Kamis, 14 Juli 2011

Pilkada dan Pragmatisasi Politik

Tak lama lagi, di dua Kabupaten di Sulawesi Tengah akan diselenggarakan pilkada. Dua kabupaten tersebut adalah Donggala dan Parigi Moutong. Bagi dua daerah itu, pilkada kali ini, sesungguhnya merupakan pilkada yang pertama kali diselenggarakan secara langsung—dipilih oleh masyarakat secara langsung, bukan lagi melalui sistem perwakilan DPRD.

Fenomena pilkada yang akan berlangsung di dua daerah tersebut kiranya menarik untuk dicermati, terutama karena akhir-akhir ini pilkada di sejumlah daerah di Indonesia melahirkan semacam paradoks demokrasi. Ada sederet pilkada, yang di satu sisi memberi harapan akan terjadinya transformasi sosial-politik-ekonomi di daerah tersebut, namun di sisi lain, tak kalah kurangnya menitipkan kekhawatiran akan menguatnya gejala demokrasi yang mengalami deviasi akibat melegalisasi dan menjadikan kekerasan sebagai instrumen pencapaian kepentingan politik.

Politik Unimplicated

Ada banyak catatan yang dapat kita ambil dari pilkada di daerah-daerah lain di Indonesia. Salah satunya tentu adalah apa yang telah disebutkan di atas. Tapi, di samping itu, soal lain yang juga patut untuk diteropong secara lebih serius adalah masih begitu besarnya prosentase golput dalam pilkada-pilkada yang dimaksud. Di Jawa Barat dan Sumatera Utara misalnya, pada pilkada Gubernur/Wakil Gubernur beberapa waktu yang lalu, prosentase golput terhitung relatif besar (mencapai 30-40 %).

Kasus pilkada di daerah itu—dan tentu di beberapa daerah lain yang juga menunjukkan gejala yang serupa—menjadi gambaran betapa sinisme dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap agenda-agenda pilkada masih terhitung besar. Dan sialnya, semakin hari, gejala tersebut kian mengalami peningkatan atau paling tidak, konstan. Sinisme dan ketidakpercayaan masyarakat tersebut tidak hanya tertuju kepada figur-figur yang berkompetisi dalam pilkada, melainkan pula kepada agenda pilkada itu sendiri. Hasil penelitian Institute for Indonesia Democracy (Insead) Jakarta tahun 2008 misalnya, menunjukkan betapa variabel yang dominan mempengaruhi minimnya tingkat partisipasi masyarakat dalam sejumlah pilkada adalah ketidakpercayaan terhadap figur dan pilkada sebagai instrumen artikulasi dan pencapaian cita-cita politik rakyat.

Yudi Latif (Kompas, 4/2/08) menyebut bahwa sinisme masyarakat terhadap pilkada muncul karena masyarakat tidak merasakan apa manfaat pilkada bagi mereka. Manfaat tersebut terutama berkaitan dengan peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. “Masyarakat menjadi sinis karena, mereka tidak menemukan adanya paralelitas antara pilkada dengan kesejahteraan ekonomi mereka, “ ungkapnya. Yang ada adalah masyarakat senantiasa menjadi “sapi perahan” politik, yang didekati, dilibatkan dan diperhatikan aspirasi dan kepentingannya ketika menjelang moment-moment pilkada. Namun sesudah itu tidak.

Dan fenomena demikian, jika ditelusuri, memang tidak hanya bersifat kasuistik saja, tetapi tampak menjadi kecenderungan umum dinamika politik yang berkembang. Mainstream kultur dan perilaku politik elite kelihatan masih tetap belum bergeser ke arah yang lebih baik—berorientasi “melayani” (services oriented). Apalagi, memberi jaminan dan ruang partisipasi masyarakat dalam proses penentuan kebijakan publik pasca pilkada atau naiknya seseorang ke tampuk kekuasaan, yang hampir bisa dipastikan tidak ada.

Pragmatisasi Politik

Sinisme masyarakat terhadap agenda-agenda pilkada harusnya di lihat sebagai sebuah defisit demokrasi. Artinya jika demokrasi dimaknai sebagai instrumen pencapaian cita-cita dan penegakkan kedaulatan politik rakyat, maka minimnya partisipasi politik rakyat di pilkada-pilkada mestinya menjadi pertanda bahwa demokrasi kita sedang sakit, atau mengalami apa yang disebut oleh Yasraf A. Pilliang sebagai involusi demokrasi. Sehingga, ke depan pelibatan masyarakat dalam event-event pilkada bisa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari misi-besar pensuksesan agenda tersebut.

Demikian pun, pola politik patron-client dalam konteks relasi elite dengan massa rakyat yang selama ini menjebak masyarakat kepada “figurisasi” terhadap tokoh-tokoh politik tertentu—yang kemudian justru mengecewakan—kiranya harus segera diakhiri. Dalam konteks personal, figurisasi boleh jadi menguntungkan bagi para elite politik yang akan dan sedang berkuasa, namun belum tentu menguntungkan bagi publik secara luas. Begitu pun, dalam konteks pembangunan dan kontinuitas demokrasi ke depan, kiranya tidak mendewasakan masyarakat secara politik.

Hal ini kiranya penting untuk disadari. Oleh karena itu, kami kira, langkah pragmatisasi politik dalam pilkada bisa menjadi satu alternative action dalam menjawab persoalan ini. Problem figurisasi politik harus dijawab dengan langkah mendorong pragmatisasi politik kepada publik (konstituen). Pragmatisasi politik yang dimaksud tentu adalah suatu situasi dimana sikap dan pilihan-pilihan politik masyarakat bersandar bukan kepada figuritas, melainkan kepada program-program politik dan ekonomi yang ditawarkan oleh seseorang. Bukan pula, karena ikatan partai, agama, suku, dan apalagi kekerabatan (primordialisme-sempit).

Sebagai sebuah wacana, pragmatisasi politik berarti pilihan sikap (politik) yang berorientasi program. Namun sebagai sebuah manifesto, pragmatisasi politik berarti suatu gerakan massifikasi kesadaran politik masyarakat untuk menjadi lebih kritis dalam menentukan pilihan-pilihan politiknya. Ini penting untuk menghindarkan masyarakat agar tidak jatuh dalam kubangan yang sama untuk kedua kalinya. Di samping itu, pragmatisasi politik juga hendak menyingkirkan “budaya-diam”—meminjam istilah Paulo Freire—yang selama ini menjadikan masyarakat sebagai “sapi perahan politik” semata dalam setiap ajang pilkada.

Dalam konteks pilkada Donggala dan Parigi Moutong, langkah pragmatisasi politik ini kiranya menarik untuk dilakukan. Hal ini terutama karena figur-figur yang hendak berkompetisi dalam ajang pilkada nanti sudah amat familiar di mata masyarakat. Sehingga, pertarungan dalam pilkada di daerah tersebut, harusnya sudah lebih berorientasi pada “jualan” program dan jaminan untuk merealisasikannya (jika kelak terpilih), bukan lagi figuritas.

Begitu pula kepada masyarakat, kiranya sudah harus ada keberanian untuk membangun kesepakatan politik (political understanding) dengan para calon maupun partai politik-pengusung yang hendak bertarung pada pilkada, berkaitan dengan kompensasi-program apa yang bisa mereka berikan kepada masyarakat jika mereka terpilih sebagai Bupati/Wakil Bupati di daerah itu. Sebab, pada faktanya, di negara-negara demokrasi lainnya (semisal India) hal ini justru lumrah dilakukan oleh konstituen sebagai salah satu syarat dukungan kepada elite maupun partai politik yang hendak berkompetisi dalam ajang pemilihan.

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Mercusuar, 13 Mei 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar