Kamis, 14 Juli 2011

Menuju Puasa Post-Dogmatik

“Setiap tahun Ramadhan datang, setiap tahun pula umat Islam berpuasa. Namun sampai derajat tertentu, ritual tersebut seakan-akan sekedar menjadi rutinitas yang tidak mampu memberikan nilai-nilai transformatif", demikian komentar Abd A’la dalam salah satu artikelnya yang berjudul “Puasa, Teologi Pengendalian Menuju Civil Society yang Bermoral” di harian Kompas 10 November 2002. Apa yang dikemukakan oleh Abd A’la tadi memang cukup beralasan. Paling tidak, jika komentar tersebut kita korelasikan dengan fenomena keseharian ummat Islam selama menjalani ibadah puasa. Sungguh tak tampak warna maupun aktualisasi nilai-nilai intrinsik puasa dalam konteks kehidupan individual, sosial-kemasyarakatan dan kebernegara-bangsaan. Tengoklah, bagaimana praktek-praktek KKN di kalangan elite pejabat yang belum tercukur sama sekali oleh ibadah puasa. Fenomena kejahatan sosial berupa pembunuhan, pemerkosaan, maupun perampokan juga tak kunjung berhenti. Belum lagi, fenomena mall-isme, bar-isme maupun libido-isme yang masih menjadi ideologi dan praktek-dominan penyaluran mesin-mesin hasrat (deciring machine)—meminjam istilah Yasraf A. Piliang—ummat Islam.

Padahal, puasa—sebagaimana yang sudah kita fahami—merupakan salah satu ibadah yang memiliki nilai ruhani dan sosial yang tidak sedikit bagi ummat Islam. Puasa, demikian Ayatullah Jawad Amuli (2001)—pada dasarnya merupakan suatu sarana penyucian diri (takziyatun nafs), melalui mekanisme pengendalian terhadap sejumlah hasrat (decire) dan kecenderungan (karakter) yang bersifat profanik, dehumanif dan detrasendentif serta pembangunan kesalehan sosial. Dengan berpuasa, kita dituntut untuk dapat mengeliminir hasrat dan kecenderungan tersebut sedikit demi sedikit, untuk kemudian diarahkan kepada pengembangan kebajikan dan ketakwaan. Pada puncaknya, puasa, kata Jalaluddin Rakhmat, menjadi semacam madrasah ruhani bagi ummat Islam untuk mencapai kedekatan (taqarrub) dan pertemuan (liqo’) dengan Sang Mahapencipta, Allah Swt.

Problem Teologis dan Ulama

Apa kira-kira yang menjadi penyebab sehingga nilai-nilai puasa di atas justru kontra produktif dengan upaya penumbuh-kembangan pola kehidupan dan kecenderungan manusia yang sehat, dinamis, damai, dan mencerahkan. Menurut hemat penulis, tidak lain terletak pada dua hal, pertama ; pada tingkat konstruk teologis yang menjadi landasan normatif bagi ibadah-ibadah Islam. Ungkap Husein Heriyanto, konstruk teologis yang membentuk formasi pemikiran, kesadaran dan pola sikap ummat Islam hingga kini masih dominan dipengaruhi oleh teologi formal-tradisional. Sebuah konstruk teologis yang mengorientasikan segenap aktivitas keagamaan lebih kepada thing (fakta) ketimbang nilai (value). Padahal, justru konstruk teologis seperti inilah yang menyebabkan ibadah-ibadah ummat Islam, tidak terkecuali puasa, menjadi sekedar ritual-dogmatis, yang sama sekali tidak merefleksikan adanya nilai lebih (positif value) atasnya. Apalagi, kemudian diharap untuk menjadi api pemantik bagi terciptanya kesalehan sejati pada setiap individu.

Sebaliknya, secara konkret, konstruk teologis seperti ini justru akan melahirkan manusia-manusia skizofrenik (berkepribadian ganda). Sebuah kondisi psikologis keagamaan, dimana boleh jadi ummat Islam memiliki kesalehan secara individual namun bejat secara sosial. Taat berpuasa di satu sisi, tetapi di sisi lain tidak lepas dari perilaku-perilaku menyimpang seperti : korup, serakah, dzalim, iri, dendam, dan lain sebagainya. Pada gilirannya, konstruk teologis ini hanya akan menggiring kepada pola pemahaman keagamaan yang semu (pseudo-religious) yang memerangkap para penganutnya dalam jejaring phantasmagoria.

Kedua, pada tingkat ulama. Mayoritas dari ulama kita—terutama para ulama tradisional—yang sesungguhnya memiliki otoritas untuk memberikan kerangka interpretasi baru yang kontekstual dengan dinamika zaman atas ibadah-ibadah ritual Islam, ternyata belum memiliki cukup kemampuan (terutama dalam hal kualifikasi intelektual) untuk mengambil peran-peran tersebut. Terbukti, sebagian besar ulama kita masih menganut serta menjadikan teologi formal-tradisional di atas sebagai formasi dasar pengetahuan keagamaan yang diajarkan kepada ummat Islam dan secara akademik didedahkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam pesantren, madrasah dan bahkan termasuk Perguruan Tinggi. Padahal, kita tahu persis, para ulama adalah warasatul anbiya (pewaris para Nabi), yang mutlak bertanggung jawab dalam mengawal proses dan kontinuitas internalisasi, aktualisasi, intelektualisasi, dan tidak terkecuali, kontekstualisasi agama dalam gempita kehidupan ummatnya.

Wawasan Post-Dogmatik

Kebuntuan (stagnasi) pemaknaan puasa akibat over-dogmatisasi agama, kiranya mesti segera diakhir. Untuk itu, mutlak ada sebuah rumusan pola pemahaman keagamaan baru—sebagai basis implementasi bagi ibadah puasa—yang dianggap tepat dan dapat menjawab segenap kebuntuan tersebut, serta lebih penting lagi, sekaligus memberikan interpretasi yang utuh dan kontekstual dengan dinamika sosio-antropologis ummat Islam. Pola pemahaman keagamaan baru itu kiranya adalah suatu pola pemahaman keagamaan yang melampaui batas-batas literal (harfiah) dan ritual-dogmatis dari sebuah ibadah. Atau dengan kata lain, pola pemahaman keagamaan “post-dogmatik”. Sebuah kerangka pemaknaan yang bekerja untuk menyelami samudra makna dari suatu ibadah agama guna menemukan makna-makna tersembunyi (laten) di dalamnya, yang biasanya tertutupi akibat “kepura-puraan” (ostensible) makna yang tampak secara literal tadi.

Secara teoritik, pola pemahaman keagamaan post-dogmatik ini berangkat dari kerangka metodologis “dekonstruksi” ala Derridean. Sekedar untuk mengingat, Derrida memperkenalkan apa yang disebutnya dengan “yang terpikirkan” (thincable) dan “yang tak/belum terpikirkan” (unthincable). Secara umum, thincable merujuk kepada makna-makna yang telah terpikirkan dari sebuah teks, sementara unthicable merujuk kepada makna-makna yang tak/belum terpikirkan dari teks tersebut, dikarenakan formasi pengetahuan kita belum mampu menjangkaunya. Nah, proyek dekonstruksi Derridean dimaksudkan untuk menggali makna-makna yang belum terpikirkan, sehingga menjadi terpikirkan.

Puasa, dalam kerangka di atas, dengan demikian tidak lagi dimaknai secara denotatif; sebagai sekedar suatu bentuk kewajiban ummat Islam—dalam bentuk menahan lapar, haus dan nafsu—untuk menjalankan perintah-Nya. Melainkan lebih dari itu, dipandang sebagai ibadah yang memiliki proyeksi dan efek yang jauh lebih kompleks lagi multidimensional. Sebutlah misalnya, puasa sebagai sarana untuk melejitkan kecerdasan, memintal nilai-nilai kejujuran dan kesederhanaan (wara’), pewujudan solidaritas dan kebajikan sosial, dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, puasa telah memberi proyeksi dan efek yang lebih subtil, esoterik, humanis, dan terlebih lagi tidak ritualistik-dogmatik.

Secara praksis-implementatif, semangat berpuasa secara post-dogmatik, menjadikan ibadah puasa tidak hanya menarik untuk dilakoni, tetapi sekaligus mencerahkan. Ia bisa menjadi jalan baru yang cukup menjanjikan. Jalan untuk menemukan makna-makna baru dan berarti (substansial) dari ibadah puasa, yang boleh jadi akan terasa lebih “menggelitik” kesalehan dan menggugah kesadaran sosial kita. Atau dalam istilah Gus Dur—dari pemujaan kepada Tuhan menuju pengembangan wawasan dan kesadaran kemanusiaan yang sempurna. Moga-moga !!!.

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Mercusuar, 13 Oktober 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar