. Pembiaran terhadap mereka hanya akan mencederai rasa keadilan dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Terlebih bagi mereka yang sedari awal merasa bahwa Tibo Cs hanyalah menjadi “tumbal” dari skenario kejahatan yang dilakukan oleh elite-elite agama dan politik tertentu.

Agenda ke Depan

Perlu ditegaskan lagi, bagaimana pun proses hukum terhadap ke-16 nama tersebut tak boleh berhenti di tengah jalan. Tak boleh berhenti hanya karena telah berhasil mengeksekusi Tibo Cs. Apalagi jika sampai menganggap bahwa eksekusi Tibo Cs adalah titik final dari serangkaian upaya penyelesaian hukum atas sejumlah masalah di Poso. Dalam hal ini, citra dan martabat penegak hukum akan dipertaruhkan. Apakah betul-betul memiliki political will yang dapat diandalkan atau tidak ?.

Selanjutnya, pengembalian hak-hak perdata masyarakat yang terampas akibat kerusuhan juga menjadi agenda penting ke depan (pasca eksekusi Tibo Cs). Sebab, hingga kini hal tersebut—yang menjadi salah satu point dalam Deklarasi Malino—belum sepenuhnya terealisasi. Padahal, tidak sedikit masyarakat yang kemudian harus menanggung derita dan atau tak “tertarik” untuk kembali lagi ke Poso sejak mengungsi, karena telah kehilangan harta bendanya.

Pasca eksekusi Tibo Cs, pemerintah dituntut untuk dapat berperan kembali dalam merealisir hasil-hasil kesepakatan Malino tersebut. Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan cara merefungsionalisasi Pokja Poso yang dibentuk beberapa tahun silam. Atau jika tidak, membentuk suatu lembaga baru—apa pun namanya—yang menghimpun segenap stakeholder, guna; pertama, mengupayakan dan menjamin terealisasinya pengembalian hak-hak perdata masyarakat secara benar dan adil. Masyarakat mutlak mendapatkan kembali hak-haknya, tentunya berdasarkan bukti kepemilikan yang kuat dan sah secara hukum.

Kedua, mengupayakan terciptanya iklim yang kondusif di Poso pasca eksekusi Tibo Cs. Sebagaimana diketahui, di samping menimbulkan gejolak sosial di NTT, eksekusi Tibo Cs juga telah mengobar api kemarahan masyarakat Tentena. Pokja Poso atau lembaga baru yang dibentuk, berperan untuk meredam api kemarahan tersebut—melalui pendekatan persuasif dan dialogis—sebelum akhirnya meluas menjadi konflik yang eskalasinya jauh lebih besar.

Dan ketiga, mendorong terjadinya rekonsiliasi sejati di antara penganut agama di Poso dan penghormatan atas setiap keputusan hukum. Masyarakat harus di”paksa” untuk merefleksi dan menyadari bahwa dendam, permusuhan dan konflik tak pernah membawa manfaat. Sehingga tidak ada satu pun alasan untuk memeliharanya. Pun demikian, harus dinyatakan pula bahwa vonis hukuman mati terhadap Tibo Cs, sesungguhnya merupakan keputusan hukum yang tidak dijatuhkan begitu saja, melainkan berdasarkan kepada bukti-bukti obyektif hukum di lapangan.

Upaya ini kiranya penting untuk dilakukan sesegera mungkin dan Pemerintah harus benar-benar serius dalam mewujudkannya. Momentum eksekusi Tibo Cs ini, harus dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemerintah untuk merealisir agenda-agenda strategis di atas ke dalam bentuk kerja-kerja konkret. Tidak sebaliknya, justru membuat pemerintah diam berpangku tangan. Dan membiarkan masalah-masalah di Poso terus mengendap menjadi kompleksitas persoalan yang tak dapat diurai lagi.

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Info Baru, 7 Oktober 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar