Rabu, 13 Juli 2011

Menanti DPR(D) yang Pro-Rakyat

Sudah hampir sebulan pemilu legislatif usai. Hasil perolehan suara partai politik maupun caleg di tingkat kabupaten telah diketahui. Sementara untuk tingkat Provinsi dan Pusat, masih sementara dihitung oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jika tidak ada aral melintang, maka dalam waktu dekat publik sudah dapat mengetahui secara lengkap siapa-siapa saja yang berhasil lolos menjadi wakil rakyat untuk periode 2009-2014 mendatang. Publik tentu berharap agar hasil akhir dari proses politik yang relatif panjang dan melelahkan ini, dapat segera diketahui.

Walaupun demikian, kiranya ada harapan yang jauh lebih substansial, yang kini tengah dinanti-nanti oleh rakyat. Harapan itu tidak lain adalah terpilihnya wakil-wakil rakyat yang amanah, cerdas, kredibel dan bebas korupsi. Figur-figur wakil rakyat demikian, sangat penting bagi rakyat. Sebab, hanya dengan terpilihnya figur-figur seperti itu, harapan akan lahirnya satu lembaga legislatif yang pro terhadap rakyat dapat terwujud.

MASIH JAUH

Harapan akan lahirnya satu lembaga legislatif yang pro-rakyat pada dasarnya bukanlah sesuatu yang baru dalam sejarah relasi politik antara negara dan rakyat di Indonesia. Sudah sejak lama hal ini diimpikan oleh rakyat Indonesia. Bahkan ketika lembaga tersebut baru pertama kali dibentuk di Indonesia, impian akan terbentuknya lembaga legislatif yang benar-benar dedikatif dan bertanggungjawab dalam memperjuangkan hajat hidup rakyat Indonesia, telah disemai.

Namun, entah kenapa setiap kali harapan itu muncul, setiap kali itu pula buyar. Harapan rakyat akan eksistensi lembaga legislatif yang pro terhadap kepentingan mereka, hingga kini belum sepenuhnya terwujud. Ibarat kata pepatah : “jauh panggang dari api’. Yang terjadi malah sebaliknya, lembaga legislatif acap kali menjadi arena pertarungan elite untuk memperebutkan “kue proyek” serta alat legitimasi bagi ambisi politik mereka beserta kelompoknya, ketimbang sebagai instrumen bagi perjuangan dan pewujudan kepentingan rakyat.

Lembaga legislatif, sampai sejauh ini, masih benar-benar jauh dari harapan rakyat. Padahal, sebagai instrumen yang memiliki otoritas dalam hal legislasi, budgeting dan controling, lembaga ini dapat berperan secara maksimal dalam mewujudkan kepentingan rakyat. Begitu pun bagi para wakil rakyat, ia dapat menjadi arena kontestasi untuk memperjuangkan hak-hak dan kepentingan rakyat, yang memang seringkali menjadi “jualan” mereka ketika sedang kampanye dan menggaet simpati rakyat jelang pemilu.

Orientasi memperkaya diri, yang tidak jarang menyeret para elite ke dalam konflik perebutan “kue proyek” sebagaimana di atas, adalah sebab utama tercukurnya peran-peran wakil rakyat yang dimaksud dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Para ahli psiko-politik menyebutnya sebagai penyakit kapitalkrasi. Yakni semacam penyakit yang menghinggapi struktur kesadaran, motif dan kecenderungan perilaku para politisi yang menjadikan kekuasaan sebagai arena untuk memperkaya diri.

Olehnya, tidak heran bila kita saksikan ada wakil rakyat yang terjerumus ke dalam tindakan-tindakan yang tidak bermartabat hanya karena untuk mengejar kepentingan yang bersifat pragmatis-temporer. Pun demikian, adalah jamak kita temukan wakil rakyat yang tega menilep uang rakyat demi memperkaya diri. Sialnya, semua fenomena tersebut tersuguh di hadapan rakyat dari tahun ke tahun, pemilu ke pemilu, rezim ke rezim, tanpa pernah mengalami perubahan sedikit pun.

Fenomena ini semakin lengkap dengan adanya fakta dimana ada sebagian wakil rakyat yang berperilaku jauh dari bermoral. Pelbagai kasus yang terjadi, yang sama sekali tidak mencerminkan idealitas mereka sebagai wakil rakyat terjadi secara gamblang di hadapan rakyat. Kasus perselingkuhan, pelecehan seksual, penggunaan narkoba, hingga ijasah palsu yang banyak melilit para wakil rakyat, adalah sebagian dari potret buram para wakil rakyat kita, yang kini masih terus terjadi.

HARAPAN KE DEPAN

Secara historis, kita sebenarnya pernah memiliki sedikitnya dua peluang strategis untuk mereformasi lembaga legislatif kita menjadi jauh lebih pro kepada kepentingan rakyat. Peluang pertama adalah pada saat terjadi alih kepemimpinan nasional dari Soekarno (Orde Lama) kepada Soeharto (Orde Baru). Momentum alih kepemimpinan nasional kala itu, memungkinkan wakil rakyat untuk mengambil peran ekstra dalam mewujudkan kepentingan rakyat. Namun, hal itu ternyata tidak terjadi. Dominasi kekuasaan Soeharto yang terlalu besar, pada akhirnya menjadikan lembaga legislatif hanya sekadar menjadi “boneka mainan” Soeharto.

Peluang kedua adalah ketika reformasi terjadi pada tahun 1998. Gelombang reformasi yang memaksa Soeharto untuk mundur dari tampuk kekuasaannya, sebenarnya menjadi satu momentum yang sangat strategis dalam mereformasi lembaga legislatif kita. Dalam kadar dan batas waktu tertentu, usaha untuk mereformasi lembaga ini terjadi. Namun, lebih dari itu, usaha tersebut harus kita nilai gagal. Pasca reformasi, lembaga legislatif kita justru sebaliknya, menjadi tak terkendali. Pun demikian dengan perilaku para anggotanya, menjadi begitu liar dan mengecewakan.

Olehnya, dalam dua kali penyelenggaraan pemilu di era reformasi, harapan akan terciptanya lembaga legislatif yang pro rakyat masih tetap tak terwujud. 11 tahun reformasi—suatu usia yang tentu tidak singkat—tetap tak bisa mencipta lembaga legislatif semacam itu. Pada pemilu 1999 misalnya, kita pernah menaruh harapan besar kepada sejumlah aktor reformasi yang kita beri mandat menjadi wakil rakyat untuk mereformasi lembaga tersebut dan sekaligus memperjuangkan nasib kita, tetapi ternyata hal itu hanyalah menjadi impian kosong semata. Pada pemilu 2004, kita juga telah menaruh harapan yang sama kepada mereka. Tapi lagi-lagi kita harus kecewa. Hampir sebagian besar dari harapan itu tidak terwujud.

Kini pada pemilu 2009, kali ketiga kita menyelenggarakan pemilu, harapan tersebut kembali kita gantungkan. Pada momentum pemilu kali ini, kita semua tentu menginginkan terjadi perubahan yang signifikan. Munculnya lembaga legislatif yang pro serta memiliki visi yang konkret dalam mewujudkan kepentingan rakyat adalah impian kolektif kita, yang tentu tak bisa ditunda-tunda lagi.

Hanya saja, bagaimana pun semua ini, tentu lagi-lagi tetap berpulang kepada hasil akhir Pemilu legislatif nanti. Agenda mereformasi dan menghadirkan lembaga legislatif yang lebih pro kepada rakyat, tentu bergantung kepada siapa-siapa saja yang keluar sebagai pemenang pada pemilu kali ini. Oleh karena itu, sebagai rakyat, kiranya sekarang yang terpenting untuk kita lakukan dalam menunggu hasil keputusan dari KPU adalah berdo’a agar semoga mereka-mereka yang terpilih nanti adalah figur-figur yang memenuhi kualifikasi yang kita harapkan. Jika iya, maka tentu selamatlah kita lima tahun ke depan. Tetapi jika tidak, maka bersiap-siaplah untuk mengubur kembali dalam-dalam harapan kita itu. 

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Mercusuar, 1 Mei 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar