Kamis, 14 Juli 2011

Alumni HMI dan Korupsi ; Merobohkan Tiang Moral Bangsa

Akhir-akhir ini, rumor seputar korupsi, kembali mendera tubuh HMI. Pasalnya, sejumlah nama yang kini diduga terlibat dalam kasus korupsi—baik itu dalam skala nasional maupun lokal—melibatkan nama-nama mantan aktivis HMI di masa kuliahnya. Di Sulawesi Tengah misalnya, dua dari tiga pejabat Bupati dan satu pimpinan sebuah Perguruan Tinggi yang tengah diperiksa dalam kaitannya dengan kasus korupsi tersebut, tercatat sebagai alumni HMI.

Fenomena ini tentunya menjadi amat menarik untuk dibincangkan, paling tidak karena ; pertama, kasus ini terjadi pada saat bangsa tengah berupaya untuk dapat bangkit dari krisis-multidimensional yang tiada kunjung selesai, terhitung sejak diterpa krisis moneter di penghujung tahun 1997. Sementara, oleh sebagian pengamat ekonomi, korupsi dipandang sebagai salah satu variabel yang turut memperparah situasi krisis tersebut, kalau bukan penyebab utamanya.

Kedua, pula, korupsi ini dilakukan ketika bangsa Indonesia tengah mengalami derita akibat bencana alam—baik gempa bumi maupun banjir—yang seakan tanpa henti menyapu sendi-sendi kehidupan dan ekonomi masyarakat. Korupsi, dalam hal ini, tentunya menjadi ironi tersendiri bagi para mantan aktivis HMI yang dikenal solider dan cinta sesama. Betapa tidak, kala sebagian besar masyarakat korban bencana dan banjir hidup dalam kelaparan akibat kekurangan pangan, alih-alih membantu, mereka justru tega-teganya mengkorup uang negara untuk dimamah sendiri.

Dan ketiga, HMI adalah salah satu organisasi kemahasiswaan tertua di Indonesia yang memiliki jumlah kader yang amat banyak. Sebagai organisasi tertua—berdiri 5 Februari tahun 1947—lagi memiliki jumlah kader yang banyak, tentunya tidak sedikit dari kader-kader tersebut yang setelah menjadi alumni HMI kemudian menduduki posisi-posisi strategis di berbagai institusi pemerintahan. Nah, jika sekiranya karakter, kecenderungan dan perilaku dominan dari alumni HMI sukar dilepaskan dari hal-hal yang telah diutarakan tadi, maka pastilah korupsi di negara ini tengah terjadi secara massif.

Fenomena ini, dengan demikian, tentunya bukanlah sesuatu yang sepele. Apalagi haram untuk dibincangkan. Pun, tak dapat dianggap sebagai urusan internal HMI. Yang olehnya hanya patut dibincangkan di lingkungan HMI dan oleh kader-kader HMI saja. Sama sekali tidak. Perkara ini sesungguhnya merupakan milik publik. Mengingat ekses yang ditimbulkannya telah jauh merambat ke domain publik. Kasarnya, publik wajib mengetahuinya karena telah amat banyak rakyat yang dirugikan oleh ulah para mantan aktivis HMI ini.

Gagalnya “Ideologi” HMI-isme

Dalam berbagai diskusi di HMI-MPO, pertanyaan seputar hal tersebut juga tak henti-henti mengemuka. Misalnya, apa kira-kira yang menjadi akar penyebab persoalan di atas ? mengapa mereka-mereka yang pernah ditempa bertahun-tahun di dapur perkaderan dan perjuangan HMI, tiba-tiba seakan tanpa dosa melakukan tindakan-tindakan yang bertabrakan secara diametral dengan idealisme HMI ? mengapa pula mereka-mereka yang dahulunya begitu idealis, kritis dan menjadi “penyambung lidah rakyat”—meminjam istilah Soekarno, kemudian berbalik menikam rakyat ?

Seingat penulis, sebelumnya pertanyaan-pertanyaan serupa juga sempat mengemuka. Sekedar contoh, pada tahun 2002, ketika HMI-MPO Cab. Palu menggelar diskusi dengan Jalaluddin Rakhmat. Saat itu, Kang Jalal mensinyalir penyebab dari masalah tersebut tidak lain adalah apa yang disebutnya sebagai HMI-isme. Ia mengutarakan, dulu di tahun 1970-an di HMI sangat berkembang “ideologi” HMI-isme itu. Yakni suatu paradigma yang meyakini bahwa negara-bangsa Indonesia ini hanya dapat berubah (dari keterpurukan) dengan cara : kader-kader HMI menyelusup masuk ke kantong-kantong kekuasaan dan kemudian melakukan perubahan dari dalam (change from within).

Dengan berbekal paradigma inilah, kemudian kader-kader HMI beramai-ramai merebut “kursi” di berbagai institusi pemerintahan—baik itu eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dan tanpa memakan waktu yang lama, akhirnya kader-kader HMI berhasil melakukannya. Klimaksnya, HMI menjadi semacam gurita yang berhasil mencengkeram semua lini kekuasaan, tanpa bisa dihalangi.

Namun, masih kata Kang Jalal, pada gilirannya justru di sinilah titik persoalannya. Ketika kekuatan kader-kader HMI di lingkaran kekuasaan telah begitu menggurita, mereka justru kehilangan visi of change yang sebelumnya pernah menggelora di dada. Belum lagi, di tambah hilangnya moral control of organization, maka jadilah kader-kader HMI ibarat macan ompong. Tak dapat berbuat apa-apa, kecuali larut dalam gempita kekuasaan yang “meninabobokan”.

Senada dengan itu, Nucholish Madjid, mantan Ketua Umum PB. HMI 1966-1971, menyatakan bahwa keterlibatan para mantan aktivis HMI ini dalam berbagai kasus korupsi di Indonesia menjadi indikasi kuat kegagalan perkaderan HMI. Oleh beliau, perkaderan HMI dinilai gagal dalam mencetak kader-kader bangsa yang memiliki komitmen terhadap azas-azas luhur kebenaran, integritas moral, dan visi ideal kebangsaan dan kerakyatan. Bahkan katanya, sebagaimana diwartakan oleh Media Indonesia, 14 Juni 2002, jika perlu HMI dibubarkan saja.

Merobohkan Tiang Moral Bangsa

Tanda-tanda terjadinya pergeseran semangat, kultur, mentalitas dan paradigma kader HMI—sebagai bagian dari kegagalan perkaderan HMI secara umum—sesungguhnya telah menggejala sejak lama. Setidaknya, sejak terjadinya polarisasi di tubuh HMI. Sehingga, tidak sebagaimana asumsi sebagian kalangan, bahwa polarisasi tersebut hanya terkait dengan adanya pemaksaan paket azas tunggal (astung) oleh rezim Orde Baru. Melainkan—sebagaimana diyakini oleh kader-kader HMI-MPO—juga sangat bertalian dengan mulai terjadinya pergeseran semangat, kultur, mentalitas dan paradigma di kalangan kader HMI.

Kasus korupsi, yang kini tengah menjerat tiga alumni HMI di Sulawesi Tengah, tidak lain adalah buah dari terjadinya pergeseran semangat, kultur, mentalitas dan paradigma yang dimaksud. Ibarat kata pepatah “siapa menanam, ia menuai hasil”. Hari ini HMI mencetak kader yang salah, esok akan menuai kejahatannya.

Terlebih lagi, jika benar asumsi penulis di awal tulisan ini, maka dapat dipastikan akan lebih mengkhawatirkan lagi. Sebab, ia bukan perkara satu atau dua orang saja, tetapi melibatkan banyak orang. Dengan kata lain, ia merupakan pola umum mentalitas para alumni HMI yang berada di lingkaran kekuasaan. Suatu perkara yang tak dapat dikata gampang atau meminjam istilah Gus Dur, “gitu aja kok direpotin”.

Tidak itu saja. Ini juga mengkhawatirkan, karena ia sekaligus menjadi problem bagi bangsa ini. Problem berupa ambruknya satu tiang moral bangsa. Siapa yang memungkiri peran HMI dalam dinamika pemajuan kehidupan bernegara-bangsa, yang sampai mengundang decak kagum tokoh bangsa, semisal Jenderal Soedirman, sehingga ia menyebut HMI sebagai Harapan Masyarakat Indonesia. Atau dedikasi HMI, dalam posisinya sebagai satu kekuatan sosial independen yang kritis dan penjaga “gawang” moralitas bangsa, yang teruji amat membantu Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan RI, mengawal transisi Orde Lama menuju Orde Baru, dan untuk kasus HMI-MPO menggulingkan tirani Orde Baru.

Iya. Tapi sayang, kesemuanya itu kini harus sirna. Karena sebagian alumni HMI telah “memilih” merobohkan tiang moral itu, dengan perilaku korupnya.

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Info Baru, 5 Agustus 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar