Kamis, 14 Juli 2011

Serakah Di Luar Batas

Heboh seputar hilangnya (tepatnya : pencurian) beras sejumlah kurang lebih 114 ton di gudang Bulog Tondo dan 423 ton di Bulog Banggai, baru saja usai. Dari seorang kawan wartawan saya mendengar bahwa kasus ini terkuak setelah ada rencana dari pemerintah untuk melakukan operasi pasar guna menekan harga beras yang kian melambung tinggi. “Ketika hendak digelar operasi pasar barulah diketahui bahwa stok beras yang ada berkurang sebanyak berton-ton”, ujarnya kepada saya.

Atas kasus ini, kemudian DPRD Provinsi Sulteng menggelar hearing dengan jajaran pejabat yang bertugas di BUMN tersebut, yang kemudian berakhir dengan tercapainya kesepakatan bahwa mereka-mereka (sindikat) yang terlibat dalam kasus pencurian tersebut dikenakan “sanksi” untuk membayar kerugian sejumlah beras yang hilang itu. Dan selebihnya dianggap tidak ada lagi persoalan. Bagi para “wakil rakyat” itu, mungkin penyelesaian (secara politik) ini adalah solusi yang paling baik lagi “aman” bagi semua pihak. Toh, tidak ada yang dirugikan dengan kasus ini, apalagi mereka bersedia untuk menggantinya. Kalaupun ada, kan hanya negara. Bukan saya, anda, atau orang lain. Sehingga—meminjam istilah Gus Dur, ngapain repot-repot mempermasalahkannya.

Pun demikian, bukankah ini hanyalah perkara yang biasa saja. Dalam realitas sosial politik negara kita—sebagaimana kini—kasus ini tak lebih menarik dari skandal penyaluran “mesin libido” (machine libido) yang tak lazim, hedonisme liar, dan tawar menawar nasib rakyat di meja judi, yang dimaklumkan para pejabat kita akhir-akhir ini, yang tentu lebih menggelitik nurani dan akal sehat (common sense) kita. Dan toh, tidakkah kita juga mahfum bahwa, sekiranya dilanjutkan ke proses hukum, seperti jamak terjadi, belum tentu berbuah keadilan. Ya, sanksi hukum yang adil dan setimpal. Maka lantas apa signifikansinya untuk meributkan masalah ini.

Kejahatan Sosial

Bagi sebagian orang boleh jadi demikian. Alasannya, sejarah memang acap mengajarkan kepada kita bahwa kekuasaan memiliki titik singgung dengan praktek-praktek memalukan itu. Di dunia kekuasaan, antara bermoral atau tidak, baik dan bejat, maupun jujur dan dusta, sangat tipis perbedaannya. Dulu, di era Orde Baru misalnya, kita diberitahu bahwa tidak ada praktek korupsi. Sebab, semua tindak korupsi dimanipulasi menjadi sekedar kesalahan prosedur-administratif. Akibatnya, kini kita menjadi skeptis dan emoh dalam melihat realitas sosial politik yang ada. Sehingga, kalau muncul fakta demikian, kita menganggap ada baiknya dibiarkan saja. Berlalu ditelan roda waktu.

Tapi tidak bagi saya. Saya menganggap ini adalah perkara besar yang harus kita ributkan. Bahkan jauh lebih menggelisahkan dari skandal seks atau judi berjamaah yang tengah melilit beberapa elit politik kita. Sebab ia adalah korupsi. Dan setiap korupsi, apa pun bentuknya, adalah kejahatan. Kalau skandal seks atau judi berjamaah hanya berkaitan dengan raibnya moralitas-etis dari jantung kesadaran pejabat yang melakukannya, yang kemudian menjadi sebab bagi tamatnya karir politik atau tercorengnya reputasi seseorang, maka kasus pencurian beras ini adalah kejahatan. Tepatnya, kejahatan sosial—suatu bentuk kejahatan yang bertalian, atau berimplikasi pada timbulnya kerugian secara sosial (publik).

Dan secara teoritik memang, suatu perbuatan didefinisikan sebagai tindak kejahatan manakala ia memiliki implikasi secara sosial. Katakanlah ada pihak yang dirugikan dengan perilaku atau tindakan tersebut. Bila tidak, maka soal itu hanya berkenaan dengan masalah moral-etik personal saja, yang pantas atau tidak secara politik, agama, maupun sosio-kultural untuk dilakukan oleh seseorang—baik itu dalam posisinya sebagai warga negara biasa atau apalagi pejabat publik. Walaupun, sanksi, stigma atau perlakuan sosial yang dipikul oleh para pelaku atas kedua bentuk tindakan itu kadang kala adalah sama.

Di Luar Batas

Kasus ini menjadi lebih menyentakkan lagi karena mencuat justru pada saat; pertama, masyarakat, terutama yang beragama Islam dan Kristen, tengah menghadapi perayaan Natal, Idul Adha dan Tahun Baru. Tiga momentum yang sangat penting dan berharga bagi kedua penganut agama Ibrahimik itu. Sementara, kita sama tahu, bahwa jelang hari-hari penting semacam ini, biasanya kebutuhan terhadap beras meningkat tajam, yang tentu berdampak pada harga yang ikut melambung pula. Suatu kondisi yang bahkan mengundang keprihatinan Presiden R.I (Bapak Susilo Bambang Yudhoyono), sehingga ia menginstruksikan untuk menggelar operasi pasar.

Kedua, beberapa bulan terakhir atau bahkan sering, Indonesia mengalami krisis beras. Adalah biasa kita temukan, pasar-pasar tradisional yang mengalami kekurangan stok beras akibat pasokan dari petani yang menyusut drastis. Sehingga, walaupun problematis dan tidak jarang mengundang kontroversi—biasanya pemerintah mengambil kebijakan untuk mengimpor beras sebagai langkah penyelesaian bagi krisis tersebut. Di tingkat masyarakat grass roots, biasanya kesulitan pangan ini disiasati dengan cara “mengencangkan ikat pinggang”, mulai dari mengurangi tingkat konsumsi beras hingga mencari makanan alternatif agar tetap dapat bertahan hidup.

Bercermin pada kondisi seperti di atas, tindakan sindikat pencuri beras tersebut, dapat dipandang sebagai kejahatan yang mahabesar. Kejahatan yang jauh lebih menakutkan dari pada tindak perampokan para gangster, yang acap kita saksikan di layar televisi. Dalam hal ini, sebagai abdi negara, mereka tidak saja menunjukkan hilangnya rasa tanggung jawab dan kepedulian (sense of crisis) terhadap berbagai problema yang tengah mendera bangsa, melainkan lebih dari itu, menciderai dan membahayakan kelangsungan hidup masyarakat banyak. Secara personal pun, mereka adalah orang-orang yang serakah, tamak dan tak puas-diri. Tega mengail keuntungan di saat masyarakat tengah tercekik.

Rumi menyebut orang-orang demikian sebagai manusia merak. Suatu bentuk personifikasi terhadap orang-orang yang amat serakah, yang bahkan berada di ambang batas. Urai Rumi, para manusia merak adalah orang-orang yang saban hari sibuk mengumpulkan harta guna mengisi pundi-pundi kekayaannya, tak peduli dengan cara apa pun. Tak peduli pula, walau disekelilingnya terdapat orang-orang yang hidup menderita. Yang harus banting tulang untuk sekedar membeli beras satu atau dua liter.

Tidak hanya itu. Karena mereka mempunyai harta yang banyak, maka mereka bisa berlaku sewenang-wenang. Dan sudah pasti kebal hukum. Melakukan tindakan apa pun tak bisa dijerat oleh hukum. Lembaga sekaliber DPRD sekalipun tak dapat berbuat banyak. Maka Jalaluddin Rakhmat memberi pesan, sekiranya kalian menemukan fakta demikian—terlebih jika anda bukan polisi, hakim atau jaksa yang memiliki kewenangan untuk menghukum mereka—maka cukuplah anda menjadi seorang Abu Dzar. Seorang lelaki bersuara parau, sahabat Nabi yang suci, yang tetap konsisten walau sendirian, mengingatkan Muawiyah akan harta dan kedzalimannya. Ya, cukuplah anda mengingatkan mereka, sebagaimana Abu Dzar dulu mengingatkan Muawiyah dengan kata-kata : “Tidak takutkah engkau akan tibanya suatu masa, dimana engkau datang menawarkan bantuan kepada orang-orang miskin tetapi mereka menolaknya, sembari berkata, “kami tidak butuh bantuanmu, yang kami butuhkan adalah darahmu”. Sungguh dengan cara demikian, ujarnya, anda sejatinya telah menjadi polisi, hakim atau jaksa bagi keadilan. Keadilan yang hakiki.

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Mercusuar, 26 Desember 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar