Rabu, 13 Juli 2011

Kemiskinan, Paradoks Demokrasi

Di pelbagai kesempatan, para pemimpin kita acap dengan bangga menyebut negara kita sebagai negara demokrasi. Buktinya, dalam satu dasawarsa terakhir ini kita berhasil menciptakan iklim demokrasi yang jauh lebih baik bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Proses transisi demokrasi yang kita jalani berhasil terkonsolidasi dengan baik. Pun demikian dengan penyelenggaraan event-event politik semacam Pemilu dan Pilkada yang berjalan dengan adil, jujur dan demokratis.

Namun, benarkah pencapaian demokrasi yang demikian maju tersebut telah memberikan manfaat yang real kepada masyarakat ? Atau sederhananya, adakah manfaat yang benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat dari serangkaian kemajuan demokrasi yang telah dicapai oleh bangsa ini ?

Secara teoritik, demokrasi adalah sisi mata uang yang tak terpisah dari ekonomi. Demokrasi dan ekonomi selalu berada dalam relasi yang paralel dan saling mempengaruhi. Kegagalan demokrasi dalam mewujudkan kehidupan ekonomi yang baik adalah ancaman utama bagi terjaganya kepercayaan publik terhadap sistem politik demokrasi. Sementara sebaliknya, keterpurukan ekonomi masyarakat niscaya menjadi hambatan serius bagi proses konsolidasi dan pembangunan nilai-nilai demokrasi. 

Kasus di sejumlah negara menunjukkan bagaimana demokrasi dan ekonomi begitu saling mempengaruhi. Di sejumlah negara di Amerika Latin, terlihat bagaimana keterpurukan ekonomi masyarakat memberikan ekses yang buruk bagi pembangunan nilai-nilai demokrasi. Rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat, tingginya angka pengangguran dan sulitnya mencari lapangan pekerjaan, menjadikan kepercayaan publik di negara-negara tersebut terhadap demokrasi mengalami defisit.

KEMISKINAN

Di Indonesia, dampak dari kemajuan demokrasi tampak belum terlihat dalam kehidupan real masyarakat. Tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, sedikitnya jumlah kesempatan kerja, dan besarnya gap ekonomi antara kalangan elite dan masyarakat grass roots menjadi bukti bagaimana demokrasi belum berhasil memberikan dampak terhadap perbaikan kehidupan ekonomi masyarakat. 

Dari data Badan Pusat Statistik dapat diketahui bahwa, hingga kini jumlah penduduk miskin di Indonesia masih sangat besar. Dalam dua tahun terakhir, jumlah penduduk miskin belum turun dari angka 30 juta orang. Pada bulan Maret 2008 disebutkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah sebesar 34,96 juta orang atau 15,42 persen dari total penduduk yang ada. Jumlah ini agak menurun bila dibandingkan dengan tahun 2007 yang angkanya mencapai 37,17 juta orang atau 16,58 persen.

Masih tingginya angka kemiskinan di atas, menjadi gambaran bagaimana demokrasi yang dibangun di negara ini belum efektif memberikan pengaruh terhadap perbaikan kehidupan ekonomi masyarakat. Demokrasi, yang dalam konteks ini adalah sisi mata uang dari kehidupan ekonomi, harus kita nilai gagal menciptakan kesejahteraan dan mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat ke arah yang lebih baik.

Dalam kehidupan politik mutakhir tampak bagaimana demokrasi kini jauh meninggalkan ekonomi. Pelbagai upaya pembaharuan demokrasi yang kian hari kian mengalami peningkatan, berbanding terbalik dengan kehidupan ekonomi masyarakat. Demokrasi di satu sisi, mengalami kemajuan yang pesat. Sementara kehidupan ekonomi masyarakat, di sisi lain, terseok-seok. Demokrasi terus membaik, tetapi lubang kemiskinan kiang menganga lebar.

Inilah yang sebenarnya dirasakan oleh masyarakat. Masyarakat masih jauh dari menikmati “buah manis” demokrasi. Padahal, gejala demikian tak boleh dibiarkan. Munculnya sinisme masyarakat terhadap penyelenggaraan pelbagai agenda politik tidak lain disebabkan oleh adanya ketidakyakinan, atau bahkan ketidakpercayaan, masyarakat terhadap dampak positif dari keterlibatannya dalam agenda-agenda politik tersebut. 

Dalam kadar yang lebih tinggi, gejala demikian malah menciptakan sikap antipati dan resistensi terhadap demokrasi. Pada ribut-ribut soal tingginya angka pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya alias golput pada pemilu legislatif kemarin, kita menemukan bagaimana korelasi antara sikap skeptis dan antipati masyarakat dengan pengabaian mereka untuk menggunakan hak pilihnya.

Pada pemilu legislatif itu, memang benar masyarakat banyak yang tidak tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Tetapi saya kira, kita juga tentu tidak bisa mengabaikan fakta soal tingginya prosentase masyarakat yang tercantum dalam DPT tetapi tidak menggunakan hak pilihnya. Dari pengamatan yang dilakukan oleh Jaringan Isu Publik (JIP), terlihat prosentase angka masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya yang mencapai 30 persen. 

Dari sinilah kita menjadi mahfum bahwa sebenarnya fenomena golput yang muncul pada pemilu legislatif kemarin, tidak hanya terkait dengan golput teknis—yakni golput yang muncul sebagai akibat dari kelalaian penyelenggara pemilu untuk mendaftarkan seseorang sebagai pemilih, tetapi juga golput ideologis—yakni golput yang muncul karena orang tersebut memang enggan menggunakan hak pilihnya.

PILPRES

Pemilihan Presiden/Wakil Presiden pada Juli 2009 sejatinya menjadi titik balik dalam kehidupan demokrasi yang mensejahterakan. Harus ada perubahan yang dapat dirasakan oleh masyarakat dengan penyelenggaraan pemilihan Presiden/Wakil Presiden nanti. Pemilihan Presiden/Wakil Presiden harus dapat menjadi babak baru bagi terciptanya perbaikan kondisi ekonomi masyarakat menjadi lebih sejahtera.

Tetapi tentu kita sadar pula bahwa apalah gunanya Pemilu tanpa komitmen dari semua elemen untuk menjadikan momentum ini sebagai peluang untuk memperbaiki wajah demokrasi di negara ini. Terlebih lagi bagi para kandidat Capres/Cawapres. Harus ada komitmen tegas dari mereka—tak peduli siapa pun nanti yang terpilih—untuk memperbaiki citra demokrasi, dengan mengeluarkan regulasi dan program yang dapat mengakselerasi perbaikan nasib ekonomi masyarakat.

Para pemimpin kita mutlak menempatkan hal itu sebagai agenda prioritas. Tidak saja dalam konteks wacana, tetapi juga dalam tindakan yang konkret. Harus ada implementasi dalam bentuk tindakan yang nyata dari proyek pembangunan demokrasi terhadap peningkatan kehidupan ekonomi. Dengan cara ini, diharapkan apresiasi dan kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi dapat pulih kembali.

Demokrasi bisa mendapatkan simpati masyarakat kembali serta tak akan dipandang sebagai “barang yang tak berguna”. Pun demikian dengan sikap skeptis dan antipati terhadap demokrasi, bisa terkikis secara perlahan-lahan. Dan, yang terpenting dari semua itu, masyarakat menjadi sadar bahwa galibnya tidak ada instrumen lain yang dapat secara efektif meningkatkan kesejahteraan mereka, selain demokrasi.

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Mercusuar, 2 Juni 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar