Kamis, 14 Juli 2011

“Sang Matahari” Abad 20

Muhammad Husein Tabataba’i. Adakah manusia di abad modern ini, yang memiliki tingkat kecerdasan yang lebih dari Husein Tabataba’i ?

Jawabannya pasti tidak. Tak diragukan lagi, tak ada satu pun manusia di era milenial ini yang bisa mengungguli Husein Tabataba’i dalam perkara kecerdasan. Betapa tidak, bocah cilik, yang kini usianya mulai beranjak remaja ini, telah meraih gelar Doktor (Honoris Causa) pada usia yang masih amat belia—7 tahun. Oleh Hijaz College Islamic University ia dianugerahi gelar Doktor karena dianggap memiliki kemampuan yang luar biasa dalam : menghafal keseluruhan isi al-Qur’an, menerjemahkan arti setiap ayat ke dalam bahasa ibunya (Persia), memahami makna ayat-ayat tersebut, dan menggunakan ayat-ayat itu dalam percakapan sehari-hari. Penganugerahan itu sendiri dilakukan pada tahun 1998, di kota Inggris.

Pendidikan Qur’ani

Terlahir di Qum, 16 Februari 1991, dari sebuah keluarga yang amat religius, Husein kecil adalah sosok anak yang super cerdas. Telah menghafal keseluruhan isi al-Qur’an bahkan dalam usia masih 5 tahun dan juz’amma (juz 30 al-Qur’an) pada usia 2 tahun 4 bulan, menjadikan Husein sebagai anak yang memiliki bakat dan kemampuan yang sukar tertandingi dalam menghafal al-Qur’an. Tidak hanya itu saja, kemampuannya dalam mengkontekstualkan ayat-ayat al-Qur’an dengan berbagai fenomena keseharian, membuat ia menjadi figur yang berhasil menyedot perhatian publik dunia dalam usianya yang terhitung masih “bau kencur”.

Dalam soal ini, terhitung, tidak hanya Hijaz College Islamic University saja yang mengakui kecerdasan Husein. Tetapi, pun oleh mereka yang juga concern dan memiliki otoritas dalam penguasaan ayat-ayat al-Qur’an. Sebutlah Ayatullah Khamenei, sang pemimpin spiritual tertinggi di Iran, yang pernah mengundangnya bertemu secara khusus. Mohsen Qiraati, seorang Mufasir kontemporer Iran, yang sampai berkomentar : “saya telah menggeluti al-Qur’an selama lebih dari 20 tahun, namun kini kembali menjadi murid yang harus menulis catatan di buku pelajaran. Apa pun yang ia (Husein) katakan, saya catat. Saya dengan bangga menyatakan diri sebagai murid dari guru yang masih berusia 5 tahun ini”. Atau Syaikh Yusuf Qardhawi, ulama terkemuka dari Mesir, yang begitu terkagum-kagum kepadanya. Sehingga dengan begitu bangga ia mengatakan (kepada Husein) : “Allah telah menjadikan engkau sebagai penolong Islam dan kaum muslimin”.

Perkara kecerdasan Husein memang tak urung mengundang decak kagum dari berbagai tokoh dunia dan publik secara umum. Kendati pun demikian, sebagaimana diakui oleh bapaknya—Sayyid Muhammad Mahdi Tabatabai’i—proses “pelahirannya” hingga mencapai kematangan sebagaimana kini, tidaklah instan dan mudah. Husein kecil adalah sesosok anak yang didik dalam suatu kedisiplinan belajar al-Qur’an yang begitu tinggi. Di bawah bimbingan langsung Mahdi Tabatabai’i, Husein menjalani hari-harinya dengan “berjibaku” pada pelajaran-pelajaran al-Qur’an, baik itu membaca, menghafal ataupun mengulang hafalan yang ada.

Di samping itu, ketelatenan dari sang ibu dalam mendidik Husein, bahkan ketika masih berada dalam rahim, tampak turut pula memberi andil yang tiada sedikit bagi pencapaian kemampuan Qur’ani Husein. Kepada Majalah Ashena terbitan bulan Juni 1998—sebagaimana dikutip oleh Dina Y. Sulaeman (2007)—ibunda Husein menjelaskan : “Selama masa kehamilan, saya selalu berdo’a kepada Allah agar dikaruniai anak yang saleh dan pintar. Ketika Husein lahir, saya selalu berwudhu dulu sebelum menyusuinya. Saya pun rajin ke masjid dan membaca al-Qur’an”.

Dengan pola pendidikan dan iklim kehidupan keluarga yang begitu “intim” dengan al-Qur’an, maka wajarlah jika Husein kemudian menjelma menjadi sosok yang mumpuni dalam menghafal dan memahami makna-makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Pun demikian, konsep kedisplinan yang diterapkan oleh Bapaknya sewaktu belajar, membuat Husein terdidik untuk tidak mudah menyerah dan abai dalam menyelami samudera makna al-Qur’an. Bahkan sebaliknya, Husein justru menjadi figur manusia-pembelajar (human learner) yang gigih, tekun dan obsesif. Tak pernah lelah dalam belajar.

Untuk soal yang satu ini, menarik kiranya dipetik cerita Ashgar Judai—salah seorang kerabat keluarga Tabataba’i. “Suatu ketika”, kata Ashgar, “saya datang mengunjungi Husein untuk membimbingnya belajar. Saat itu, Husein sedang asyik bermain mobil-mobilan dengan saudara-saudara dan kerabatnya. Namun ketika Husein mulai khusyuk belajar (sambil tetap duduk di atas mobil-mobilannya), dia sama sekali tidak memperdulikan sekitarnya.” Begitu pun misalnya ketika dia (Ashgar) sedang berada di luar kota dan menelepon Husein untuk sekedar melepas rindu. Setelah beberapa menit bercakap-cakap, Husein berkata kepadanya, “Maaf, saya punya pelajaran, saya harus menelaah (pelajaran itu),” sambil meminta untuk segera mengakhiri percakapan itu.

Pelajaran Berharga

Sukar untuk membayangkan betapa sulitnya kita menemukan orang yang memiliki kemampuan sebagaimana Husein di era kontemporer. Bahkan boleh dibilang musykil untuk ditemukan. Kalau tidak langka, maka pastilah ia akan terasa aneh di telinga kita. Telinga manusia yang kini hidup dalam limpahan teknologi serba bisa lagi canggih ini.

Tetapi demikianlah faktanya. Selalu saja ada fenomena-fenomena baru, yang boleh jadi sama sekali—meminjam istilah Abied Al-Jabiri, belum/tak terpikirkan oleh kita sebelumnya, terjadi di alam kehidupan ini. Allah Swt seakan memiliki mekanisme tersendiri untuk mencipta fenomena-fenomena, kejadian-kejadian, tanda-tanda dan keajaiban-keajaiban baru di dunia tempat kita berpijak ini. Demikian pula dengan manifestasi atau pewujudannya, boleh jadi mengambil bentuk yang beragam, tidak tunggal. Satu di antaranya, misalnya adalah dengan menghadirkan fenomena Husein ini.

Apa gunanya ? Tidak lain adalah untuk memberi pelajaran (ibroh) kepada manusia bahwa di tengah begitu menguatnya fenomena kemacetan dan disorientasi hidup, degradasi moral dan visi kemanusiaan, terjerembabnya manusia ke dalam pola hidup materialistik, matinya pendidikan humanistik, dan terpenjaranya manusia dalam pencapaian kualitas kemanusiaan secara instan, Allah senantiasa menyediakan tanda-tanda, contoh maupun teladan yang baik (uswatun hasanah), yang darinya manusia diharapkan bisa merefleksi sekaligus mereguk pelajaran.

Fenomena Husein dihadirkan tentu dalam kerangka tujuan yang ini. Secara transendentif, ia menjadi semacam “alat pengingat” bagi manusia, bahwa betapa kemahakuasaan-Nya dalam mencipta dan menjadikan sesuatu adalah tak terbatas. Tak tertandingi. Dan sungguh jauh dari daya jangkau kemampuan manusia. Pun dengan kehendak-Nya untuk memilih Husein sebagai sosok yang memanifestasikan kemahakuasaan-Nya, tentu pula bukanlah sesuatu yang tanpa alasan. Pasti memiliki kerangka rasionalisasi atau penjelas yang kokoh.

Demikian pula dalam konteks sosiologi pendidikan. Fenomena Husein ini seakan memuat pesan, bahwa betapa pentingnya pola pendidikan yang sehat dalam proses pelahiran generasi yang memiliki kualifikasi kecerdasan yang sempurna. Dalam kasus Husein ini, keluarga telah terbukti menjadi penyangga utama proses pencerdasan anaknya. Nilai-nilai kejujuran, kebajikan, keuletan dan kejernihan diri yang ditanamkan pada diri Husein, terutama oleh ayah dan ibunya, pada akhirnya berbalas hal yang sama. Husein tertempa sebagai generasi yang cerdas, visioner dan memiliki sikap kepribadian yang luhur.

Kehadiran seorang Husein kiranya memberi pesan dasar demikian. Bagi kita, tentunya ini dapat menjadi pelajaran yang amat berharga. Popularitas dan pengakuan akan otoritasnya dalam soal penguasaan ayat-ayat al-Qur’an di usianya yang masih amat belia oleh publik luas, telah cukup membuktikan betapa kekuatan ikhtiar, kebajikan, ketulusan, keuletan, dan kesucian diri dapat menyublim segalanya. Ia bisa mencipta kecerdasan. Merubah “debu” menjadi butir-butir mutiara sejarah. Dan tentu pula—sebagaimana Husein—memercik seseorang menjadi “Sang Matahari” abad 20.

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Radar Sulteng, 28 Oktober 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar