Kamis, 14 Juli 2011

Telepon “Berharga” Jusuf Kalla

Kamis 9 Juli 2009, Jusuf Kalla (JK) menelepon Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), calon presiden dari Partai Demokrat. Komunikasi-telepon yang dilakukan sehari setelah pilpres itu adalah dalam rangka memberikan ucapan selamat kepada SBY, yang kemungkinan besar terpilih kembali menjadi Presiden. Sebab, kendati pun belum diumumkan secara resmi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), tetapi berdasarkan hasil quick count dari hampir semua lembaga survey di Indonesia, sudah dapat dipastikan bahwa perebutan kursi presiden pada pilpres 8 Juli yang lalu dimenangkan oleh pasangan SBY-Boediono.

Pada saat menelepon, JK menyampaikan penghormatannya terhadap proses demokratisasi yang ada. Ia mengakui bahwa bursa pertarungan kursi Presiden kali ini dimenangkan oleh SBY. Ia bahkan tidak menunjukkan mimik kecewa sama sekali, apalagi dendam. Pernyataan yang kemudian disahuti oleh SBY dengan permintaan agar JK tetap berperan dan memberikan kontribusinya dalam pembangunan bangsa.

BERNILAI FUNDAMEN

Dalam konteks sejarah demokrasi Indonesia, komunikasi-telepon yang dilakukan oleh JK di atas sungguh memiliki arti penting. Karena, pertama, sejak pertama kali berdiri hingga sekarang ini, proses pergantian kepemimpinan (suksesi) di Indonesia belum pernah berakhir secara elegan dan dewasa. Selalu saja berakhir dengan kepiluan dan sikap yang jauh dari demokratis. Kita tahu bagaimana ketika Soekarno jatuh dari tampuk kekuasaannya. Hubungannya dengan Soeharto sebagai pemimpin yang baru menjadi begitu buruk. Bahkan di tangan Soeharto, sang proklamator itu kemudian dijebloskan ke dalam penjara.

Begitu pun ketika Habibie menggantikan Soeharto pada Mei 1998. Hubungan antar keduanya yang sebelumnya begitu mesra menjadi rusak. Soeharto tidak pernah mau berhubungan, apalagi bertemu dengan Habibie. Bahkan, Soeharto menuduh Habibie sebagai seorang “pengkhianat” dan “tidak tahu berterima kasih”.

Di era kepemimpinan Gus Dur, kejadian serupa berulang lagi. Hubungan antara Gus Dur dan Megawati retak setelah di tengah perjalanan kepemimpinannya, Gus Dur dilengserkan. Gus Dur menuduh bahwa Megawati (beserta Akbar Tanjung dan Amien Rais) berada di balik kejatuhannya. Merekalah yang mempelopori berbagai gerakan untuk menjatuhkannya dari kursi Presiden. Setelah itu, hubungan antara Gus Dur dan Megawati tak pernah baik lagi, kecuali dua atau tiga tahun terakhir ini.

Ketika SBY naik menggantikan Megawati pada pemilu yang pertama kali dipilih secara langsung oleh rakyat pada tahun 2004, lagi-lagi kejadian yang sama terjadi. SBY, bahkan ketika masih menjadi Menteri dalam kabinet Megawati sudah berseteru dengan “bos”nya itu. Terlebih lagi setelah pilpres, Megawati (tentu bersama PDIP) mengambil garis oposisi terhadap pemerintahan SBY.

Kedua,betapa kerasnya proses kompetisi yang terjadi pada pilpres kemarin. Saya kira, publik sudah sangat mahfum bagaimana dalam proses kompetisi pilpres kemarin, masing-masing kandidat dan para tim suksesnya sudah hampir-hampir mempraktekkan kaidah “apapun caranya, kalau itu untuk kemenangan, lakukan !” alias menghalalkan segala macam cara. Kita tentu bisa saksikan bagaimana pola-pola black campaign, klaim-mengklaim program dan prestasi, sentimen SARA, hingga ke hujatan-hujatan yang bersifat personal-privasi itu dilakukan oleh para tim sukses masing-masing kandidat untuk menarik simpati rakyat di satu sisi, dan di sisi lain menghabisi lawan.

Saya kira siapa pun pasti yakin bahwa sangat susah untuk merekonstruksi hubungan, terutama para kandidat, pasca pilpres setelah adanya proses kompetisi yang sedemikian keras seperti itu. Bukan saja karena secara manusiawi proses tersebut bisa membuat hati meradang, melainkan bahkan secara politik—yang kadang mengabsahkan segala macam cara—pun boleh dikata jauh dari elegan.

Dari dua latar point di atas, apa yang dilakukan oleh JK menunjukkan ; pertama, bahwa betapa JK menganggap proses kompetisi adalah sesuatu yang lumrah dalam hidup ini. Dalam idiom Islam biasa disebut sunnatullah. Tak pernah ada kehidupan yang bebas dari kompetisi. Inilah kiranya yang terpatri kuat dalam diri JK. Bagi dia, proses kompetisi adalah sebuah keniscayaan hidup. Bahkan, tidak jarang menjadi wajib. Dan adapun menang-kalah adalah soal lain.

Dalam debat Capres yang dilangsungkan beberapa waktu yang lalu, JK sempat menyampaikan satu statemen yang amat fundamen : “Saya kira, siapapun yang terpilih menjadi Presiden nanti, ia-lah kader terbaik bangsa ini”. Dari statemen ini terlihat bagaimana JK menghargai betul proses demokrasi yang sementara berlangsung. Terlebih lagi dengan inisiatifnya untuk menelepon SBY, tampak bagaimana ia benar-benar lepas dari beban psikologis sebagai kompetitor SBY.

Kedua, lebih dari yang pertama tadi, apa yang dilakukan oleh JK menunjukkan sosoknya sebagai seorang negarawan sejati. JK sama sekali tidak pernah menunjukkan sikap bermusuhan dengan SBY. Apalagi mau melakukan langkah-langkah politik yang mendelegitimasi kemenangan SBY. Ibarat pemain sepak bola, JK menjalankan prinsip “di dalam bertanding kita boleh saja bermain keras, tetapi setelah pertandingan usai kita harus berangkulan kembali.”

Berbeda dengan Megawati saat kalah pada Pilpres 2004 yang lalu, JK tampak tidak akan mengambil garis oposisi dengan pemerintahan SBY. Ini terlihat dari penegasannya saat menelepon SBY kamis malam itu. “Saya akan pulang kampung, pak”, ujar JK. Kendati pun jelang pilpres kemarin sempat muncul manuver dari partai Golkar untuk mengambil garis oposisi dengan pemerintah (jika kalah dalam pertarungan pilpres), tapi saya kira secara personal hal ini tidak akan dilakukan JK. JK akan lebih memilih untuk mengambil peran yang lain dalam membangun bangsa, ketimbang membangun front oposisi.

ARAS BARU

Tanpa hendak berpretensi untuk mengabaikan arti penting dan keniscayaan oposisi dalam konteks demokrasi serta mempersoalkan indikasi kecurangan yang mungkin terjadi—sebagaimana dicurigai oleh sebagian kalangan—pada pilpres 8 Juli yang lalu, tetapi saya kira, sikap yang diperlihatkan oleh JK bisa memberikan injeksi baru bagi tradisi politik di Indonesia. Ia bisa menjadi aras baru bagi proses alih kepemimpinan di Indonesia yang selama ini selalu diwarnai oleh ketegangan dan konflik.

Dengan sikap legowo dari JK, kita bisa menaruh harapan akan terjadinya perubahan dalam proses alih kepemimpinan bangsa. Ketegangan dan konflik yang selama ini senantiasa mengiringi proses alih kepemimpinan bangsa, bisa segera berakhir. Inilah kiranya kontribusi JK bagi demokrasi kita. JK, terlepas dari berbagai kekurangannya, telah menggoreskan satu “monumen” semangat demokrasi yang benar-benar elegan, fair dan bermartabat.

Ia, melalui sikapnya itu, telah menunjukkan kepada bangsa ini betapa demokrasi jauh lebih berharga untuk diperjuangkan, ketimbang ambisi pribadi. Demokrasi jauh lebih penting dari setampuk kekuasaan. Olehnya, kendati pun kalah dalam pertarungan memperebutkan kursi Presdiden, JK telah menunjukkan bahwa sebenarnya dia-lah yang patut untuk disebut sebagai pemimpin. Pemimpin yang sejati.

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Mercusuar, Juli 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar